Opini
Ditulis Oleh : Reni Rosmawati (Kak Rose)
Ibu rumah tangga, member AMK dan alumni BFW
Mitra Rakyat.com
"Kita tidak hanya pindah tempat atau pindah lokasi, yang paling penting adalah pindah pola pikir, pindah 'mindset', pindah sistem. Artinya, sistem harus terinstal dengan baik sehingga nanti orangnya yang masuk, birokrasi kita masuk, sistemnya sudah siap. Ada pindah budaya kerja, harus berubah." (Presiden Joko Widodo, Rabu (6-11-2019). (Antara news.com)
Tampaknya, pemindahan ibukota bukan lagi soal wacana. Presiden Joko Widodo semakin memperlihatkan keseriusannya memindahan ibukota. Hal ini terbukti dengan digandengnya 3 orang tokoh asing sebagai pengarah pembangunan ibukota baru.
Sebagaimana diberitakan oleh laman Tempo.com, 16 Januari 2020, pemerintah serius mempersiapkan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Targetnya, semua proses ini akan tuntas pada 2045. Untuk menuju ke situ, dibentuklah dewan pengarah yang akan memberi nasehat ke pemerintah.
Presiden Joko Widodo menjelaskan alasannya menempatkan tiga tokoh asing sebagai dewan pengarah pembangunan ibukota baru. Tiga orang tersebut adalah Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed bin Zayed, CEO SoftBank Masayoshi Son, dan eks Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
"Beliau-beliau ini memiliki pengalaman yang baik di bidang pembangunan kota, punya pengalaman," katanya usai membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di The Ritz Carlton Pacific Place Sudirman, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.
Ia mencontohkan Mohamed bin Zayed memiliki pengalaman saat membangun kota Masdar di Abu Dhabi. Kota ini mendapat reputasi baik dari dunia karena dianggap kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Adapun Masayoshi, kata Jokowi, dikenal memiliki reputasi baik di bidang teknologi dan keuangan. Sementara Tony, menurut dia, dianggap memiliki pengalaman di bidang pemerintahan. "Saya kira memang ingin kita membangun trust internasional," ucapnya.
Duduknya tiga tokoh asing dalam dewan pengarah pembangunan ibukota baru ini dibicarakan saat Jokowi berkunjung ke Abu Dhabi, akhir pekan lalu. Di sana, Mohammad bin Zayed memastikan negaranya sudah menyiapkan dana US$ 22,8 miliar untuk berinvestasi di Indonesia.
Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Mohammed bin Zayed akan menjadi Ketua Dewan pengarah pembangunan ibukota baru. Adapun Masayoshi dan Tony Blair menjadi anggotanya. "Di atasnya ada Presiden Jokowi yang akan menjadi penanggung jawab," ucap Luhut dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 14 Januari 2020. (Tempo.co, 16 Januari 2020)
Cukup menyayat hati, di tengah ekonomi Indonesia sedang terpuruk, pemerintah tetap bersikukuh memikirkan pindah ibukota. Sejak awal, wacana pemindahan ibukota negara Indonesia memang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, hingga menuai kesan pemerintah tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di negara ini yang belum tersolusikan, tapi mengapa pemerintah justru terobsesi menambah masalah baru dengan mengganti ibukota? Alih-alih ingin menyelesaikan masalah yang terjadi di ibukota Jakarta, yang terjadi malah sebaliknya pemerintah terkesan abai dan lari dari masalah.
Jika kita menelaah secara seksama, keputusan pemerintah memindahkan ibukota, tentunya akan menjadi langkah tidak bijaksana karena ditengah utang Indonesia yang sudah berkisar pada angka Rp 4.800 triliun per Juli 2019. (detiknews.com). Sedangkan kondisi Jakarta saat ini memprihatinkan, terbukti dengan rilisnya data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, Pada 2017 mencatat 86% wilayah DKI Jakarta masuk kategori kampung kumuh tersebar di sejumlah titik di ibukota. Hal ini berarti, saat menjadi ibukota negara, Jakarta tidak menunjukkan kesejahteraan yang merata.
Pemindahan ibukota disinyalir dapat mendatangkan banyak masalah baru, terutama saat dimulai pembangunan akan berdampak negatif terhadap berbagai aspek, antara lain; sosial, lingkungan, ekonomi, politik.
