KARTU PRA-KERJA, SOLUTIFKAH DI MASA PANDEMI?
Opini
Ditulis Oleh: Kiki Zaskia
(Pemerhati Sosial)
Mitra Rakyat.com
Tak terbendung lagi pelaku ekonomi babak belur dengan krisis ekonomi imbas dari pandemik yang menguji kini. Ekonomi kapitalisme yang santer dengan istilah ekonomi konvensional diuji ketahanan imun dalam hal stabililitas ekonomi kian menunjukkan kondisi kritis. Negara kapitalisme tulen seperti AS saja tak dapat menghindarinya. Dikutip detik.com (4/4/2020), badai PHK mulai melanda AS. Pada Maret, tercatat ada 701.000 pekerja yang di-PHK sebagai respon penyebaran wabah Covid-19 yang menyebabkan pabrik dan bisnis berguguran.
Indonesia juga mengalami hal yang sama. Mimpi buruk buruh dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menyapa. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan imbas pandemik corona. Sebanyak 10.6% di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4% lainnya karena dirumahkan. Secara rinci yang dirilis Kementerian Tenaga Kerja, Sabtu (11/4) lalu, jumlah pekerja yang di-PHK sebanyak 160.067 pekerja dari 24.225 perusahaan, sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan. Sedangkan sektor informal yang dirumahkan sebanyak 265.881 pekerja dari 30.466 perusahaan (katadata.co.id, 13/4/2020) dengan berbagai sebab yang kompleks mulai dari ketersediaan bahan baku impor yang mulai menipis, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, daya beli masyarakat yang menurun tajam sehingga perusahaan akan kesulitan menaikkan harga jual, penurunan kunjungan wisatawan ke Indonesia, hingga anjloknya harga minyak potensi turunnya ekspor minyak.
Dari berbagai fakta-fakta diatas penyebab dari lesunya perekonomian yang berimbas pada perampingan karyawan, tak luput juga pekerja sektor informal pemerintah justru memberikan solusi yang mengambang dengan Kartu Pra-Kerja. Meskipun dalam proyeksinya termasuk yang terdampak PHK yang masuk dalam kategori pencari kerja. Selain itu, pekerja dan pelaku usaha kecil dan mikro. Dalam hal teknis sangat disayangkan ketika kedaruratan dalam hajatul uduwiyah (pemenuhan kebutuhan dasar manusia) harus dengan embel-embel pelatihan kerja. Bukan hal tidak mungkin tidak semua orang dapat menjangkaunya untuk mendapatkan Kartu Pra-Kerja, Sebab syarat dan ketentuan berlaku. Selain itu, pendaftar harus melakukan langkah-langkah dengan sistem daring padahal diketahui belum tentu semua kalangan memiliki kesempatan akses untuk hal seperti itu. Lalu, bagaimana nasib rakyat yang belum beruntung mendapat Kartu Pra-Kerja atau bahkan belum mampu untuk mendaftar? Inilah wujud bertele-telenya solusi pemerintah ditengah pandemik dengan Kartu Pra-Kerja.
Kartu Pra-Kerja yang notabenenya berupa pelatihan kerja saat masa pandemik sungguh berisikan harapan meningkatkan SDM dengan skill yang terlatih tak dapat optimal sebab keterbatasan ruang dan waktu masa pelatihan tak maksimal di masa physical distancing. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhisira menilai bahwa Kartu Pra-Kerja harusnya diterapkan saat kondisi perekonomian sedang normal. Di saat krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Pra-Kerja. (politik.rmol.id, 12/4/2020)
Kartu Pra-Kerja dengan mekanisme dan insentif yang ada, hanya memberikan rakyat bantuan jangka pendek di tengah kondisi tak menentu dan tentu saja tak terdistribusi secara merata karena seleksi yang ada. Padahal dalam kondisi pandemik, kini ketika rakyat berupaya untuk bersinergi dengan pemerintah dengan taat aturan PSBB atau tetap di Rumah Aja namun bertepuk sebelah tangan dengan pemerintah yang tak menjamin rakyat dengan kesungguhan untuk memenuhi kebutuhan dasar selama pandemi belum jenuh di Indonesia.
Realokasi anggaran yang belum total demi selamatkan nyawa rakyat, misalnya anggaran infrastruktur, pemindahan ibu kota, stimulus sektor industri pariwisata dan penerbangan. Menurut perhitungan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat anggaran sebesar Rp.425 trilliun jika semua anggaran tersebut direalokasi (kompas.com, 31/3/2020). Seharusnya dapat menjadi pertimbangan alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat melalui mekanisme Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketimbang dengan Kartu Pra-Kerja dengan distribusi tak komprehensif.
