MR.com, Jakarta|Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Ketua DPR RI Puan Maharani berharap Pemerintah segera menindaklanjuti keputusan ini sehingga pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dapat cepat dilaksanakan.
Pengesahan RUU TPKS dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar hari ini di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2022). RUU TPKS disahkan setelah masing-masing fraksi di DPR menyampaikan pandangannya.
“Apakah RUU usul inisiatif usul Badan Legislasi DPR RI tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui menjadi RUU usul DPR RI?” tanya Puan yang memimpin Rapat Paripurna.
Para Anggota DPR RI yang hadir dalam Rapat Paripurna menyatakan setuju. Puan lalu mengetok palu tanda RUU TPKS resmi disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR.
“Kami berharap pembahasan RUU TPKS pada tahap selanjutnya dapat berjalan lancar,” ucap Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Puan juga mengucapkan apresiasi untuk seluruh aktivis yang memperjuangkan hak-hak dan perlindungan korban kekerasan seksual. Khususnya bagi sejumlah aktivis perempuan yang hadir pada Rapat Paripurna hari ini untuk mendukung pengesahan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR.
“Terima kasih atas kehadiran teman-teman dari Jaringan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual yang mengikuti sidang paripurna 18 Januari ini” ucap Puan.
“Semoga gotong royong kita bersama bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak,” imbuhnya.
Puan mengingatkan, RUU TPKS masih harus melalui sejumlah proses untuk bisa disahkan sebagai undang-undang. Usai penetapan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR, lembaga legislatif ini nantinya akan bersurat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Dan kami berharap Bapak Presiden bisa segera mengirimkan Supres (Surat Presiden) dan DIM (daftar inventarisasi masalah). Kami juga menunggu Pemerintah menunjuk Kementerian yang akan membahas RUU TPKS bersama DPR,” sebut Puan.
Setelah Supres dikirimkan, DPR akan membahas alat kelengkapan dewan yang akan membahas RUU TPKS. Puan menyebut, pembahasan soal hal itu akan dilakukan dalam Rapat Paripurna.
“Apakah Komisi atau Badan Legislatif (Baleg) yang diberi kewenangan untuk membahas RUU TPKS bersama pemerintah, nantinya akan diputuskan dalam Rapat Paripurna,” tutur mantan Menko PMK tersebut.
Puan berharap proses pembahasan RUU TPKS dilakukan dengan seksama. Ia juga kembali memastikan DPR akan terbuka menerima aspirasi dari masyarakat dalam proses pembahasan RUU TPKS.
“DPR RI bersama Pemerintah berkomitmen menuntaskan RUU TPKS dengan sebaik-baiknya. Kita harus memastikan korban-korban kekerasan seksual menerima hak-hak dan perlindungan dari Negara,” tutup Puan.**
Penulis: Zahrul Hayati, saya aktivis Dakwah Prabumulih, Sumatera Selatan.
MR.com| Menjadikan Piagam Madinah sebagai dalil bagi ide -ide Islam Moderat adalah salah besar. Ini merupakan penelikungan terhadap dalil, suatu hal yang sudah biasa dilakukan kelompok yang mengklaim Islam Moderat untuk memberi legalitas atas pendapatnya.
Negara tampak semakin alergi dengan segala hal berbau syari'at Islam, kecuali jika aturan itu menguntungkan. Para pejabat nya pun kian berani melontarkan kata - kata yang menyudutkan Islam dan umat Islam. Seakan - akan seluruh persoalan bangsa terjadi saat ini akibat perbuatan umat Islam dan penerapan syariat Islam.
Mereka terus berusaha menjauhkan umat dari keinginan hidup dengan Syariat Kaffah. Bahkan, terindikasi memaksa mereka melanggar syariat atas nama moderasi Islam yang berkelindan dengan gagasan semisal Demokrasi, HAM, toleransi, kesetaraan gender, pluralisme dan sejenisnya.
Padahal, siapapun bisa melihat fakta bahwa sistem yang hari ini mereka tegakan justru telah gagal membawa umat pada kebaikan dan kesejahteraan. Sistem ini bahwa telah sukses melahirkan begitu banyak kezaliman, kerusakan, pembodohan, dan penderitaan yang berkepanjangan.
