OpiniDitulis oleh: Uqie Nai (Member AMK4)
MR.com| Beberapa pekan terakhir ramai diberitakan masuknya varian baru Covid-19 yang disebut Omicron. Varian ini terdeteksi saat satu keluarga di Katapang, Kabupaten Bandung diisolasi di rumah sakit Al-Ihsan dan dilakukan pemantauan secara intensif.
Ditemukanlah virus omicron yang diduga kuat dibawa ketika salah seorang anggota keluarga kunjungan ke Afrika. Namun, ada hal yang mengejutkan pasca Bupati Bandung, Dadang Supriatna mengabarkan nol kasus omicron, ternyata kasus Covid-19 justru bertambah.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Grace Mediana yang menyebut ada 37 warga Kabupaten Bandung dirawat akibat positif Covid 19. Peningkatan ini diperkirakan terjadi karena libur tahun baru beberapa waktu lalu. (ayobandung.com, Kamis, 20/01/2022)
Rakyat Butuh Ketegasan Negara Atasi Wabah
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan para ilmuwan menunjukkan bahwa omicron berkembang biak 70 kali lebih cepat di saluran udara (bronkus) daripada delta. Namun bereplikasi 10 kali lebih lambat di paru-paru.
Inilah yang kemungkinan menjelaskan mengapa omicron sangat menular tetapi kurang parah. Dr Michael Chan Chi-wai, peneliti dari Hongkong memperingatkan bahwa varian yang sangat menular dapat menyebabkan lebih banyak kematian, bahkan jika itu lebih ringan.
Menurut Chan keparahan penyakit pada manusia tidak hanya ditentukan oleh replikasi virus tetapi juga oleh respons imun inang terhadap infeksi, yang dapat menyebabkan disregulasi sistem imun bawaan, seperti badai sitokin (respon imun tubuh yang berlebihan) yang bisa mengancam jiwa. (Kontan.co.id, Kamis, 16/12/2021)
Apa yang dikemukakan ahli tentang virus, baik omicron atau varian lainnya dari Covid-19 sudah selayaknya menjadi acuan pemerintah untuk bersikap tegas.
Artinya, ketegasan yang bersifat komprehensif dari hulu hingga ke hilir, bukan sekadar memberlakukan pembatasan pada kegiatan masyarakat (PPKM), menjaga prokes, sosialisasi vaksinasi, tapi juga melarang para pejabat dan warga asing keluar masuk Indonesia terutama urgensitas memahamkan bahaya omicron yang sebenarnya.
Jika saja ketegasan itu direalisasikan sejak Covid-19 melanda Indonesia, yakni dengan menutup pintu masuk dari dalam dan luar negeri, menetapkan lockdown serta 3T (test, tracing, and treatment), lalu memaksimalkan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan melalui pengerahan dana APBN dan APBD, tentu kasus munculnya varian Covid-19 tidak akan ada, termasuk bergugurannya korban hingga ribuan jumlahnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tidak akan membuat para pejabat negara introspeksi apalagi meratapi diri dengan kebijakannya yang telah mengorbankan rakyat. Bagi mereka, nyawa manusia bukanlah suatu beban yang harus dipertanggung jawabkan kelak di Yaumul Hisab.
Tak ada keterkaitannya dengan ketegasan atau kealpaan pemimpin. Life must go on, biarlah rakyat berkorban demi pemulihan perekonomian bangsa. Untuk itulah sektor industri, pasar, kantor, sekolah, wisata segera dinormalisasi, para investor diundang masuk, dan vaksinasi 100 persen digencarkan.