Ketidakpastian jaminan kesehatan dan perlindungan untuk rakyat dari negara adalah dampak dari berkiblat pada kapiltalisme-sekuler yang telah menjadi wataknya, individualis lagi pragmatis. Hingga kini ratusan nyawa yang berjatuhan seolah hanya berupa angka-angka, belum lagi jutaan penduduk yang terancam jiwanya seolah miniatur berjalan, atau jika tidak terinfeksi virus maka perekonomian rakyat terkhusus rakyat kecil sangat terpojokkan dengan sulitnya mencari penghidupan di masa pandemik.
Sistem politik yang rapuh mempertaruhkan nyawa rakyat, baik karena terinfeksi virus ataupun ancaman kemelaratan rakyat tak menjadi prioritas. Sistem politik yang rapuh telah melahirkan eksekusi yang tak tepat sasaran ketika Kartu Pra-Kerja sebagai janji politik dipaksakan di tengah pandemik. Enggannya pemerintah untuk karantina wilayah bagi wilayah episentrum virus serta keputusan PSBB yang dipertahankan semakin menampakkan rakyat belum dapat terlindungi sebab mobilitas masih dibolehkan negara yang masih rentan potensi penularan apalagi sudah ada pasien terinfeksi berstatus OTG (Orang Tanpa Gejala), padahal tujuannya untuk melawan corona, keanehan yang nyata.
Sungguh sangat berbeda dalam Islam, Islam memandang politik berarti ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurusi urusan umat). Kepentingan umat adalah prioritas yang kaya maupun miskin. Dalam adopsi pengaturan umat berasal dari syariat Allah dan apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw. Baik untuk manusia secara umum maupun kaum Muslim secara khusus. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. al Ma’idah:52)
Kemudian ditambah lagi dalam hadist. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat)”. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Oleh karena itu, keberadaan politik dalam Islam tujuannya untuk berkuasa, namun bukan untuk berbangga dengan jabatan apalagi untuk menghisap umat manusia dan rakyat. Tetaapi sebagai pengatur dilaksanakannya hukum-hukum Allah agar diadopsi oleh umat. Dan kemudian mengundang rahmat agar senantiasa membumi di seluruh alam sebagaimana dalam sejarah peradaban dunia. Sungguh, sistem politik Islam pernah memiliki pengaruh peradaban yang gemilang.
Oleh sebab itu, dalam penanganan pandemik di masa kejayaan Islam dalam bingkai khilafah, kondisi kas negara dapat memenuhi kebutuhan rakyat sebab solidnya sistem ekonomi Islam serta orientasi umat yang konsisten. Wallahu a’lam bisshawab.
Ditulis Oleh: Kiki Zaskia
(Pemerhati Sosial)
Mitra Rakyat.com
Tak terbendung lagi pelaku ekonomi babak belur dengan krisis ekonomi imbas dari pandemik yang menguji kini. Ekonomi kapitalisme yang santer dengan istilah ekonomi konvensional diuji ketahanan imun dalam hal stabililitas ekonomi kian menunjukkan kondisi kritis. Negara kapitalisme tulen seperti AS saja tak dapat menghindarinya. Dikutip detik.com (4/4/2020), badai PHK mulai melanda AS. Pada Maret, tercatat ada 701.000 pekerja yang di-PHK sebagai respon penyebaran wabah Covid-19 yang menyebabkan pabrik dan bisnis berguguran.
Indonesia juga mengalami hal yang sama. Mimpi buruk buruh dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menyapa. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan imbas pandemik corona. Sebanyak 10.6% di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4% lainnya karena dirumahkan. Secara rinci yang dirilis Kementerian Tenaga Kerja, Sabtu (11/4) lalu, jumlah pekerja yang di-PHK sebanyak 160.067 pekerja dari 24.225 perusahaan, sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan. Sedangkan sektor informal yang dirumahkan sebanyak 265.881 pekerja dari 30.466 perusahaan (katadata.co.id, 13/4/2020) dengan berbagai sebab yang kompleks mulai dari ketersediaan bahan baku impor yang mulai menipis, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, daya beli masyarakat yang menurun tajam sehingga perusahaan akan kesulitan menaikkan harga jual, penurunan kunjungan wisatawan ke Indonesia, hingga anjloknya harga minyak potensi turunnya ekspor minyak.
Dari berbagai fakta-fakta diatas penyebab dari lesunya perekonomian yang berimbas pada perampingan karyawan, tak luput juga pekerja sektor informal pemerintah justru memberikan solusi yang mengambang dengan Kartu Pra-Kerja. Meskipun dalam proyeksinya termasuk yang terdampak PHK yang masuk dalam kategori pencari kerja. Selain itu, pekerja dan pelaku usaha kecil dan mikro. Dalam hal teknis sangat disayangkan ketika kedaruratan dalam hajatul uduwiyah (pemenuhan kebutuhan dasar manusia) harus dengan embel-embel pelatihan kerja. Bukan hal tidak mungkin tidak semua orang dapat menjangkaunya untuk mendapatkan Kartu Pra-Kerja, Sebab syarat dan ketentuan berlaku. Selain itu, pendaftar harus melakukan langkah-langkah dengan sistem daring padahal diketahui belum tentu semua kalangan memiliki kesempatan akses untuk hal seperti itu. Lalu, bagaimana nasib rakyat yang belum beruntung mendapat Kartu Pra-Kerja atau bahkan belum mampu untuk mendaftar? Inilah wujud bertele-telenya solusi pemerintah ditengah pandemik dengan Kartu Pra-Kerja.