Berbagai kerisis yang terjadi diberbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, sosial, hukum, hankam, hingga krisis moral. Bahkan negeri yang memiliki potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah ruah ini justru jatuh dalam cengkeraman penjajahan gaya baru, ialah penjajahan berbulu domba.
Moderasi adalah proyek besar Kapitalis Barat
Apa yang dilakukan para penguasa di negeri muslim terbesar ini sesungguhnya sejalan dengan apa yang diinginkan kafir Barat. Mereka seakan memposisikan diri sebagai antek yang mengekor, membebek pada kehendak kafir Barat demi kompensasi dukungan politik bagi langgengnya kekuasaan mereka.
Stigma teroris, radikal, fundamentalis pun mereka jadikan sebagai alat pukul untuk menghantam, membungkam benih perubahan kearah Islam. Mereka buat berbagai peta jalan yang sengaja menjauhkan generasi dari Islam Kaffah, terutama di bidang pendidikan, termasuk di pesantren, madrasah, hingga majelis - majelis ta'lim pengajian.
Arah kelembagaan, kurikulum hingga para penduduknya pun semua dimoderasi dan dideradikalisasi atas nama kemajuan, Islam ramah dan perdamaian. Berbagai aturan, dan kelembagaan, bahkan rencana aksi dan berbagai modul mereka buat agar upaya pemberangusan ini berjalan sistematis dan menjadi legal.
Merekapun menyasar, mencekoki semua komunitas, mulai dari orang tua, remaja, mahasiswa, kalangan perempuan, hingga anak - anak, demi menutupi celah bangkit nya kesadaran politik Islam. Mereka merangkul kalangan ulama Su', Intelektual, Aktivis Sekuler, Lembaga Pendidikan ( termasuk Pendidikan Islam ), dan media sebagai aktor partner dalam menyukseskan moderasi yang sejatinya merupakan deideologisasi Islam. Adu domba pun dibuat antara umat Islam sebagai cara untuk melemahkan umat Islam.
Ada apa dengan Moderasi???
Ada yang sangat menonjol di tahun ini, yakni arus deras moderasi yang memekakkan telinga. Seolah - olah berbagai permasalahan multidimensi di negeri ini. Padahal, moderasi adalah racun yang berbalut madu.
Sesungguhnya Moderasi adalah ide proyek besar arahan kapitalis Barat untuk menjauhkan umat dari syariat Islam dan menghadang akan kebangkitan Islam Kaffah.
Sepintas gagasan " Islam Moderat" seolah asli dan elegan. Berbagai pernyataan yang datang dari para politisi intelektual Barat terkait Islam moderat dan Islam radikal atau ekstrimis, kita akan menemukan bahwa pandangan mereka tentang Islam moderat adalah Islam yang tidak anti Barat. Dalam artian mereka mau berkompromi dengan nilai - nilai Barat. Mereka yang masuk dalam kelompok Islam moderat ini dianggap sebagai Islam yang ramah, toleran dan bisa menjadi mitra Barat.
Mengapa Agama disalahkan?
Kenapa masih ada yang menganggap moderasi adalah solusi? Karena mereka salah memahami akar masalah. Seolah semua masalah itu akibat fundamentalisme agama, ekstrim, radikal, atau pemahaman agama yang terlalu dalam. Sehingga mereka beranggapan Menyelesaikan masalah ini dengan mengubah pemahaman agamanya.
Padahal ini adalah tuduhan belaka. Berbagai masalah saat ini bukan karena agama. Sebab nyatanya, agama saat ini belum diterapkan, yang diterapkan / yang berkuasa justru Kapitalisme Sekulerisme.
Piagam Madinah bukan dalil kesepakatan dan Demokrasi.
Islam Kaffah Solusi Hakiki
Padahal, Islam moderat dan Islam radikal, Islam ramah, ekstrimis dan sebagainya tidak ada dalam keilmuan Islam. Allah SWT mewajibkan bagi setiap muslim untuk tidak hanya terikat pada akidah serta mengimani rukun iman dan rukun Islam.
