MENGURAI COVID-19 DAN KEBIJAKAN DALAM MENGATASINYA
Opini
Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir
(Pemerhati Media)
Mitra Rakyat.com
Indonesia menjadi salah satu Negara positif virus corona (Covid-19). Kasus pertama yang terjadi di tanah air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat. Hal tersebut, diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). (Kompas.com)
Selang dua puluh hari, tepatnya hari ini Minggu (22/3) pertambahan korban Covid-19 sangat signifikan dari sebelumnya total korban 2 orang menjadi 514, total pasien sembuh 29 orang sedangkan total kematian 48 orang. Hal itu di ungkapkan oleh Ahmad Yurianto juru bicara pemerintah pada saat konferensi pers di Jakarta (CnnIndonesia, 22/3/2020). Pertambahan itu menjadi angka yang sangat fantastis, mengingat hanya dalam hitungan hari korban Covid-19 semakin bertambah pesat.
Sebelumnya, virus ini telah menyebar ke– 122 negara lain termasuk Indonesia. Virus ini pun pertama muncul di Negara Tirai Bambu tepatnya di Wuhan, China. Status virus ini pun telah menjadi Pandemi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).
Dalam hal penyebarannya, Covid-19 akan menular dari orang ke orang dengan cara yang sangat cepat. Di antaranya, melalui tetesan kecil yang keluar dari hidung atau mulut berupa bersin dan batuk oleh orang yang telah terjangkit Covid-19. Kemudian, tetesan tersebut mendarat di benda atau permukaan yang disentuh oleh orang sehat, lalu kemudian orang sehat tersebut menyentuh bagian mata, hidung atau mulut mereka, maka secara otomatis akan terjangkit begitupula ketika tetesan kecil itu dihirup oleh orang sehat berdekatan dengan orang yang telah terinveksi Covid-19.
Begitulah proses Covid-19 menjadi treding topic dunia bahkan korban yang berjatuhan hampir tak terhitung lagi di seluruh dunia. Ketakutan akan Covid-19 adalah hal wajar karena virus ini memang terdesain untuk mengurangi jumlah penduduk bumi yang semakin banyak. Sampai kapan Covid-19 ini akan berakhir? Entahlah, biarkan waktu yang akan menjawab. Sekarang, yang paling penting bagaimana sikap Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi bencana virus mematikan ini.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di anggap cukup lambat, hal tersebut dilihat sejak Covid-19 ini masih menyebar ke negara-negara lain, bahkan salah satu pejabat pemerintahan menanggapi dengan nada lelucon. Kemudian setelah Covid-19 menyebar ke Indonesia hal yang dilakukan pemerintah pun belum menuai keberhasilan, bagaimana tidak, saat beberapa Negara melakukan Lockdown pada Negara yang menjadi sumber virus tersebut. Berbanding terbalik dengan pihak pemerintah yang tidak melakukan hal yang sama.
Walau pun setelah itu, pernyataan datang dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI untuk memperketat aturan perlintasan orang dari dan ke Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan tambahan pada Selasa (17/3). Salah satu poinnya adalah membatasi yaitu melarang pendatang berkunjung ke delapan Negara dalam 14 hari terakhir masuk transit ke Indonesia, delapan Negara yang disebut yaitu Iran, Italia, Vatikan, Spanyol, Perancis, Jerman, Swiss, dan Inggris. Sebelum delapan negara tersebut, Kemenlu sudah mengeluarkan kebijakan pelarangan masuk Indonesia bagi pendatang dari China, Iran, Italia, dan Korea Selatan sehingga totalnya ada sepuluh Negara yang tidak di izinkan transit ke Indonesia. (Kompas.com, 17/3/2020).
Namun kemudian, seakan abai dengan pernyataan yang telah dikeluarkan oleh Kemenlu. Kedatangan 49 TKA asal China di Kendari menjadi hal yang perlu dipertanyakan kepada pihak pemerintah. Bagaimana tidak, kedatangan TKA tersebut menjadi viral sejagat raya Indonesia.(Liputan6.com. (15/3/2020).
Seolah pihak pemerintah seakan lemah dalam menghadapi China apalagi ketika ada kesimpangsiuran dan saling bertolak belakang dinyatakan oleh Kapolda Sultra dan Kakanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ditambah lagi, dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang seolah menegaskan 49 TKA di Kendari itu berstatus legal. Nyatanya, bukan legal atau tidak legal yang jadi pokok persoalan melainkan 49 TKA tersebut berasal dari Negara pusat Covid-19 sangat mustahil jika salah satu dari mereka tidak tertular Covid-19 dan jika itu terjadi maka akan menambah banyak korban Covid-19 di negeri ini.
