Pajak Demi Kesehatan Rakyat?
Opini
Ditulis Oleh: Ropi Marlina, SE., M.E.Sy (Dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta)
Mitra Rakyat.com
Di tengah-tengah kegundahan masyarakat menghadapi kondisi ekonomi yang semakin tak menentu, masyarakat dikejutkan lagi dengan berbagai kebijakan yang sangat mencekiki rakyat kecil. Berbagai pajak pun dibebankan kepada rakyat kecil dalam rangka menggenjot pendapatan negara. Tidak tanggung-tanggung kini minuman kemasan yang dikonsumsi masyarakat dan menjadi sumber pendapatan masyarakat kecil pun kena pajak.
Pernyataan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (19/2/2020) berencana akan mengenakan cukai pada minuman berpemanis. Dalam pertemuan tersebut, Sri Mulyani mengusulkan minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti teh kemasan, minuman berkarbonasi, dan minuman berpemanis lainnya.
Adapun tarif cukai yang ditawarkan Sri Mulyani pada produk minuman berpemanis adalah Rp 1.500 per liter untuk teh kemasan dan Rp 2.500 per liter untuk minuman berkarbornasi dan minuman lainnya seperti kopi, minuman berenergi, serta minuman yang mengandung konsentrat. Dengan tarif tersebut, negara berpotensi mendapat penerimaan negara sebesar Rp 6,25 triliun.
Meski demikian, pemerintah juga memberikan pengecualian atau pembebasan cukai terhadap produk minuman berpemanis lainnya seperti yang dibuat dan dikemas non pabrikasi, madu dan jus sayur tanpa tambahan gula, dan barang yang diekspor.
Demi Kesehatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pengenaan cukai dilakukan guna membatasi konsumsi masyarakat terhadap barang-barang tersebut. Pada produk minuman berpemanis, alasan kesehatan menjadi tujuan utama pengenaan cukai.
Jelas ini adalah sebuah alasan yang dipaksakan. Alih-alih demi kesehatan rakyat, yang ada justru rakyat semakin melarat karena menarik cukai dari minuman manis artinya menaikan harga jual. Selain menurunkan daya beli masyarakat, mengurangi konsumsi juga akan mengurangi bahkan menghilangkan pendapatan masyarakat pedagang asongan.
Menurut Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) pengenaan cukai pada produk minuman berpemanis berpotensi menurunkan pendapatan masyarakat kecil dan menengah. Sekretaris Jenderal ASRIM Suroso Natakusuma mengatakan, lebih dari 60% distribusi minuman berpemanis dilakukan di pasar tradisonal. "Jadi distributor kecil dan menengah bisa menurun pendapatannya.
Akhirnya banyak pendapatan masyarakat kecil dan menengah menurun," kata dia kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu. Kementerian Keuangan pun memproyeksikan, produksi minuman berpemanis akan turun masing-masing sebesar 8,03% setelah dikenakan cukai. Teh kemasan diperkirakan produksinya menjadi 2,02 miliar liter, minuman berkarbonasi menjadi 687 juta liter, dan minuman lainnya sebesar 743 juta liter.
Selain berpotensi mengganggu distribusi dan produksi, pengenaan cukai juga akan menyebabkan kenaikan harga jual. Suroso memprediksi harga minuman berpemanis akan naik 30-40% dari harga saat ini. Sementara itu ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menilai pengenaan cukai minuman berpemanis justru berpotensi menurunkan pendapatan pajak.
Pasalnya daya beli masyarakat akan berkurang seiring dengan kenaikan harga minuman berpemanis.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Tahun 2019 sumber penerimaan pajak hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam.
Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sumber utama pendapatan negara. Namun, justru SDA yang ada malah dikelola oleh asing dengan nama privatisasi, akhirnya pemasukan APBN dari sektor SDA Migas dan non-Migas makin lama makin kecil.
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat menambah beban hidup rakyat. Pajak dijadikan sebagai sebuah kewajiban bagi rakyat. Rakyat pun dipaksa membayarnya tanpa terkecuali. Jelas ini merupakan tindakan kezhaliman yang dibungkus dengan sebuah aturan oleh Negara.