Tapi mengharuskan pula untuk terikat dengan syariatNya, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah, muamalah ( seperti sistem ekonomi ) munakahat ( seperti sistem pergaulan pria - wanita ), hudud dan jinayat ( seperti sistem sanksi dan peradilan ), jihad maupun ahkam sulthaniyyah ( seperti sistem pemerintahan ) dan sebagainya.
Inilah yang disebut dengan Islam Kaffah, inilah ke ber-Islaman yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai mana firman Nya :
"Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya ( Kaffah ) dan janganlah kamu turut langkah - langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi mu ( TQS AL - Baqarah : 208 )
Fitnah akan terus menjadi ujian bagi perjuangan dan penegakan Syariat Islam Kaffah, sekaligus menjadi saringan untuk memilah siapa yang istiqomah berada dibarisan pejuang dan siapa yang berposisi di seberang.
Hanya saja, seberat apapun tantangan, tentu tidak boleh melemahkan keyakinan bahwa ujung dari perjuangan ini adalah janji kemenangan. Tugas kita adalah memaksimalkan ikhtiar menyadarkan umat dengan akidah dan pemikiran Islam. Juga membongkar hakikat yang ada dibalik arahan kafir Barat agar umat memahami bahwa hanya Islamlah sumber kemuliaan dan asas kebangkitan yang harus sungguh - sungguh diperjuangkan.
Umat bangkit dengan Islam Kaffah.**
MR.com,Padang|Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dr. H. Alirman Sori, S.H. M.Hum. M.M, pada Senin 17 Januari 2022 temu ramah dengan anggota Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Perkumpulan Perusahaan Perusahaan Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) bertempat di Corner Cafe kawasan GOR H Agus Salim, Padang.
Setiba di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), mantan Ketua DPRD Pesisir Selatan periode 2004-2009 Dr. H. Alirman Sori, S.H. M.Hum. M. langsung mengontak Ketua DPW MOI Sumbar Anul Zufri SH MH dan mengajak untuk bersilaturahmi dengan pengurus dan anggota DPW MOI, di Komplek GOR Haji Agus Salim Padang.
Dari bahasa yang meluncur dari mulut pria kelahiran 14 Mai 1969 ini tampak jelas bahwa ia rindu suasana saat-saat masih menjalankan tugas sebagai jurnalis yang telah dimulainya semenjak tahun 1997 silam. Beraneka cerita suka, duka hingga peristiwa lucu yang pernah dialaminya saat menjadi seorang jurnalis pun mengemuka saat silaturahmi itu.
Momen langka ini pun dimanfaatkan para jurnalis yang tergabung dalam Perkumpulan Perusahaan Perusahaan Media Online Indonesia Sumbar ini untuk mengulik pendapat Alirman Sori tentang kuatnya keinginan masyarakat menolak presidential threshold 20 persen sebagai ekspresi dari “daulat rakyat” dan implementasi dari “daulat hukum’ yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik dan menghasilkan demokrasi yang berkeadilan.
Menurut para jurnalis yang tergabung dalam MOI Sumbar ini, setiap kali ada gugatan tentang ambang batas atau presidential threshold pencalonan presiden dan wakil presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menolak permohonan para pemohon. Bahkan dalam catatan para jurnalis ini sudah 13 kali MK menolak permohonan penghapusan presidential threshold tersebut, meski dinilai bertentangan dengan UUD 1945, seperti pasal 22E ayat (1) dan (2), kemudian bertentangan dengan pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (3).
Ternyata mantan Ketua Partai Golkar Pesisir Selatan tahun 2009 – 2015 ini adalah salah seorang dari sekian banyak kalangan yang menolak presidential threshold tersebut. Sebab menurut dia, selama beberapa kali pemilihan presiden (Pilpres), terkesan presidential threshold ini telah menjadi pintu masuk bagi praktik “demokrasi kriminal”. Karena pemilihannya terkesan didasari oleh “kekuatan uang”.
Selain itu menurut Alirman Sori, presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas.
