Opini
Oleh : Reni Rosmawati
Ibu Rumah Tangga, Alumni BFW
Mitra Rakyat.com
"Seorang pemimpin adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dilansir oleh laman (Detikfinance, 25/1/2020), penghapusan tenaga honorer kembali diwacanakan oleh pemerintah. Pemerintah melalui Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengatakan, anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer. Pasalnya, setiap kegiatan rekrutmen tenaga honorer tidak diimbangi dengan perencanaan penganggaran yang baik.
Adapun upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghapus status tenaga honorer dengan mengikutsertakan pada seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Target penyelesaiannya sisa tenaga honorer ini selesai pada 2021.
Penghapusan tenaga honorer sendiri telah disepakati Kementerian PAN-RB dan BKN dengan Komisi II DPR. Pemerintah juga menghimbau kepada seluruh pejabat negara untuk tidak merekrut tenaga honorer.
Bahkan, larangan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 Pasal 8. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN), yang dimaksud ASN adalah PNS dan PPPK. Di luar dari semua itu tidak dianggap.
Sementara itu, wacana penghapusan tenaga honorer telah sampai ke daerah. Sebanyak 1.800 guru honorer di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terancam nasibnya, bahkan berada di ujung tanduk. Hal tersebut terkait akan dihapuskannya tenaga honorer di lingkungan pemerintahan oleh Pemerintah pusat. (www.kabar-banten.com, 24/1/2020)
Miris, di tengah gonjang-ganjing perekonomian Indonesia yang kian terpuruk, pemerintah kembali mengeluarkan statement menyayat hati. Wacana dihapuskannya tenaga honorer oleh pemerintah, tentunya akan menjadi langkah tidak tepat, mengingat kesejahteraan tenaga honorer masih menjadi isu sentral yang belum terselesaikan di negeri ini. Sudah dapat dipastikan, penghapusan tenaga honorer malah akan menambah masalah baru bagi masyarakat. Maraknya pengangguran massal pun akan menjadi hal yang tak bisa terelakan.
Jika kita flashback ke belakang, pada saat kampanye beberapa waktu lalu, presiden menjanjikan membuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya. Namun sungguh ironis, jauh panggang dari api, realita tak sesuai ekspektasi. Jumlah pengangguran kian bertambah setiap tahunnya. Hal ini menjadi indikasi bahwa negara dan pemerintah memang tengah gagal mengatasi berbagai masalah penyaluran tenaga kerja.
Rekrutmen tenaga honorer, awalnya dianggap sebagai upaya untuk mengurangi pengangguran sekaligus mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah (sesuai budget negara). Karena mereka belum berpengalaman dan dijanjikan akan direkrut menjadi ASN. Sayangnya, janji ini hanyalah fatamorgana semata, mengingat tenaga honorer akan dihapuskan. Rakyat pun harus kembali menelan pahit getirnya kehidupan, bahkan dianggap sebagai beban.
Bermunculannya persoalan ketenagakerjaan yang tak kunjung tuntas, menandakan kalau persoalan ini bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Maka untuk menyelesaikan persoalan tersebut perlu pengkajian secara mendalam, apa yang menjadi faktor masalah tersebut terus muncul. Baru kemudian mencari solusinya agar tepat sasaran.
Sejatinya, permasalahan ketenagakerjaan ini berkaitan dengan sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme adalah sistem yang mendewakan materi, segala sesuatu diukur berdasarkan untung dan rugi. Berdasarkan itu semua, maka adalah lumrah jika rakyat hanya dipandang secara ekonomis (untung dan rugi). Hingga pejabat pemerintahnya tak segan-segan mengeluarkan statement, tenaga honorer (rakyat) sebagai beban anggaran. Sementara tumpukan utang terus menggunung demi pembangunan infrastruktur. Padahal itu jelas-jelas menjadi beban masa depan bangsa dan generasi yang akan datang. Inilah wajah sesungguhnya sistem kapitalisme, rakyat terus menerus menjadi korban kebijakan para pemangku kekuasaan. Sistem ini hanyalah menimbulkan nestapa, penderitaan dan kesengsaraan.
Islam sebagai agama sempurna mempunyai seperangkat peraturan untuk mengatasi segala macam problematika kehidupan. Islam telah menorehkan tinta emas dalam kesejahteraan kehidupan manusia. Di antara keagungan peradaban Islam adalah bagaimana perhatiannya terhadap seluruh masyarakat dalam memberikan jaminan kehidupan terbaik bagi mereka; baik muslim maupun non muslim.