Harusnya negara berperan sebagai pelayan umat, mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan malah memalak rakyatnya. Ini adalah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang sarat penuh dengan kepentingan dan keuntungan para pemilik modal. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan ke depan kian rumit dan mencekik. Dan akibat pengabaian aturan Islam dalam khidupan.
Islam mempunyai mekanisme tertentu terkait sumber pendapatan negara.
Islam pun merinci pendapatan sebuah negara bukan dari sumber pajak saja. Sumber pemasukan tetap Baitul Mal adalah fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya seperti pengelolaan hasil SDA, dll., serta pemasukan dari harta milik negara seperti usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat.
Apabila harta tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, negara tidak akan mewajibkan pajak (dharibah) atas seluruh kaum muslimin untuk melaksanakan tuntutan pelayanan urusan umat.
Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan apapun nama dan alasannya. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara kamu dengan jalan yang bathil”. (TQS. al-Baqarah [2]: 188)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i.
Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan.
“Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).”
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta.
Artinya, pemasukan yang diperoleh dari harta-harta milik umum (kaum Muslim) yang dikeqlola oleh negara sudah habis, begitu juga yang menjadi pos-pos pendapatan negaraa sedang tidak ada (karena habis digunakan atau mengalami defisit), termasuk deposit harta zakat dan sejenisnya, juga kosong, sementara ada pembiayaan yang harus dipenuhi maka pada kondisi darurat seperti inilah negara Khilafah bisa memungut dlaribah.
Dlaribah ini bersifat insidental dan hanya ditujukan bagi orang-orang (rakyat) yang mampu; tidak diwajibkan atas rakyat yang tidak mampu. Fungsi dan kedudukan dlaribah di dalam sistem ekonomi Islam adalah sebagai pilihan terakhir untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara.
Bukan sebagai ujung tombak pendapatan negara, sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam tidak akan memberlakukan pungutan seperti pajak yang selama ini dikenal, karena sumber pemasukan negara dikelola dengan baik, sehingga mampu menyejahterakan rakyatnya tanpa harus menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara yang hanya akan membebani rakyat.
Sudah saatya kita mencampakaan sistem kapitalisme dan mewujudkan sistem Islam.
Ditulis Oleh: Ropi Marlina, SE., M.E.Sy (Dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta)
Mitra Rakyat.com
Di tengah-tengah kegundahan masyarakat menghadapi kondisi ekonomi yang semakin tak menentu, masyarakat dikejutkan lagi dengan berbagai kebijakan yang sangat mencekiki rakyat kecil. Berbagai pajak pun dibebankan kepada rakyat kecil dalam rangka menggenjot pendapatan negara. Tidak tanggung-tanggung kini minuman kemasan yang dikonsumsi masyarakat dan menjadi sumber pendapatan masyarakat kecil pun kena pajak.
Pernyataan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (19/2/2020) berencana akan mengenakan cukai pada minuman berpemanis. Dalam pertemuan tersebut, Sri Mulyani mengusulkan minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti teh kemasan, minuman berkarbonasi, dan minuman berpemanis lainnya.
Adapun tarif cukai yang ditawarkan Sri Mulyani pada produk minuman berpemanis adalah Rp 1.500 per liter untuk teh kemasan dan Rp 2.500 per liter untuk minuman berkarbornasi dan minuman lainnya seperti kopi, minuman berenergi, serta minuman yang mengandung konsentrat. Dengan tarif tersebut, negara berpotensi mendapat penerimaan negara sebesar Rp 6,25 triliun.
Meski demikian, pemerintah juga memberikan pengecualian atau pembebasan cukai terhadap produk minuman berpemanis lainnya seperti yang dibuat dan dikemas non pabrikasi, madu dan jus sayur tanpa tambahan gula, dan barang yang diekspor.
Demi Kesehatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pengenaan cukai dilakukan guna membatasi konsumsi masyarakat terhadap barang-barang tersebut. Pada produk minuman berpemanis, alasan kesehatan menjadi tujuan utama pengenaan cukai.
Jelas ini adalah sebuah alasan yang dipaksakan. Alih-alih demi kesehatan rakyat, yang ada justru rakyat semakin melarat karena menarik cukai dari minuman manis artinya menaikan harga jual. Selain menurunkan daya beli masyarakat, mengurangi konsumsi juga akan mengurangi bahkan menghilangkan pendapatan masyarakat pedagang asongan.