Kata mantan Ketua Asosiasi DPRD (Kabupaten) tingkat Sumbar tahun 2004 – 2009 ini, sifatnya yang transaksional ini telah melahirkan para calon presiden yang bertumpu pada dukungan uang dan pencitraan. Bukan berbasis pada integritas, track record, prestasi, dan kemampuan problem solver.
Selain itu kata Alirman Sori, penerapan presidential threshold hingga 20 persen dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang akan membuat rakyat tak berdaulat.
“Kedaulautan rakyat akan hilang, harusnya tidak ada presidential threshold, bahkan nol persen saja,” katanya.
Kalau ada kekhawatiran akan banyak muncul calon presiden dan wakil presiden bila tak ada presidential threshold, kata Alir hal itu bukan sebuah persoalan besar. Biarkan rakyat yang menseleksinya, yang akhirnya lahir pemimpin terbaik pilihan rakyat.
Kata Alirman Sori, jalan terbaik untuk menemukan sosok presiden itu adalah vpenghapusan aturan presidential treshold, sehingga kekuatan demokrasi Pancasila di negeri ini benar-benar memiliki wibawa. (rel)
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka mengingatkan, RUU TPKS bukan berarti sudah resmi menjadi undang-undang setelah disahkan sebagai RUU Inisiatif besok. RUU TPKS baru selesai melalui tahap harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR sebelum dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan sebagai RUU Inisiatif.
Usai menetapkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif, DPR nantinya akan bersurat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Presiden kemudian akan mengirimkan Surpres (Surat Presiden) dan DIM (daftar inventarisasi masalah). Presiden juga akan menunjuk Kementerian yang akan membahas bersama dengan DPR, misalkan Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM) dan Kementerian PPPA (Perlindungan Perempuan dan Anak),” kata Diah di Jakarta, Senin (17/1/2022).
Setelah menerima balasan dari Presiden, DPR akan menggelar rapat paripurna untuk membahas alat kelengkapan dewan yang akan membahas RUU TPKS. Dalam rapat tersebut, akan diputuskan Komisi atau Badan Legislatif (Baleg) yang diberi kewenangan membahas RUU tersebut bersama pemerintah.
“Alat kelengkapan bisa dari komisi atau Baleg. Semoga prosesnya berjalan lancar,” ujar Diah.
Politikus PDIP ini mengingatkan pentingnya kualitas dan komprehensif RUU ini sehingga pembahasan antara DPR dan Pemerintah harus dilakukan secara seksama. Diah mengatakan, RUU TPKS diharapkan dapat membawa perubahan, terutama dalam penegakkan keadilan bagi korban kekerasan.
“UU ini juga dapat membangun mekanisme pencegahan dan pelayanan yang optimal dalam upaya perlindungan perempuan dan anak sebagai pihak yang rentan mengalami kekerasa seksual,” jelasnya.
Seperti diketahui, Ketua DPR Puan Maharani memastikan RUU TPKS akan disahkan menjadi inisiatif DPR pada sidang paripurna, Selasa (18/1/2022). Menurutnya, kecermatan dalam proses pengesahan RUU ini diperlukan agar produk hukum ini tak malah membatasi fungsi dan dedikasi perempuan.
“Bagaimana kita keluar rumah dengan tenang? Kita mau keluar rumah karena kita mau mendedikasikan diri kita pada pekerjaan kita. Kita kan mau dalam keluar rumah nyaman, aman, tenang melaksanakan tugas tugas kita sebagaimana kita harapkan”, ungkap Puan saat merespons keresahan komika perempuan, Sakdiyah Ma’ruf dalam audiensi bersama pejuang RUU TPKS, pekan lalu.
Dalam forum dengan sejumlah aktivis perempuan dari berbagai elemen masyarakat itu, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap betapa figur pemimpin perempuan menjadi tumpuan harapan pembangunan bangsa.
“Ketika seorang perempuan diberikan ruang yang aman, perempuan akan bisa bekerja dan memberikan karya. Pemimpin perempuan menjadi penting untuk memastikan hal tersebut. Karena pemimpin perempuan itu memiliki gaya kepemimpinan yang bersahabat dan lebih mempunyai empati dan hanya pemimpin perempuan yang bisa memahami persoalan dan mengatasi masalah perempuan,” ucap Lucky.