Selain itu, kebijakan isolasi atau karantina pada rakyatnya selama 14 hari belum memberikan efek yang nyata dalam memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Bahkan kebijakan ini, tak bisa dilakukan oleh sebagian rakyat karena mereka harus bekerja untuk menafkahi keluarganya. Apalagi tidak ada bantuan dari pemerintah berupa kebutuhan pokok yang bisa menjadi alasan mereka untuk tetap tinggal di rumah selama 14 hari itu.
Kemudian, pelarangan ibadah di rumah ibadah, larangan mendatangi tempat keramaian seperti pasar, Mall, dan wisata serta libur sekolah sampai tingkat universitas tidak berlaku bagi tempat hiburan malam yang sebagian besar masih beroperasi. Padahal keberadaan tempat hiburan malam itu juga bagian dari berkumpulnya orang.
Bukan saja itu, tenaga medis yang menangani kasus Covid-19 ini masih kesulitan. Karena mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka demi pasien yang terjangkit Covid-19 hal tersebut dikarenakan baju pelindung yang mereka gunakan untuk melindungi diri masih ala kadarnya. Pada akhirnya, mereka pun menjadi korban Covid-19. Padahal seharusnya, pemerintah harus menyediakan pakaian tenaga medis dengan desain khusus agar virus tersebut tidak menular kepada tenaga medis.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah memikirkan suara rakyat untuk memberlakukan lockdown secara total agar Covid-19 ini dapat dengan cepat teratasi. Walaupun dengan pertimbangan yang luar biasa sulit mengingat Indonesia memiliki hubungan erat dengan Negara-negara lain khususnya China dalam hal ekonomi. Namun sudah seyogyanya hal itulah yang harus dilakukan pemerintah yang berasas Pancasila. Kepentingan dan keselamatan rakyatnya harus menjadi prioritas utamanya. Itupun, akan terjadi jika pemerintah mengamalkan amanat Pancasila dan UUD secara total.
Hal yang sama pun pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Pada saat itu, Umar Bin Khattab sedang melakukan perjalanan menujuh Syam namun di tengah perjalanan tepatnya di wilayah Saragh. Para pemimpin di wilayah tersebut, datang menyambut mereka di antaranya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah dan yang lainnya. Mereka pun mengabarkan kepada sang Khalifah bahwa ada wabah penyakit berjangkit di Syam.
Singkat cerita, Umar bin Khattab pun memerintah Ibnu Abbas untuk memanggil para pendahulu rombongan kita yakni orang-orang Muhajirin untuk bermusyawarah, setelah itu, Ibnu Abbas pun diperintahkan untuk memanggil rombongan yang bersama Khalifah pada saat itu yakni orang– orang Anshor lalu mereka pun bermusyawarah. Kemudian, Khalifah juga memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil para pemimpin-pemimpin Qurays yang hijrah sebelum penaklukan kota Makkah lalu mereka pun bermusyawarah walaupun di antara mereka berselisih pendapat namun kemudian sang Khalifah Umar bin Khattab memutuskan untuk pulang kembali ke Madinah.
Mendengar perintah tersebut Abu ‘Ubaidah bin Jarrah (pemimpin pasukan di Saragh) bertanya: “Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: “Mengapa kamu bertanya demikian, wahai Abu ‘Ubaidah?” Beliau meneruskan: “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.”
Umar balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu saat menggembalakannya engkau menemui suatu lembah yang mempunyai dua sisi; sisi yang satu subur dan sisi lainnya tandus. Bukankah jika engkau memilih menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala di dalam takdir Allah? Dan jika pun engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala di dalam takdir Allah?”
Di tengah perbincangan Umar dengan Abu Ubaidah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang sebelumnya pergi meninggalkan rombongan karena suatu hajat. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda:
‘’Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak menyelamatkan diri.’’ (HR. al-Bukhari)
Pelajaran yang bisa diambil pemerintah dari kisah diatas, yakni pemimpin negeri ini bisa mencontoh hal yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan cara memanggil semua perwakilan penjabat baik dari lingkup para menteri, DPR, Gubernur, Bupati dan bahkan Walikota untuk berdiskusi atau bermusyawarah bersama dalam mengatasi Covid-19 tersebut. Transparansi ini akan dinilai baik oleh rakyatnya karena mereka yakin pemerintah masih perduli nasib mereka. Kalaupun, keputusannya adalah Lockdown secara total maka itu dianggap sebagai keputusan bersama para pejabat tinggi negeri ini sehingga tidak akan ada lagi saling menyalahkan. Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir
(Pemerhati Media)
Mitra Rakyat.com
Indonesia menjadi salah satu Negara positif virus corona (Covid-19). Kasus pertama yang terjadi di tanah air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat. Hal tersebut, diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/3/2020). (Kompas.com)
Selang dua puluh hari, tepatnya hari ini Minggu (22/3) pertambahan korban Covid-19 sangat signifikan dari sebelumnya total korban 2 orang menjadi 514, total pasien sembuh 29 orang sedangkan total kematian 48 orang. Hal itu di ungkapkan oleh Ahmad Yurianto juru bicara pemerintah pada saat konferensi pers di Jakarta (CnnIndonesia, 22/3/2020). Pertambahan itu menjadi angka yang sangat fantastis, mengingat hanya dalam hitungan hari korban Covid-19 semakin bertambah pesat.