Kartu Pra-Kerja yang notabenenya berupa pelatihan kerja saat masa pandemik sungguh berisikan harapan meningkatkan SDM dengan skill yang terlatih tak dapat optimal sebab keterbatasan ruang dan waktu masa pelatihan tak maksimal di masa physical distancing. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhisira menilai bahwa Kartu Pra-Kerja harusnya diterapkan saat kondisi perekonomian sedang normal. Di saat krisis seperti saat ini, masyarakat dan para korban PHK lebih membutuhkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dibanding Kartu Pra-Kerja. (politik.rmol.id, 12/4/2020)
Kartu Pra-Kerja dengan mekanisme dan insentif yang ada, hanya memberikan rakyat bantuan jangka pendek di tengah kondisi tak menentu dan tentu saja tak terdistribusi secara merata karena seleksi yang ada. Padahal dalam kondisi pandemik, kini ketika rakyat berupaya untuk bersinergi dengan pemerintah dengan taat aturan PSBB atau tetap di Rumah Aja namun bertepuk sebelah tangan dengan pemerintah yang tak menjamin rakyat dengan kesungguhan untuk memenuhi kebutuhan dasar selama pandemi belum jenuh di Indonesia.
Realokasi anggaran yang belum total demi selamatkan nyawa rakyat, misalnya anggaran infrastruktur, pemindahan ibu kota, stimulus sektor industri pariwisata dan penerbangan. Menurut perhitungan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat anggaran sebesar Rp.425 trilliun jika semua anggaran tersebut direalokasi (kompas.com, 31/3/2020). Seharusnya dapat menjadi pertimbangan alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat melalui mekanisme Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketimbang dengan Kartu Pra-Kerja dengan distribusi tak komprehensif.
Ketidakpastian jaminan kesehatan dan perlindungan untuk rakyat dari negara adalah dampak dari berkiblat pada kapiltalisme-sekuler yang telah menjadi wataknya, individualis lagi pragmatis. Hingga kini ratusan nyawa yang berjatuhan seolah hanya berupa angka-angka, belum lagi jutaan penduduk yang terancam jiwanya seolah miniatur berjalan, atau jika tidak terinfeksi virus maka perekonomian rakyat terkhusus rakyat kecil sangat terpojokkan dengan sulitnya mencari penghidupan di masa pandemik.
Sistem politik yang rapuh mempertaruhkan nyawa rakyat, baik karena terinfeksi virus ataupun ancaman kemelaratan rakyat tak menjadi prioritas. Sistem politik yang rapuh telah melahirkan eksekusi yang tak tepat sasaran ketika Kartu Pra-Kerja sebagai janji politik dipaksakan di tengah pandemik. Enggannya pemerintah untuk karantina wilayah bagi wilayah episentrum virus serta keputusan PSBB yang dipertahankan semakin menampakkan rakyat belum dapat terlindungi sebab mobilitas masih dibolehkan negara yang masih rentan potensi penularan apalagi sudah ada pasien terinfeksi berstatus OTG (Orang Tanpa Gejala), padahal tujuannya untuk melawan corona, keanehan yang nyata.
Sungguh sangat berbeda dalam Islam, Islam memandang politik berarti ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurusi urusan umat). Kepentingan umat adalah prioritas yang kaya maupun miskin. Dalam adopsi pengaturan umat berasal dari syariat Allah dan apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw. Baik untuk manusia secara umum maupun kaum Muslim secara khusus. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. al Ma’idah:52)
Kemudian ditambah lagi dalam hadist. Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat)”. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Oleh karena itu, keberadaan politik dalam Islam tujuannya untuk berkuasa, namun bukan untuk berbangga dengan jabatan apalagi untuk menghisap umat manusia dan rakyat. Tetaapi sebagai pengatur dilaksanakannya hukum-hukum Allah agar diadopsi oleh umat. Dan kemudian mengundang rahmat agar senantiasa membumi di seluruh alam sebagaimana dalam sejarah peradaban dunia. Sungguh, sistem politik Islam pernah memiliki pengaruh peradaban yang gemilang.
Oleh sebab itu, dalam penanganan pandemik di masa kejayaan Islam dalam bingkai khilafah, kondisi kas negara dapat memenuhi kebutuhan rakyat sebab solidnya sistem ekonomi Islam serta orientasi umat yang konsisten. Wallahu a’lam bisshawab.