Sejumlah aspirasi dan desakan disahkannya RUU TPKS menjadi bahasan Prolegnas prioritas siang itu dipastikan Ketua DPR RI menjadi masukan berharga dalam menjalankan fungsi legislasi. Rencananya, Sidang Paripurna DPR RI 18 Januari 2022 akan mengesahkan RUU TPKS menjadi salah satu dari 40 RUU Prolegnas prioritas.
Dengan demikian, sinergi antara DPR dan Pemerintah akan berlanjut seusai Sidang Paripurna digelar. Proses ini akan menjadi fase baru perjalanan RUU TPKS yang melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat. Puan menginginkan RUU TPKS menjadi produk hukum yang disusun dengan benar-benar cermat sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.**
Jadi kami sangat mendukung dan mengapresiasi penuh RUU TPKS yang menjadi RUU Inisiatif DPR sebab kita butuh RUU TPKS untuk menciptakan ruang aman yg bebas kekerasan seksual. Kami mendukung adanya keterbukaan dan pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU TPKS ini, kata Mika.
Kehadiran dua pemuda dalam dengar pendapat bersama para aktivis perempuan itu, mendapat perhatian dari Puan. “Baik sekali kalau semua, termasuk kaum lelaki juga ikut concern soal RUU TPKS, karena ini sebenarnya bukan hanya masalah perempuan dan anak, tapi masalah bangsa,” kata Puan.
Mika tentu bukan satu-satunya pria yang memiliki kepedulian atas dinamika yang terjadi terhadap perjalanan RUU TPKS ini. Ada banyak pria yang juga mendukung disahkannya RUU TPKS tersebut karena persoalan kekerasan seksual juga bisa dialami pria.
Menurut catatan Komnas Perempuan, ada 1 dari 10 laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR pada Februari 2021 silam, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar pernah menyampaikan hasil studi kuantitatif yang dilakukan oleh organisasinya dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang melaporkan 33,3 persen laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.
Meski tidak sebanyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang jumlahnya mencapai lebih dari 66%, jumlah tersebut menjadi sangat signifikan bila merujuk pada perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa satu korban kekerasan sudah terlalu banyak.
Apresiasi atas pernyataan Puan yang menyatakan akan segera mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR juga dilontarkan oleh *Usman Hamid*, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
“Saya mengapresiasi langkah Ketua DPR jika pekan depan menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif yang diprioritaskan dan segera disahkan,” kata Usman.
Menurutnya, banyak sekali warga masyarakat yang sudah berada dalam keadaan darurat kekerasan seksual. Usman bercerita bahwa Jumat (14/1) dini hari tadi saja, ia baru tiba dari perjalanan darat luar kota untuk membantu seorang perempuan yang baru mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
“Cukup parah. Bukan hanya kekerasan fisik biasa, atau kekerasan verbal dan mental saja. Tetapi nyaris semuanya, termasuk kekerasan seksual. Sang istri juga dipisahkan dari anak perempuan yang kini dibawa oleh suami tanpa kejelasan nasib anak dan lokasi keberadaannya. Kami sudah lapor ke pihak kepolisian, Polda Jabar dan Bareskrim, semoga ada tindakan hukum. Sebulan lalu saya membantu seorang ibu yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual di sebuah pesantren,” katanya.
Kondisi bahwa Indonesia mengalami kondisi darurat kekerasan seksual dan karenanya RUU TPKS menjadi sebuah urgensi untuk segera disahkan juga disampaikan oleh aktivis kesetaraan dan keragaman yang juga akademisi dari Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Nur Iman Subono.
Ia dengan tegas mengatakan mendukung disegerakannya pengesahan RUU TPKS ini. “Apalagi RUU yang begitu urgen ini sudah tertunda lebih dari satu tahun,” katanya. Menurutnya, meski memang prioritas dan fokus penangan kekerasan seksual saat ini cenderung lebih berfokus untuk perempuan, sejatinya korban dan pelaku bisa siapa saja. “Jadi jelas, RUU ini sebenarnya buat kemaslahatan orang banyak,” cetusnya.
