Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Opini
Ditulis Oleh: Zahra Azzahi
Member AMK
Mitra Rakyat.com
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia ibarat penyakit akut yang susah untuk disembuhkan, KKN telah menggurita hampir di setiap bidang, baik birokrasi pemerintahan maupun korporasi swasta dan BUMN.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengkampanyekan gerakan anti korupsi, salah satunya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung. Sebagaimana dilansir kejari-bandungkab.go.id, bertempat di kantor Kejari Kabupaten Bandung yang dihadiri oleh Kepala Kejati Jawa Barat Ade Eddy Adhyaksa, S.H., Dandim 0624/Kabupaten Bandung Letkol Inf Donny Bainuri, Asisten Pemerintah Kabupaten Bandung H. Ruli Hadiana dan Jajaran Polri, TNI serta Forkopimda Kabupaten Bandung lainnya dan dilanjutkan dengan menandatangani fakta integritas dalam pencanangan Zona Integritas (ZI) Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). (kejari-bandung.go.id, 24/2/2020).
Sudah bukan rahasia birokrasi di Indonesia terkesan lamban dan berbelit-belit, hal ini mengakibatkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotismen tumbuh subur, baik yang dilakukan secara pribadi ataupun berkelompok.
Baru-baru ini dugaan skandal korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya yang berpotensi merugikan negara Rp 13,7 trilyun, cukup mengejutkan publik, pasalnya PT Asuransi Jiwasraya adalah salah satu perusahaan asuransi yang terbesar milik negara. Tak lama kemudian, mencuat pula skandal korupsi yang tak kalah besar menimpa PT ASABRI, yang diperkirakan nilainya diatas Rp 10 trilyun.
Sementara itu korupsi juga menjangkiti para pejabat negeri ini, mulai dari legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di berbagai periode pemerintahan, hampir semua pimpinan lembaga tinggi negara terjerat kasus korupsi. Dalam periode 2014-2019, 23 anggota DPR Pusat terjerat kasus korupsi. Jika di gabungkan dengan anggota DPRD, menurut ICW (Indonesian Corruption Watch) tercatat 259 anggota dan mantan anggota periode 2014-2019 terjerat kasus korupsi. Di tingkat daerah sejak tahun 2014-2019 sebanyak 124 kepala daerah pun terjerat korupsi.
Melihat berbagai fakta di atas, korupsi tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Mahalnya biaya politik saat mencalonkan diri sebagai pejabat dan berkampanye, membuat para pejabat lupa akan tugas mereka sebagai wakil rakyat, yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat. Para pejabat cenderung mencari keuntungan pribadi untuk mengembalikan modal politik yang telah mereka keluarkan, dengan menghalalkan berbagai cara termasuk melakukan korupsi. Pelemahan terhadap KPK melalui revisi Undang-undang KPK semakin menyulitkan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sudah sangat jelas maraknya korupsi adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Hukum buatan manusia hanya menimbulkan kerusakan dan kehancuran, hukum yang ada pun hanya berpihak pada segelintir orang, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan modal besar. Sedangkan rakyat kecil harus merasakan akibatnya dengan sulitnya kehidupan, mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan meroketnya harga berbagai bahan pokok.
Maka tidak ada jalan lain, satu- satunya yang akan menyelamatkan Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya dari wabah korupsi adalah penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Berhukum dengan hukum-hukum Allah secara totalitas merupakan bukti keimanan dan wujud ketakwaan umat Islam yang akan mendatangkan rahmat bagi seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah SWT: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (TQS. Al- A'raf: 96).
Wallahu a'lam bi ashshawab.
Ditulis Oleh: Zahra Azzahi
Member AMK
Mitra Rakyat.com
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia ibarat penyakit akut yang susah untuk disembuhkan, KKN telah menggurita hampir di setiap bidang, baik birokrasi pemerintahan maupun korporasi swasta dan BUMN.
Berbagai upaya dilakukan untuk mengkampanyekan gerakan anti korupsi, salah satunya yang dilakukan Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung. Sebagaimana dilansir kejari-bandungkab.go.id, bertempat di kantor Kejari Kabupaten Bandung yang dihadiri oleh Kepala Kejati Jawa Barat Ade Eddy Adhyaksa, S.H., Dandim 0624/Kabupaten Bandung Letkol Inf Donny Bainuri, Asisten Pemerintah Kabupaten Bandung H. Ruli Hadiana dan Jajaran Polri, TNI serta Forkopimda Kabupaten Bandung lainnya dan dilanjutkan dengan menandatangani fakta integritas dalam pencanangan Zona Integritas (ZI) Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). (kejari-bandung.go.id, 24/2/2020).
Sudah bukan rahasia birokrasi di Indonesia terkesan lamban dan berbelit-belit, hal ini mengakibatkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotismen tumbuh subur, baik yang dilakukan secara pribadi ataupun berkelompok.
Baru-baru ini dugaan skandal korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya yang berpotensi merugikan negara Rp 13,7 trilyun, cukup mengejutkan publik, pasalnya PT Asuransi Jiwasraya adalah salah satu perusahaan asuransi yang terbesar milik negara. Tak lama kemudian, mencuat pula skandal korupsi yang tak kalah besar menimpa PT ASABRI, yang diperkirakan nilainya diatas Rp 10 trilyun.
Sementara itu korupsi juga menjangkiti para pejabat negeri ini, mulai dari legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di berbagai periode pemerintahan, hampir semua pimpinan lembaga tinggi negara terjerat kasus korupsi. Dalam periode 2014-2019, 23 anggota DPR Pusat terjerat kasus korupsi. Jika di gabungkan dengan anggota DPRD, menurut ICW (Indonesian Corruption Watch) tercatat 259 anggota dan mantan anggota periode 2014-2019 terjerat kasus korupsi. Di tingkat daerah sejak tahun 2014-2019 sebanyak 124 kepala daerah pun terjerat korupsi.
Melihat berbagai fakta di atas, korupsi tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Mahalnya biaya politik saat mencalonkan diri sebagai pejabat dan berkampanye, membuat para pejabat lupa akan tugas mereka sebagai wakil rakyat, yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat. Para pejabat cenderung mencari keuntungan pribadi untuk mengembalikan modal politik yang telah mereka keluarkan, dengan menghalalkan berbagai cara termasuk melakukan korupsi. Pelemahan terhadap KPK melalui revisi Undang-undang KPK semakin menyulitkan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Sudah sangat jelas maraknya korupsi adalah buah dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Hukum buatan manusia hanya menimbulkan kerusakan dan kehancuran, hukum yang ada pun hanya berpihak pada segelintir orang, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan modal besar. Sedangkan rakyat kecil harus merasakan akibatnya dengan sulitnya kehidupan, mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan meroketnya harga berbagai bahan pokok.
Maka tidak ada jalan lain, satu- satunya yang akan menyelamatkan Indonesia dan negeri-negeri Islam lainnya dari wabah korupsi adalah penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Berhukum dengan hukum-hukum Allah secara totalitas merupakan bukti keimanan dan wujud ketakwaan umat Islam yang akan mendatangkan rahmat bagi seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah SWT: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (TQS. Al- A'raf: 96).
Wallahu a'lam bi ashshawab.