Menurut Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) pengenaan cukai pada produk minuman berpemanis berpotensi menurunkan pendapatan masyarakat kecil dan menengah. Sekretaris Jenderal ASRIM Suroso Natakusuma mengatakan, lebih dari 60% distribusi minuman berpemanis dilakukan di pasar tradisonal. "Jadi distributor kecil dan menengah bisa menurun pendapatannya.
Akhirnya banyak pendapatan masyarakat kecil dan menengah menurun," kata dia kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu. Kementerian Keuangan pun memproyeksikan, produksi minuman berpemanis akan turun masing-masing sebesar 8,03% setelah dikenakan cukai. Teh kemasan diperkirakan produksinya menjadi 2,02 miliar liter, minuman berkarbonasi menjadi 687 juta liter, dan minuman lainnya sebesar 743 juta liter.
Selain berpotensi mengganggu distribusi dan produksi, pengenaan cukai juga akan menyebabkan kenaikan harga jual. Suroso memprediksi harga minuman berpemanis akan naik 30-40% dari harga saat ini. Sementara itu ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menilai pengenaan cukai minuman berpemanis justru berpotensi menurunkan pendapatan pajak.
Pasalnya daya beli masyarakat akan berkurang seiring dengan kenaikan harga minuman berpemanis.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Tahun 2019 sumber penerimaan pajak hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam.
Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sumber utama pendapatan negara. Namun, justru SDA yang ada malah dikelola oleh asing dengan nama privatisasi, akhirnya pemasukan APBN dari sektor SDA Migas dan non-Migas makin lama makin kecil.
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat menambah beban hidup rakyat. Pajak dijadikan sebagai sebuah kewajiban bagi rakyat. Rakyat pun dipaksa membayarnya tanpa terkecuali. Jelas ini merupakan tindakan kezhaliman yang dibungkus dengan sebuah aturan oleh Negara.
Harusnya negara berperan sebagai pelayan umat, mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan malah memalak rakyatnya. Ini adalah akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang sarat penuh dengan kepentingan dan keuntungan para pemilik modal. Tidak bisa dipungkiri, kehidupan ke depan kian rumit dan mencekik. Dan akibat pengabaian aturan Islam dalam khidupan.
Islam mempunyai mekanisme tertentu terkait sumber pendapatan negara.
Islam pun merinci pendapatan sebuah negara bukan dari sumber pajak saja. Sumber pemasukan tetap Baitul Mal adalah fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya seperti pengelolaan hasil SDA, dll., serta pemasukan dari harta milik negara seperti usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat.
Apabila harta tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, negara tidak akan mewajibkan pajak (dharibah) atas seluruh kaum muslimin untuk melaksanakan tuntutan pelayanan urusan umat.
Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan apapun nama dan alasannya. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara kamu dengan jalan yang bathil”. (TQS. al-Baqarah [2]: 188)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i.
Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan.
“Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).”
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta.
Artinya, pemasukan yang diperoleh dari harta-harta milik umum (kaum Muslim) yang dikeqlola oleh negara sudah habis, begitu juga yang menjadi pos-pos pendapatan negaraa sedang tidak ada (karena habis digunakan atau mengalami defisit), termasuk deposit harta zakat dan sejenisnya, juga kosong, sementara ada pembiayaan yang harus dipenuhi maka pada kondisi darurat seperti inilah negara Khilafah bisa memungut dlaribah.
Dlaribah ini bersifat insidental dan hanya ditujukan bagi orang-orang (rakyat) yang mampu; tidak diwajibkan atas rakyat yang tidak mampu. Fungsi dan kedudukan dlaribah di dalam sistem ekonomi Islam adalah sebagai pilihan terakhir untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara.
Bukan sebagai ujung tombak pendapatan negara, sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam tidak akan memberlakukan pungutan seperti pajak yang selama ini dikenal, karena sumber pemasukan negara dikelola dengan baik, sehingga mampu menyejahterakan rakyatnya tanpa harus menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara yang hanya akan membebani rakyat.
Sudah saatya kita mencampakaan sistem kapitalisme dan mewujudkan sistem Islam.