Demikian cara pandang pemimpin ala kapitalisme-liberalisme sejak diterapkan mengatur urusan publik di negeri ini dan juga negara lain di dunia. Sebuah paham yang memiliki akidah memisahkan agama dari kehidupan, membebaskan individu serta kelompok mencapai kebahagiaannya meski dengan merampas hak individu juga hak umum, dan membebaskan segala macam aktivitas manusia asalkan mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Maka, bagaimana mungkin rakyat berharap pandemi segera berakhir, bila landasan berpikir pemerintah (negara) masih sama, yakni tetap sejalan dengan arah pandang kapitalisme-liberalisme yang mengedepankan kemakmuran bagi kapitalis dibanding mengutamakan kepentingan masyarakat.
Ketegasan hanya Hadir saat Syariat Diterapkan
Lahirnya sebuah kebijakan tak bisa dilepaskan dari cara pandang negara. Kapitalisme yang memandang solusi permasalahan itu terletak pada materi dan kepuasan dunia, lalu paham ini diadopsi oleh negara, tentu akan berpengaruh besar dalam menyolusikan permasalahan umat, termasuk mengatasi wabah.
Perhatian tak maksimal, pelayanan sekadarnya, atau kebijakan yang lebih pro pemodal ketimbang pada rakyat, menjadi hal yang mudah terindera. Berbeda halnya ketika kebijakan itu lahir dari tuntutan syariat yang diterapkan negara.
Negara yang menjadikan hukum syariat sebagai landasan perbuatan, hanya akan berpikir bagaimana menjalankan amanah dengan sebaiknya agar rakyat aman dan sejahtera.
Apabila wabah telah menjangkiti suatu wilayah, hal pertama yang dilakukan pemimpin negara adalah memerintahkan warganya untuk menutup pintu masuk dan keluar, memisahkan ke tempat khusus antara orang sakit dan yang sehat, dan tidak diperkenankan siapa pun dekat dengan orang yang sudah terinfeksi virus.
Sikap pemimpin seperti ini pernah dicontohkan Rasulullah saw. dan Khalifah Umar bin Khattab ra., juga khalifah setelahnya dalam penanganan wabah.
Rasulullah saw. membuat tembok pemisah di sekitar daerah yang terjangkit wabah dan menjanjikan bahwa mereka yang bersabar dan tinggal akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah, sedangkan mereka yang melarikan diri dari daerah tersebut diancam malapetaka dan kebinasaan.
Berikut ini beberapa larangan Rasulullah saw. dalam hadisnya:
"Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kelian meninggalkan tempat itu," (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: "Jauhilah orang yang terkena lepra, seperti kamu menjauhi singa." (HR. Bukhari)
Selanjutnya pemimpin negara akan fokus pada penanganan pasien melalui 3T hingga benar-benar sehat dan bisa beraktivitas normal. Masa Khalifah Umar misalnya.
Setelah dilakukan karantina wilayah dan diasingkan ke tempat aman seperti bukit, gunung, masing-masing warga terdampak diberikan pelayanan maksimal hingga sehat, seperti dokter, obat, dan semua kebutuhan pokoknya secara cuma-cuma.
Sementara yang sehat diperkenankan untuk beraktivitas normal dengan menjauhi area wabah. Anggaran yang dikeluarkan bukan hanya dari kas negara semata tapi juga dana pribadi khalifah.
Ini dilakukan karena motivasi ingin mendapatkan pahala jariyah dengan cara memberikan sebagian besar harta yang dimiliki untuk membiayai rumah-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasiennya. Sebut saja contohnya Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M).
Salah seorang pemimpin di zaman Abbasiyah yang mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit di Kairo, yaitu rumah sakit al-Manshuri al-Kabir. Dari wakaf ini pula karyawan rumah sakit mendapatkan gajinya.
Perhatian negara atas urusan umat yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Hingga para khalifah setelahnya membuktikan satu hal: akidah Islam yang dijadikan asas perbuatan akan melahirkan sosok pemimpin yang tegas, penuh tanggung jawab, perhatian, dan akan mengerahkan segala hal yang dimiliki demi kesejahteraan masyarakat, tanpa khawatir ada varian baru muncul ataupun terabaikannya kesejahteraan rakyat.
Wallahu a'lam bi ash Shawwab.