Rindu Masa Saat Jadi Jurnalis, Anggota DPD RI Alirman Sori Ceritakan Suka Duka
MR.com,Padang|Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dr. H. Alirman Sori, S.H. M.Hum. M.M, pada Senin 17 Januari 2022 temu ramah dengan anggota Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Perkumpulan Perusahaan Perusahaan Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) bertempat di Corner Cafe kawasan GOR H Agus Salim, Padang.
Setiba di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), mantan Ketua DPRD Pesisir Selatan periode 2004-2009 Dr. H. Alirman Sori, S.H. M.Hum. M. langsung mengontak Ketua DPW MOI Sumbar Anul Zufri SH MH dan mengajak untuk bersilaturahmi dengan pengurus dan anggota DPW MOI, di Komplek GOR Haji Agus Salim Padang.
Dari bahasa yang meluncur dari mulut pria kelahiran 14 Mai 1969 ini tampak jelas bahwa ia rindu suasana saat-saat masih menjalankan tugas sebagai jurnalis yang telah dimulainya semenjak tahun 1997 silam. Beraneka cerita suka, duka hingga peristiwa lucu yang pernah dialaminya saat menjadi seorang jurnalis pun mengemuka saat silaturahmi itu.
Momen langka ini pun dimanfaatkan para jurnalis yang tergabung dalam Perkumpulan Perusahaan Perusahaan Media Online Indonesia Sumbar ini untuk mengulik pendapat Alirman Sori tentang kuatnya keinginan masyarakat menolak presidential threshold 20 persen sebagai ekspresi dari “daulat rakyat” dan implementasi dari “daulat hukum’ yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik dan menghasilkan demokrasi yang berkeadilan.
Menurut para jurnalis yang tergabung dalam MOI Sumbar ini, setiap kali ada gugatan tentang ambang batas atau presidential threshold pencalonan presiden dan wakil presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menolak permohonan para pemohon. Bahkan dalam catatan para jurnalis ini sudah 13 kali MK menolak permohonan penghapusan presidential threshold tersebut, meski dinilai bertentangan dengan UUD 1945, seperti pasal 22E ayat (1) dan (2), kemudian bertentangan dengan pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (3).
Ternyata mantan Ketua Partai Golkar Pesisir Selatan tahun 2009 – 2015 ini adalah salah seorang dari sekian banyak kalangan yang menolak presidential threshold tersebut. Sebab menurut dia, selama beberapa kali pemilihan presiden (Pilpres), terkesan presidential threshold ini telah menjadi pintu masuk bagi praktik “demokrasi kriminal”. Karena pemilihannya terkesan didasari oleh “kekuatan uang”.
Selain itu menurut Alirman Sori, presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas.
Kata mantan Ketua Asosiasi DPRD (Kabupaten) tingkat Sumbar tahun 2004 – 2009 ini, sifatnya yang transaksional ini telah melahirkan para calon presiden yang bertumpu pada dukungan uang dan pencitraan. Bukan berbasis pada integritas, track record, prestasi, dan kemampuan problem solver.
Selain itu kata Alirman Sori, penerapan presidential threshold hingga 20 persen dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang akan membuat rakyat tak berdaulat.
“Kedaulautan rakyat akan hilang, harusnya tidak ada presidential threshold, bahkan nol persen saja,” katanya.
Kalau ada kekhawatiran akan banyak muncul calon presiden dan wakil presiden bila tak ada presidential threshold, kata Alir hal itu bukan sebuah persoalan besar. Biarkan rakyat yang menseleksinya, yang akhirnya lahir pemimpin terbaik pilihan rakyat.
Kata Alirman Sori, jalan terbaik untuk menemukan sosok presiden itu adalah vpenghapusan aturan presidential treshold, sehingga kekuatan demokrasi Pancasila di negeri ini benar-benar memiliki wibawa. (rel)