Flashback, Peristiwa 3 Maret 1924
Opini
Ditulis Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir
(Pemerhati Media)
Mitra Rakyat.com
Khilafah Islamiyah secara resmi dihapuskan, pada tanggal 03 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk dan kemudian diganti dengan system pemerintahan Republik. Peristiwa tersebut menjadi awal penderitaan bagi umat muslim. Bagaimana tidak, tanpa adanya Khilafah Islamiyah umat muslim bagaikan hidup tanpa perisai.
Kejayaan Islam yang sudah berdiri kokoh sejak 13 abad yang lalu dan bahkan telah menguasai 2/3 wilayah dunia mencakup seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika, dan Asia Tengah, di sebelah timur sampai ke negeri Cina, di sebelah barat sampai ke Andalusia (Spanyol), selatan Prancis, serta Eropa Timur (meliputi Hungaria, Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgaria, serta seluruh kepulauan di Laut Tengah adalah sebuah fakta yang tidak bisa dilupakan oleh umat muslim. Sungguh, peradaban yang begitu gemilang. Ketika umat Islam dahulu bersatu dibawah satu kepemimpinan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dan Alquran diterapkan sebagai dasar Negara.
Namun sayang beribu sayang, Umat Islam yang dahulu disegani,dihormati dan bahkan dimuliakan kini tak ubahnya hanya menjadi sebuah bahan fitnah dan target kebencian dari pembenci Islam. Dihapuskannya Khilafah Islamiyah menjadi cikal bakal kesengsaraan umat Islam saat ini.
Mengingat Kembali Sejarah Keruntuhan Khilafah Islamiyah
Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Khalifah Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Utsmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, Khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.
Secara Internal, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniyah
Pertama, Pemahaman terhadap Islam yang semakin buruk. Kedua, terjadinya kesalahan dalam menerapkan Islam. Pada masa itu, terjadi banyak penyimpangan dalam hal pengangkatan Khalifah, yang justru tidak berdasar undang - undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qunani, yang diangkat menjadi Khalifah justru orang - orang yang tidak memiliki kelayakan atau lemah.
Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel oleh Khilafah pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihat penaklukan ini sebagai awal dari Masalah Ketimuran. Masalah Ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) untuk menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama: Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakannya Konferensi Westavalia tahun 1667 M.
Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniyah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Kelemahan Khilafah Utsmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg.
Bahkan pada saat itu, Khilafah Utsmaniyah dengan sangat terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M. Nasib Khilafah Utsmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).
Di lain pihak, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syaikh al-Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M, tsaqafah Barat di Dunia Islam semakin kokoh, termasuk setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti UU Acara Pidana (1840 M) dan UU Dagang (1850 M) yang bernuansa sekular.
Keadaan ini pula diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan Khalifah. Sehingga, sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap khilafah Islamiyyah.
Sementara itu, di dalam negeri sendiri, ahlul dzimmah khususnya orang - orang Kristen mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qunani, dan pada akhirnya menuntut hak yang sama dengan kaum Muslim. Lalu kemudian, hak - hak istimewa tersebut dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan antek - antek asing, dengan jaminan perjanjian, masing - masing perjanjian Khilafah Islamiyyah dengan Bizantium (1521 M), Perancis (1535 M), dan Inggris (1580 M).
Dengan hak-hak istimewa itu, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara rutin di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M.
Di sisi lain, ditengah kemunduran intelektual oleh Dunia Islam, mereka kemudian mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai tameng gerakan mereka. Pusat kegiatan mereka itu dimiliki oleh Inggris, Perancis, dan Amerika. Gerakan tersebutlah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban pemikiran mereka yang disebar di Negara Islam sekaligus menyerang pemikiran Islam. Sebelumnya, serangan itu telah dipersiapkan sejak lama oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan Center of the Oriental Studies atau Pusat Kajian Ketimuran.
Oleh karena itu,gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai Dunia Islam, Islam sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk itu, mereka menyerang pemikiran Islam, sengaja menyebarkan paham nasionalisme di Dunia Islam, dan menciptakan stigma negatif terhadap Khilafah Utsmaniyah, dengan sebutan The Sick Man atau orang sakit.
Hal tersebut, mereka lakukan untuk membuat kekuatan Khilafah Utsmaniyah lumpu sehingga dengan muda dijatuhkan. Secara rutin mereka terus memprovokasi gerakan patriotisme dan gerakan keagamaan juga mereka eksploitasi, contohnya gerakan Wahabi di Hijaz. Pada pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh pihak Inggris melalui agennya yakni Ibnu Saud. Tugas Ibnu Saud adalah untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Khilafah yakni Hijaz dan sekitarnya.
Pada saat yang sama, di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20. Begitulah, Khilafah Utsmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.
Konspirasi Barat-Yahudi Menghancurkan Khilafah. Tahun 1855 M negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Utsmaniyah untuk melakukan amandemen UUD sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Tahun 1908 M Turki Muda yang berpusat di Salonika—pusat komunitas Yahudi Dunamah melakukan pemberontakan.Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniyah yang didukung oleh Inggris dan Perancis.
Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh pihak Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kamal Pasha, seorang agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu, akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam.
Pada tanggal 21 November 1923 terjadi perjanjian antara Inggris dan Turki. Dalam perjanjian tersebut Inggris mengajukan syarat-syarat agar pasukannya dapat ditarik dari wilayah Turki, yang dikenal dengan “Persyaratan Curzon”. Isinya: Turki harus menghapuskan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya; Turki harus menghalangi setiap gerakan yang membela Khilafah; Turki harus memutuskan hubungannya dengan Dunia Islam serta menerapkan hukum sipil sebagai pengganti hukum Khilafah Utsmaniah yang bersumberkan Islam.
Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani tanggal 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem Khilafah, mengusir Khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Mustafa Kamal Attaturk.
Maka sejak saat itu hingga sekarang, sudah 96 tahun, umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah Islam, suatu keadaan yang belum pernah terjadi selama lebih dari 13 abad sejak masa Khulafaur Rasyidin.(Sumber, Mediaumat.com)
Sekarang, timbul pertanyaan apakah kita tidak merindukan Khilafah Islamiyyah? Sistem yang telah mengadopsi semua hukum-hukum Allah dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Dimana, dengan sistem itulah umat muslim dianggap sebagai umat terbaik sepanjang zaman. Entahlah, jawabannya ada pada diri kita sendiri. Namun, yang perlu di ingat adalah Negara Islam merupakan keniscayaan yang akan kembali bangkit dan berjaya pada saat yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Aamiin
Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah konsisten dalam kebenaran yang berstandar pada Alquran dan as-Sunnah. Berdakwah dengan yang ma'ruf, menggali tsaqofah Islam untuk menambah pengetahuan kita tentang Islam, memperbaiki hubungan kita kepada Allah, manusia dan diri kita sendiri, dan kemudian menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik menurut Allah dan Rasulnya.
Dan yang terakhir, jangan pernah meninggalkan jalan dakwah ini apapun alasannya. Hidup dengan dakwah dan matipun karena dakwah. Dunia ini hanya sebuah perhiasan titipan dari Sang Pencipta jangan engkau terlena karena semua yang berlabel titipan akan kembali pada pemiliknya. Bukankah, Allah memuliakan kita jika senantiasa menyeruh manusia dengan dakwah?
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang menyeruh manusia kepada Allah.” (TQS Fuhshilat: 33)
Ditulis Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir
(Pemerhati Media)
Mitra Rakyat.com
Khilafah Islamiyah secara resmi dihapuskan, pada tanggal 03 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk dan kemudian diganti dengan system pemerintahan Republik. Peristiwa tersebut menjadi awal penderitaan bagi umat muslim. Bagaimana tidak, tanpa adanya Khilafah Islamiyah umat muslim bagaikan hidup tanpa perisai.
Kejayaan Islam yang sudah berdiri kokoh sejak 13 abad yang lalu dan bahkan telah menguasai 2/3 wilayah dunia mencakup seluruh Timur Tengah, sebagian Afrika, dan Asia Tengah, di sebelah timur sampai ke negeri Cina, di sebelah barat sampai ke Andalusia (Spanyol), selatan Prancis, serta Eropa Timur (meliputi Hungaria, Beograd, Albania, Yunani, Rumania, Serbia, Bulgaria, serta seluruh kepulauan di Laut Tengah adalah sebuah fakta yang tidak bisa dilupakan oleh umat muslim. Sungguh, peradaban yang begitu gemilang. Ketika umat Islam dahulu bersatu dibawah satu kepemimpinan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dan Alquran diterapkan sebagai dasar Negara.
Namun sayang beribu sayang, Umat Islam yang dahulu disegani,dihormati dan bahkan dimuliakan kini tak ubahnya hanya menjadi sebuah bahan fitnah dan target kebencian dari pembenci Islam. Dihapuskannya Khilafah Islamiyah menjadi cikal bakal kesengsaraan umat Islam saat ini.
Mengingat Kembali Sejarah Keruntuhan Khilafah Islamiyah
Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Khalifah Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Utsmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, Khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.
Secara Internal, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniyah
Pertama, Pemahaman terhadap Islam yang semakin buruk. Kedua, terjadinya kesalahan dalam menerapkan Islam. Pada masa itu, terjadi banyak penyimpangan dalam hal pengangkatan Khalifah, yang justru tidak berdasar undang - undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qunani, yang diangkat menjadi Khalifah justru orang - orang yang tidak memiliki kelayakan atau lemah.
Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel oleh Khilafah pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihat penaklukan ini sebagai awal dari Masalah Ketimuran. Masalah Ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) untuk menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama: Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakannya Konferensi Westavalia tahun 1667 M.
Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniyah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Kelemahan Khilafah Utsmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg.
Bahkan pada saat itu, Khilafah Utsmaniyah dengan sangat terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M. Nasib Khilafah Utsmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).
Di lain pihak, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syaikh al-Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M, tsaqafah Barat di Dunia Islam semakin kokoh, termasuk setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti UU Acara Pidana (1840 M) dan UU Dagang (1850 M) yang bernuansa sekular.