Dalam Islam, negara (khilafah) berkewajiban memberikan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan serta menciptakan dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Khilafah pun boleh mempekerjakan pekerja secara mutlak, baik muslim maupun kafir. Mereka mendapatkan perlakuan adil sejalan dengan hukum syariat.
Hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur, dilindungi oleh khilafah. Rekrutmen pegawai negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi.
Seluruh pegawai muslim khilafah bekerja tidak sekadar karena ingin mendapatkan upah. Lebih dari itu mereka memahami bekerja melayani urusan rakyat merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan.
Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Semua pegawai negara dalam khilafah digaji lewat akad ijarah dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan. Sebagai contoh; pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1.275 gram emas) atau setara Rp114.750.000. Luar biasa, nominal yang sangat fantastis. Wajar kehidupan rakyatnya sangat sejahtera dan berkah.
Gaji pegawai negara diambil dari kas baitulmal. Namun apabila tidak mencukupi, maka bisa ditarik dharibah/pajak yang bersifat temporer. Dalam khilafah, lapangan pekerjaan terbuka lebar. Maka menjadi ASN bukanlah satu-satunya pekerjaan yang dikejar oleh warga untuk mendapat berbagai jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua.
Jaminan kesejahteraan era khilafah dapat terwujud bukan karena kebetulan, namun karena khilafah memiliki seperangkat aturan atau kebijakan. Aturan maupun kebijakan ini bersumber dari Islam. Karena sejatinya khilafah adalah representasi dari penerapan Islam secara menyeluruh dan utuh. Aturan-aturan ini mencakup ranah individu, keluarga, masyarakat dan negara. Sehingga secara sederhana semua keagungan khilafah terwujud karena Islam diterapkan secara penuh.
Beberapa bentuk aturan atau kebijakan dalam khilafah sehingga ada keterjaminan kesejahteraan bagi rakyat antara lain:
Pertama, khilafah adalah sebuah negara Islam yang menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk bekerja guna memberikan nafkah baginya dan bagi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, Islam mengatur ketika masih ada kekurangan atau kemiskinan yang menimpa seseorang, maka tanggung jawab itu menjadi tanggung jawab sosial. Maksudnya keluarga dan tetangga turut dalam membantu mereka yang masih dalam kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam seperti zakat, sedekah dan lainnya.
Ketiga, khilafah melalui pemimpin tertingginya yaitu seorang khalifah adalah pihak yang mendapatkan mandat untuk mengayomi dan menjamin kesejahteraan rakyat. Ia yang akan menerapkan syariah Islam, utamanya dalam urusan pengaturan masyarakat seperti sistem ekonomi dan lainnya.
Dalam bidang ekonomi, kebijakan yang dilakukan khalifah adalah meningkatkan dan mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor riil baik di bidang pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume perdagangan.
Di sektor pertanian, di samping intensifikasi juga dilakukan ekstensifikasi, yaitu menambah luas area yang akan ditanami dan diserahkan kepada rakyat. Karena itu, para petani yang tidak memiliki lahan atau modal dapat mengerjakan lahan yang diberi oleh pemerintah.
Sebaliknya, pemerintah dapat mengambil tanah yang telah ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya, seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika berada di Madinah. yaitu pemberian negara kepada rakyat yang diambil dari harta baitulmal dalam rangka memenuhi hajat hidup atau memanfaatkan kepemilikannya.
Dalam sektor industri, khalifah akan mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain. Selama ini negara-negara Barat selalu berusaha menghalangi tumbuhnya industri alat-alat di negeri-negeri kaum muslim agar negeri-negeri muslim hanya menjadi pasar bagi produk mereka.
Di sektor kelautan dan kehutanan serta pertambangan, khalifah sebagai wakil umat akan mengelola sektor ini sebagai milik umum dan tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta.
Dengan seluruh sektor yang saling berkaitan tersebut, maka akan memudahkan bagi warga negara khilafah dalam mendapatkan pekerjaan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Hingga pengangguran tidak akan menjadi momok menakutkan bagi warga negara khilafah.
Hal tersebut berbeda dalam sistem kapitalisme yang menyuburkan pengangguran di mana-mana. Kesejahteraan hanya sebuah impian yang takkan bisa terwujud jika kita tetap mempertahankan sistem thagut (kapitalis) ini. Maka jalan satu-satunya untuk berlepas diri dari sistem ini adalah adalah dengan mencampakkannya hingga ke akar dan menggantinya dengan sistem Islam yang bersumber dari wahyu Allah.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab