Opini
Ditulis Oleh : Nuni Toid
Pegiat Dakwah dan Member Akademi Menulis Kreatif
Mitra Rakyat.com
Baru-baru ini beredar berita bahwa AS mencoret status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. Dilansir dari CNBC Indonesia, AS melalui US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, Indonesia dan Afrika Selatan. Sebagaimana pengumuman USTR yang dikutip dari The Star, Minggu (23/3/2020).
Benarkah Indonesia sudah menjadi negara maju? Mari kita definisikan apa itu negara maju. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia negara maju adalah negara yang meningkat standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara maju. Menurut Bank dunia yang terkategori negara maju adalah negara dengan pendapatan per kapita sebesar UUS$ 11.906 per tahun atau lebih. Maka suatu negara dikatakan sudah maju apabila memiliki beberapa kriteria sbb; Memiliki standar hidup yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonominya sudah merata dibandingkan dengan negara berkembang dan sektor industrinya harus mampu berkontribusi sedikitnya 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Begitupun dikatakan negara maju apabila pendapatan per kapita di atas US$ per tahun. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga menjadi tolak ukur untuk negara maju. Dan dikatakan negara maju juga apabila kehidupan masyarakatnya sudah mengalami kemakmuran dari segala aspek kehidupan.
Revisi daftar ini sebenarnya untuk mempermudah AS melakukan investigasi ke negara-negara tersebut. Mencari tahu apakah terdapat praktik ekspor yang tidak fair seperti pemberian subsidi untuk komoditas tertentu. Wakil direktur perwakilan China untuk WHO di Beijing, Xue Rengjiu, malah keberatan dengan pengumuman USTR tersebut. Menurutnya, dengan status ini dan upaya investigasi yang akan dilakukan AS adalah bukti bahwa negara adidaya tersebut meremehkan sistem perdagangan multilateral negara-negara lain. "Aksi unilateralis dan proteksionis mereka justru akan mengganggu kepentingan China dan anggota WTO lainnya, " kata Xue Rengjiu.
Melihat fakta di atas, terjawab sudah pertanyaan sebelumnya, benarkah Indonesia sudah menjadi negara yang maju? Ternyata masih jauh dikatakan sebagai negara maju karena saat ini pendapatan per kapitanya masih sangat memprihatinkan baru sebesar US$ 4000 per tahun. Pertumbuhan ekonominya juga masih belum merata dan keadaan masyarakatnya masih jauh dari standar sejahtera. Di luar sana masih banyak rakyat yang menderita, terbebani oleh biaya hidup yang semakin hari semakin sulit. Pengangguran menjadi pemandangan yang biasa. Karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Begitupun terjadi PHK besar-besaran di setiap perusahaan yang mengalami kemunduran dalam daya saing dengan perusahaan asing.
Sedangkan hutang ke luar negeri semakin menggunung. Berbagai macam subsidi untuk rakyat tak mampu semakin berkurang bahkan sampai dicabut. Dan berbagai penderitaan lain yang dirasakan dan dialami oleh rakyat. Apakah ini yang disebut dengan negara maju? Kita harus bisa melihat bahwa penetapan Indonesia sebagai negara maju merupakan kebijakan sepihak oleh AS. WTO (World Trade Organization) sendiri tidak memiliki definisi resmi untuk mengkategorikan sebuah negara maju. Biasanya negara itu sendiri yang menentukan kelayakan status sebagai negara berkembang atau maju. Hal itu pun tidak langsung disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO.
Pencabutan status dari negara berkembang menjadi negara maju oleh AS karena dinilai presiden AS, Donald Trump frustrasi akibat WTO (World Trade Organization) memberikan perlakuan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam perdagangan Internasional. Selain itu investigasi dugaan subsidi terhadap negara-negara berkembang lebih longgar. Ujung-ujungnya produksi negara berkembang bisa dijual lebih murah dan dapat menggilas produk sejenisnya.
Sebenarnya itulah yang diinginkan oleh negara Paman Sam terhadap negara-negara berkembang yang berubah status menjadi negara maju termasuk Indonesia. Karena dengan statusnya sebagai negara maju Indonesia akan kehilangan beberapa fasilitas negara berkembang. Di antaranya pertama: Indonesia tidak akan menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA). Fasilitas ini merupakan alternatif pembiayaan dari eksternal untuk pembangunan sosial-ekonomi dengan bunga rendah. Dan kehilangan fasilitas ini akan berdampak pada perdagangan internasional karena Indonesia akan sebagai subyek pengemasan tarif lebih tinggi. Kedua: Indonesia akan kehilangan Generalized System of Preferences (GSP). Yaitu fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi berkembang. Saat ini terdapat 3.544 produk Indonesia yang menikmati fasilitas GSP (cnn.indonesia.com, 24/2/2020).
Indonesia ketika tidak menikmati GSP akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk, ekspor tujuan AS akan terancam turun, dan ujung-ujungnya akan memperbesar defisit neraca dagang. Sedangkan Indonesia telah mencatat defisit neraca perdagangan pada Januari 2020 sebesar US$ 864 juta (CNN.indonesia.com, 17/2/2020).
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan AS sedang memberikan sinyal ancaman perang dagang kepada Indonesia. Padahal sebelum era Donald Trump AS tidak pernah mengotak-atik fasilitas tersebut kepada Indonesia (detik.com,23/2/2020).
Melalui kebijakan ini AS hendak menekan defisit perdagangannya dengan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) defisit perdagangan AS terhadap Indonesia per Januari 2020 sebesar 1,01 miliar dolar AS. Kebijakan ini akan menguntungkan AS karena memperbaiki neraca perdagangannya. Sedangkan bagi Indonesia kebijakan ini akan membuat turun ekspor perdagangannya dan Indonesia mengalami kerugian.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kebijakan AS ini adalah hal yang membanggakan dengan Indonesia ditetapkan sebagai negara maju (CNBC,24/2/2020). Kebanggaan ini sungguh tak tepat karena kebijakan AS membuat perdagangan Indonesia jatuh dan semakin membengkak bunga hutangnya.
Selama ini AS menggunakan politik labeling pada negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mengarahkan pada opini dunia mendukung AS. Termasuk dalam hal ini adalah labeling negara berkembang dan maju.
Politik labeling berorientasi pada keuntungan politik dan ekonomi AS. Bukan kemaslahatan seluruh negara di dunia. Saat ini Indonesia diposisikan sebagai negara yang bisa dimanfaatkan secara ekonomi untuk mendukung kepentingan mereka. Jadi mengapa pemerintah harus bangga dengan kebijakan ini?
Tapi begitulah dalam sistem kapitalisme-sekularisme yang semakin menggurita dan mencengkeram bangsa ini. Seluruh negeri menjadikan AS sebagai kiblatnya termasuk negara yang penduduknya mayoritas muslim terbesar di dunia. Padahal betapa liciknya kebijakan yang dibuatnya hingga membuat defisit perdagangan ekonomi Indonesia di ambang kehancuran. Ini semakin jelas membuktikan bahwa AS tidak bisa mengayomi negeri ini bahkan semakin menzalimi.
Ditambah dengan sistem sekulernya, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Aturan agama dilanggar dan diabaikan. Ini dibuktikan dengan semakin menjamurnya perdagangan ekonomi dunia yang berlabel ribawi dengan bunga yang mencekik dan itu dibebankan kepada negara-negara muslim di seluruh dunia.
Berbeda dalam Islam, di mana semua kehidupan diatur oleh syariat-Nya. Kita harus bisa berjuang bersama-sama untuk mewujudkan sebuah negara yang maju di seluruh aspek kehidupan tanpa terkecuali. Agar kita mempunyai mahkota kehormatan dan kebanggaan di hadapan negara-negara lain.
Sudah cukup pemerintah menghamba dan berkiblat pada semua kebijakan mereka. Sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan dan aturan sendiri yang berlandaskan pada syariat Islam. Berhenti mendukung dan mengekor kebijakan negara lain. Karena bila terus-menerus menghamba pada manusia maka kita tak akan bisa menjadikan bangsa yang maju secara hakiki. Seperti firman Allah Swt:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri."(TQS ar-Ra'd :11).
Kita bisa melihat di masa kekhilafahan. Wilayah negeri-negeri yang identik dengan kemiskinan bisa berubah menjadi negeri-negeri yang kaya raya dan maju. Sebagai contoh negeri Afrika yang terkenal miskin dan terbelakang.
Jadi bila kita ingin menjadi bangsa yang maju seutuhnya adalah pemerintah harus kembali kepada aturan syariah Islam. Yakni harus taat total tanpa sekat-sekat dengan mencampakkan sistem yang batil diganti dengan sistem yang baik. Yakni syariah Islam.
Maka sudah saatnya kita berjuang bersama-sama dengan negeri-negeri muslim lainnya untuk menerapkan syariat Islam dengan menegakkan Islam kafah dalam bingkai Daulah Khilafah.
Wallahu a'lam bi ash-Shawab.