Keadaan ini pula diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan Khalifah. Sehingga, sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap khilafah Islamiyyah.
Sementara itu, di dalam negeri sendiri, ahlul dzimmah khususnya orang - orang Kristen mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qunani, dan pada akhirnya menuntut hak yang sama dengan kaum Muslim. Lalu kemudian, hak - hak istimewa tersebut dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan antek - antek asing, dengan jaminan perjanjian, masing - masing perjanjian Khilafah Islamiyyah dengan Bizantium (1521 M), Perancis (1535 M), dan Inggris (1580 M).
Dengan hak-hak istimewa itu, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara rutin di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M.
Di sisi lain, ditengah kemunduran intelektual oleh Dunia Islam, mereka kemudian mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai tameng gerakan mereka. Pusat kegiatan mereka itu dimiliki oleh Inggris, Perancis, dan Amerika. Gerakan tersebutlah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban pemikiran mereka yang disebar di Negara Islam sekaligus menyerang pemikiran Islam. Sebelumnya, serangan itu telah dipersiapkan sejak lama oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan Center of the Oriental Studies atau Pusat Kajian Ketimuran.
Oleh karena itu,gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai Dunia Islam, Islam sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk itu, mereka menyerang pemikiran Islam, sengaja menyebarkan paham nasionalisme di Dunia Islam, dan menciptakan stigma negatif terhadap Khilafah Utsmaniyah, dengan sebutan The Sick Man atau orang sakit.
Hal tersebut, mereka lakukan untuk membuat kekuatan Khilafah Utsmaniyah lumpu sehingga dengan muda dijatuhkan. Secara rutin mereka terus memprovokasi gerakan patriotisme dan gerakan keagamaan juga mereka eksploitasi, contohnya gerakan Wahabi di Hijaz. Pada pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh pihak Inggris melalui agennya yakni Ibnu Saud. Tugas Ibnu Saud adalah untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Khilafah yakni Hijaz dan sekitarnya.
Pada saat yang sama, di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20. Begitulah, Khilafah Utsmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.
Konspirasi Barat-Yahudi Menghancurkan Khilafah. Tahun 1855 M negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Utsmaniyah untuk melakukan amandemen UUD sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Tahun 1908 M Turki Muda yang berpusat di Salonika—pusat komunitas Yahudi Dunamah melakukan pemberontakan.Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniyah yang didukung oleh Inggris dan Perancis.
Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh pihak Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kamal Pasha, seorang agen Inggris keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu, akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam.
Pada tanggal 21 November 1923 terjadi perjanjian antara Inggris dan Turki. Dalam perjanjian tersebut Inggris mengajukan syarat-syarat agar pasukannya dapat ditarik dari wilayah Turki, yang dikenal dengan “Persyaratan Curzon”. Isinya: Turki harus menghapuskan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya; Turki harus menghalangi setiap gerakan yang membela Khilafah; Turki harus memutuskan hubungannya dengan Dunia Islam serta menerapkan hukum sipil sebagai pengganti hukum Khilafah Utsmaniah yang bersumberkan Islam.
Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani tanggal 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya tanggal 3 Maret 1924 M, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem Khilafah, mengusir Khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Mustafa Kamal Attaturk.
Maka sejak saat itu hingga sekarang, sudah 96 tahun, umat Islam tidak lagi memiliki Khilafah Islam, suatu keadaan yang belum pernah terjadi selama lebih dari 13 abad sejak masa Khulafaur Rasyidin.(Sumber, Mediaumat.com)
Sekarang, timbul pertanyaan apakah kita tidak merindukan Khilafah Islamiyyah? Sistem yang telah mengadopsi semua hukum-hukum Allah dan menerapkannya dalam kehidupan bernegara. Dimana, dengan sistem itulah umat muslim dianggap sebagai umat terbaik sepanjang zaman. Entahlah, jawabannya ada pada diri kita sendiri. Namun, yang perlu di ingat adalah Negara Islam merupakan keniscayaan yang akan kembali bangkit dan berjaya pada saat yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Aamiin
Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah konsisten dalam kebenaran yang berstandar pada Alquran dan as-Sunnah. Berdakwah dengan yang ma'ruf, menggali tsaqofah Islam untuk menambah pengetahuan kita tentang Islam, memperbaiki hubungan kita kepada Allah, manusia dan diri kita sendiri, dan kemudian menghiasi diri kita dengan akhlak yang baik menurut Allah dan Rasulnya.
Dan yang terakhir, jangan pernah meninggalkan jalan dakwah ini apapun alasannya. Hidup dengan dakwah dan matipun karena dakwah. Dunia ini hanya sebuah perhiasan titipan dari Sang Pencipta jangan engkau terlena karena semua yang berlabel titipan akan kembali pada pemiliknya. Bukankah, Allah memuliakan kita jika senantiasa menyeruh manusia dengan dakwah?
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang menyeruh manusia kepada Allah.” (TQS Fuhshilat: 33)