Sebelumnya, virus ini telah menyebar ke– 122 negara lain termasuk Indonesia. Virus ini pun pertama muncul di Negara Tirai Bambu tepatnya di Wuhan, China. Status virus ini pun telah menjadi Pandemi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).
Dalam hal penyebarannya, Covid-19 akan menular dari orang ke orang dengan cara yang sangat cepat. Di antaranya, melalui tetesan kecil yang keluar dari hidung atau mulut berupa bersin dan batuk oleh orang yang telah terjangkit Covid-19. Kemudian, tetesan tersebut mendarat di benda atau permukaan yang disentuh oleh orang sehat, lalu kemudian orang sehat tersebut menyentuh bagian mata, hidung atau mulut mereka, maka secara otomatis akan terjangkit begitupula ketika tetesan kecil itu dihirup oleh orang sehat berdekatan dengan orang yang telah terinveksi Covid-19.
Begitulah proses Covid-19 menjadi treding topic dunia bahkan korban yang berjatuhan hampir tak terhitung lagi di seluruh dunia. Ketakutan akan Covid-19 adalah hal wajar karena virus ini memang terdesain untuk mengurangi jumlah penduduk bumi yang semakin banyak. Sampai kapan Covid-19 ini akan berakhir? Entahlah, biarkan waktu yang akan menjawab. Sekarang, yang paling penting bagaimana sikap Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi bencana virus mematikan ini.
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di anggap cukup lambat, hal tersebut dilihat sejak Covid-19 ini masih menyebar ke negara-negara lain, bahkan salah satu pejabat pemerintahan menanggapi dengan nada lelucon. Kemudian setelah Covid-19 menyebar ke Indonesia hal yang dilakukan pemerintah pun belum menuai keberhasilan, bagaimana tidak, saat beberapa Negara melakukan Lockdown pada Negara yang menjadi sumber virus tersebut. Berbanding terbalik dengan pihak pemerintah yang tidak melakukan hal yang sama.
Walau pun setelah itu, pernyataan datang dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI untuk memperketat aturan perlintasan orang dari dan ke Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan tambahan pada Selasa (17/3). Salah satu poinnya adalah membatasi yaitu melarang pendatang berkunjung ke delapan Negara dalam 14 hari terakhir masuk transit ke Indonesia, delapan Negara yang disebut yaitu Iran, Italia, Vatikan, Spanyol, Perancis, Jerman, Swiss, dan Inggris. Sebelum delapan negara tersebut, Kemenlu sudah mengeluarkan kebijakan pelarangan masuk Indonesia bagi pendatang dari China, Iran, Italia, dan Korea Selatan sehingga totalnya ada sepuluh Negara yang tidak di izinkan transit ke Indonesia. (Kompas.com, 17/3/2020).
Namun kemudian, seakan abai dengan pernyataan yang telah dikeluarkan oleh Kemenlu. Kedatangan 49 TKA asal China di Kendari menjadi hal yang perlu dipertanyakan kepada pihak pemerintah. Bagaimana tidak, kedatangan TKA tersebut menjadi viral sejagat raya Indonesia.(Liputan6.com. (15/3/2020).
Seolah pihak pemerintah seakan lemah dalam menghadapi China apalagi ketika ada kesimpangsiuran dan saling bertolak belakang dinyatakan oleh Kapolda Sultra dan Kakanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ditambah lagi, dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang seolah menegaskan 49 TKA di Kendari itu berstatus legal. Nyatanya, bukan legal atau tidak legal yang jadi pokok persoalan melainkan 49 TKA tersebut berasal dari Negara pusat Covid-19 sangat mustahil jika salah satu dari mereka tidak tertular Covid-19 dan jika itu terjadi maka akan menambah banyak korban Covid-19 di negeri ini.