Politisi Budiman Sudjatmiko pun menyampaikan hal yang sama terkait perkembangan RUU TPKS ini. “Menurut saya, sudah benar yang dikatakan Ketua DPR bahwa RUU TPKS ini harus disegerakan. Kekerasan seksual yang terjadi yang biasanya disebabkan oleh hubungan relasi kuasa yang tidak setara ini rentan terjadi di lembaga apa pun. Sekuler, keagamaan, sipil, militer, bahkan keluarga. Apalagi, kasus kekerasan umumnya bersifat seperti gunung es. Yang muncul di permukaan hanya sebagian kecilnya saja, sementara kasus lain yang jumlahnya jauh lebih banyak, terkubur di bawah permukaan,” katanya.
Budiman dan Usman juga mengingatkan, perlunya memperhatikan dan melindungi kepentingan korban dalam setiap kasus kekerasan yang terjadi. Perlindungan korban ini pula yang menurut Usman, menjadi alasan perlunya RUU TPKS segera disahkan. “Terlalu lama penderitaan masyarakat kita berjalan tanpa perlindungan Negara dalam kasus kekerasan seksual. RUU ini hendak memberi landasan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan negara. Sebab penindakan dan pencegahan jenis kejahatan ini belum diatur dalam Undang-Undang lain. Padahal sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia, baik melalui penghukuman pelaku maupun perlindungan yang berbasis prinsip pencegahan terjadinya kekerasan seksual, serta pemulihan maupun pemenuhan hak-hak korban yang belum diatur dalam Undang-Undang lain,” ungkap Usman.
Baik Nur Iman, Usman dan Budiman juga menampik pendapat segelintir kelompok yang menentang RUU TPKS ini. “Tidak ada pasal-pasal dalam RUU TPKS yang bisa dianggap pro perzinahan dan sebagainya. RUU ini secara khusus atau lex spesialis menangani kekerasan seksual dan fokus pada perlindungan korban, hukuman dan rehabilitasi pelaku supaya kekerasan tidak terjadi lagi. Korban sudah berjatuhan dan korbannya ini bisa siapa saja, lintas usia, kelas, etnis, agama, status sosial ekonomi dan lokasi.
Karenanya RUU ini harus dikawal bersama sampai menjadi undang-undang,” katanya. Ia juga menyitir perspektif Hak Asasi Manusia yang memandang satu orang korban yang jatuh karena sebuah kasus kekerasan sudah lebih dari cukup. “Selebihnya hanya angka-angka. Toleransi kita harus nol untuk kasus-kasus kekerasan seksual,” Nur Iman menandaskan.
“Mereka yang menentang pasti kurang memahami esensi tindak pidana kekerasan seksual dan mengapa tidak adanya persetujuan dalam hubungan seksual itu merupakan kejahatan. Bahkan dalam pernikahan pun, hubungan seksual dengan paksaan itu jelas merupakan tindak kejahatan, yaitu perkosaan dalam hubungan pernikahan.
Jika mereka pakai isu agama untuk menolak RUU ini, itu sangat keliru karena ajaran agama juga melarang kekerasan seksual. Hukum internasional juga melarang kekerasan seksual, bahkan jenis-jenis tertentu dari kekerasan seksual dapat dianggap sebagai pelanggaran berat HAM. Hukum pidana tentang zina dan kesusilaan yang diatur Undang-Undang lainnya sangat problematik dan harus diperbaiki. RUU ini adalah sebagian saja dari upaya perbaikan sistem perlindungan negara kepada kita semua, tanpa kecuali, termasuk anak cucu kita,” Usman menyatakan.
Senada dengan dua pendapat tersebut, Budiman pun menolak pendapat segelintir kelompok tersebut. “Jangan sampai kekolotan segelintir kelompok yang salah paham atau menyalahpahami RUU TPKS ini mempengaruhi pemikiran tentang urgensi untuk memberi ruang aman bagi kemanusiaan. Suara minor dari sedikit orang ini tak boleh malah menggagalkan ekspresi dan kebutuhan banyak orang,” tandasnya.**