OpiniOleh : Ummu Munib
Ibu Rumah Tangga
Mitra Rakyat.com
Sebagaimana dilansir GalamediaNews.com (1/11/2020) bahwa Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo berkunjung ke Indonesia (29/10/2020). Kunjungan ini disambut oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi.
Selain membahas tentang investasi, juga membahas tentang Kepulauan Natuna yang tengah terancam dampak dari konflik Laut China Selatan (LCS).
Konflik memanas usai China mengklaim sepihak 90 persen dari perairan LCS. Seperti diketahui, kapal patroli Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China kerap mengganggu Indonesia dengan memasuki zona maritim NKRI di Kepulauan Natuna.
Aparat militer Indonesia tak bisa berbuat banyak karena Beijing menyatakan wilayah tersebut masuk dalam zona bebas terkait klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line ).
Kunjungan Mike Pompeo mendapat respon dari Duta Besar China Xiao Qian. CNNIndonesia (30/10/2020) melansir bahwa Duta Besar China menyebut kedatangan Menteri Luar Negeri AS ke Indonesia, memprovokasi hubungan bilateral China Indonesia. Xiao Qian menentang keras tindakan Menlu AS tersebut.
Menurutnya, pernyataan keliru Pompeo juga justru semakin menunjukkan intensi buruk AS, disamping telah mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan.
Mike Pompeo telah melakukan serangan yang tidak berdasar terhadap Tiongkok, telah memprovokasi hubungan Tiongkok-Indonesia, serta telah mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan," ucapnya dikutip dari situs resmi Kedutaan Besar China di Indonesia, Jumat (30/10).
Masih dalam kunjungan tersebut, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo juga bakal menggelar pertemuan dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, Kamis (29/10/2020) siang ini.
Pertemuan dengan tajuk "Nurturing The Share Civilization Aspirations of Islam Rahmatan lil Alamin The Republic of Indonesia and The United Stated of America itu digelar di Hotel Four Season. Ditemui sebelum menggelar pertemuan dengan Pompeo, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, GP Ansor memiliki beberapa kesamaan tujuan.
Pertama, Ansor ini ingin agar citra soal Islam, terutama di dunia Barat tidak melulu citra yang identik dengan kekerasan dan teror. "Ada sisi Islam yang lain, Islam yang penuh rahmah, Islam yang penuh kasih sayang yang di sini kita kenal dengan Islam rahmatan lil alamin," tuturnya.
Dikatakan Gus Yaqut, Islam rahmatan lil alamin sangat menghargai perbedaan- perbedaan, baik itu perbedaan agama, suku, ras dan lainnya. Pertemuan ini, kata Gus Yaqut, dimaksudkan untuk lebih pada menyamakan cara pandang antara Indonesia dan AS terhadap persoalan-persoalan tersebut.(Okezone.com, Kamis, 29/10/2020)
Memang tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia bak gadis cantik, sehingga dilirik baik oleh AS maupun China. Indonesia memiliki posisi yang strategis di konflik Laut Cina Selatan. Posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN membuat tindakan yang diambil Indonesia menjadi penting bagi kelanjutan konflik.
Setali tiga uang, AS dan Cina akan terus berupaya menyeret Indonesia ke pihaknya, baik dengan pendekatan pertahanan keamanan, ekonomi, kesehatan, maupun yang lainnya.
Tak heran ketika ideologi kapitalis sekuler yang diterapkan, maka tujuan dua negara besar tersebut tiada lain adalah penjajahan di kawasan Asia.
Cina berusaha menjadi penguasa kawasan dan AS terus berupaya membendungnya. Perebutan pengaruh di kawasan merupakan faktor penting dalam politik luar negeri kedua negara tersebut.
Indonesia tentu harus bersikap tegas menolak setiap bentuk penjajahan dan intervensi asing, baik dari Timur maupun Barat. Selama masih menjadikan kepentingan ekonomi (investasi) sebagai acuan politik luar negerinya, Indonesia tidak akan pernah bisa bersikap independen. Indonesia akan selalu terombang-ambing antara gelombang Barat dan Timur.
Hal ini menegaskan makin lemahnya kedaulatan politik dalam negeri, sehingga kebijakannya didikte oleh asing. Berbeda dengan sistem Islam, Islam adalah ideologi yang benar, lahir dari Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur.
Yakni Allah Swt, maka tidak ada keraguan dijadikan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk urusan hubungan luar negeri. Ketika ideologi Islam diterapkan maka akan mampu membangun kesadaran politik tentang bahaya hubungan dengan negara kafir harbi (negara yang memusuhi Islam).
Islam mengharamkan dominasi asing terhadap negeri muslim, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla
Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (TQS Al-Nisâ: 141)
Ayat ini adalah dalil larangan membuka jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman. Ayat ini sekaligus pedoman atas politik luar negeri negara Islam dengan negara lain dalam konstelasi internasional. Politik luar negeri Islam memosisikan akidah Islam wajib menjadi dasar bagi ideologi negara.
Maka, negara kaum muslimin tidak boleh menjadi negara yang dikuasai negara lain dalam bidang apa pun, wajib memiliki kedaulatan penuh tanpa disetir negara lain.
Selain itu sistem Islam tidak mengenal politik luar negeri bebas aktif. Haram menjalin hubungan diplomatik, kerja sama ekonomi, pendidikan, perdagangan dan militer dengan negara kafir penjajah.
Termasuk kerja sama investasi dan utang luar negeri. Sistem Islam menutup celah penguasaan umat muslim atas umat lain. Walhasil, semakin kuat kebutuhan kaum muslimin pada sistem Islam yang menerapkan Islam secara Kaffah, yang akan menghantarkan menjadi negara yang tangguh, mandiri dan tidak bergantung kepada negara-negara asing.
Wallahu alam bi ash shawwab.