Selain itu, kebijakan isolasi atau karantina pada rakyatnya selama 14 hari belum memberikan efek yang nyata dalam memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Bahkan kebijakan ini, tak bisa dilakukan oleh sebagian rakyat karena mereka harus bekerja untuk menafkahi keluarganya. Apalagi tidak ada bantuan dari pemerintah berupa kebutuhan pokok yang bisa menjadi alasan mereka untuk tetap tinggal di rumah selama 14 hari itu.
Kemudian, pelarangan ibadah di rumah ibadah, larangan mendatangi tempat keramaian seperti pasar, Mall, dan wisata serta libur sekolah sampai tingkat universitas tidak berlaku bagi tempat hiburan malam yang sebagian besar masih beroperasi. Padahal keberadaan tempat hiburan malam itu juga bagian dari berkumpulnya orang.
Bukan saja itu, tenaga medis yang menangani kasus Covid-19 ini masih kesulitan. Karena mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka demi pasien yang terjangkit Covid-19 hal tersebut dikarenakan baju pelindung yang mereka gunakan untuk melindungi diri masih ala kadarnya. Pada akhirnya, mereka pun menjadi korban Covid-19. Padahal seharusnya, pemerintah harus menyediakan pakaian tenaga medis dengan desain khusus agar virus tersebut tidak menular kepada tenaga medis.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah memikirkan suara rakyat untuk memberlakukan lockdown secara total agar Covid-19 ini dapat dengan cepat teratasi. Walaupun dengan pertimbangan yang luar biasa sulit mengingat Indonesia memiliki hubungan erat dengan Negara-negara lain khususnya China dalam hal ekonomi. Namun sudah seyogyanya hal itulah yang harus dilakukan pemerintah yang berasas Pancasila. Kepentingan dan keselamatan rakyatnya harus menjadi prioritas utamanya. Itupun, akan terjadi jika pemerintah mengamalkan amanat Pancasila dan UUD secara total.
Hal yang sama pun pernah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Pada saat itu, Umar Bin Khattab sedang melakukan perjalanan menujuh Syam namun di tengah perjalanan tepatnya di wilayah Saragh. Para pemimpin di wilayah tersebut, datang menyambut mereka di antaranya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah dan yang lainnya. Mereka pun mengabarkan kepada sang Khalifah bahwa ada wabah penyakit berjangkit di Syam.
Singkat cerita, Umar bin Khattab pun memerintah Ibnu Abbas untuk memanggil para pendahulu rombongan kita yakni orang-orang Muhajirin untuk bermusyawarah, setelah itu, Ibnu Abbas pun diperintahkan untuk memanggil rombongan yang bersama Khalifah pada saat itu yakni orang– orang Anshor lalu mereka pun bermusyawarah. Kemudian, Khalifah juga memerintahkan Ibnu Abbas untuk memanggil para pemimpin-pemimpin Qurays yang hijrah sebelum penaklukan kota Makkah lalu mereka pun bermusyawarah walaupun di antara mereka berselisih pendapat namun kemudian sang Khalifah Umar bin Khattab memutuskan untuk pulang kembali ke Madinah.
Mendengar perintah tersebut Abu ‘Ubaidah bin Jarrah (pemimpin pasukan di Saragh) bertanya: “Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?” Umar menjawab: “Mengapa kamu bertanya demikian, wahai Abu ‘Ubaidah?” Beliau meneruskan: “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.”
Umar balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu saat menggembalakannya engkau menemui suatu lembah yang mempunyai dua sisi; sisi yang satu subur dan sisi lainnya tandus. Bukankah jika engkau memilih menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala di dalam takdir Allah? Dan jika pun engkau menggembala di tempat tandus engkau menggembala di dalam takdir Allah?”
Di tengah perbincangan Umar dengan Abu Ubaidah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang sebelumnya pergi meninggalkan rombongan karena suatu hajat. Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda:
‘’Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak menyelamatkan diri.’’ (HR. al-Bukhari)
Pelajaran yang bisa diambil pemerintah dari kisah diatas, yakni pemimpin negeri ini bisa mencontoh hal yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan cara memanggil semua perwakilan penjabat baik dari lingkup para menteri, DPR, Gubernur, Bupati dan bahkan Walikota untuk berdiskusi atau bermusyawarah bersama dalam mengatasi Covid-19 tersebut. Transparansi ini akan dinilai baik oleh rakyatnya karena mereka yakin pemerintah masih perduli nasib mereka. Kalaupun, keputusannya adalah Lockdown secara total maka itu dianggap sebagai keputusan bersama para pejabat tinggi negeri ini sehingga tidak akan ada lagi saling menyalahkan. Wallahu a’lam bishshawab.