Selain itu, ditunjuknya 3 tokoh asing sebagai dewan pengarah pembangunan ibukota, pada hakikatnya akan memberi jalan bagi mereka (asing) untuk mengokohkan cengkramannya menguasai negeri ini, serta menambah makin besarnya pengaruh asing di seluruh lini kehidupan, termasuk dalam pembangunan ibukota (sebagai pemasok bahan, konsultan, pimpro hingga pelaksana proyek).
Kucuran dana serta tenaga dari para asing ini tentunya bukanlah "makan siang gratis". Mereka para asing dan aseng tidak akan pernah mau menjalin kerjasama, membantu Indonesia dan menggelontorkan modalnya jika tidak ada jaminan di dalamnya. Walaupun pemerintah berdalih ini hanyalah sebatas kerjasama, namun pada kenyataannya negara dan rakyatlah yang menjadi jaminannya. Hal ini terbukti jelas dengan banyaknya kekayaan alam Indonesia yang dikuasai asing dan aseng. Sementara rakyat hidup sebagai kacung di negerinya sendiri. Inilah kerugian juga bahaya nyata adanya keterlibatan asing dalam pembangunan ibukota baru. Bukan hanya mengambil keuntungan, intervensi asing hingga penjajahan politik ekonomi, bahkan negara pun akan kehilangan kedaulatannya.
Sejatinya Indonesia adalah negara kaya raya.
Allah Swt. telah menganugerahkan ibu pertiwi ini dengan berbagai kelebihan yang sangat luar biasa. Bahkan Indonesia dijuluki sebagai negeri 'gemah ripah loh jinawi'. Ini menjadi modal besar yang pastinya akan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang maju dan makmur. Dengan bermodalkan itu semua, tentunya Indonesia akan sangat mudah membiayai pembangunan ibukota baru. Tidak perlu menggandeng asing dengan mekanisme investasi dalam melakukan pembangunan ibukota tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum yang namanya investasi, dalam bentuk apapun baik itu datang dari asing maupun swasta pasti sarat akan banyak kepentingannya. Maka di sini perlu adanya kewaspadaan selain pada pertahanan dan keamanan dalam negeri, kedaulatan serta eksistensi negeri ini.
Terkait pemindahan ibukota yang melibatkan investasi asing, semestinya pemerintah dapat mengkaji secara seksama agar matang dalam pelaksanaannya. Tidak hanya memikirkan trust internasional, tapi memikirkan apakah akan memberikan kebaikan bagi rakyat dan negeri ini atau justru sebaliknya. Maraknya investasi asing yang masuk, tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ideologi kapitalisme yang bercokol di negeri ini. Dimana karakter liberal yang melekat, mengakibatkan pemahaman ekonomi berjalan seperti hukum rimba. Siapa yang memiliki modal mereka yang berkuasa.
Islam sebagai agama agung yang diturunkan Allah Swt. kepada Rasulullah saw. memiliki seperangkat peraturan di dalamnya untuk mengatur segala macam problematika kehidupan. Islam memandang perpindahan ibukota bukanlah hal yang haram. Dengan pertimbangan untuk kemaslahatan umat Islam.
Pada masa pemerintahan Islam pun pernah beberapa kali terjadi pemindahan ibukota. Bukan saja Madinah, Damaskus, tapi juga Maghrib (Tunisia), Konstantinopel (Istanbul Turki), pernah menjadi ibukota wilayah Islam. Uniknya, walaupun beberapa kali pindah ibukota, ke khilafahan Islam tetap menjadi adidaya hingga sekitar 13 abad lamanya. Hal ini karena Islam memiliki beberapa landasan yang selalu diperhatikan dalam pembentukan ibukota baru. Yakni;
Pertama; landasan falsafah ideologi yang melandasi pembentukan ibukota baru. Hal ini mempengaruhi eksistensi ibukota baru tersebut dan urgensinya. Diantara urgensi politik yang menjadi alasan adalah kondisi rawan banjir, kepadatan penduduk yang tidak merata maupun kepentingan politik praktis lainnya seperti kondisi politik yang memanas. Dalam Islam falsafah ibukota baru adalah tanggung jawab negara untuk memakmurkannya.
Kedua; landasan kebijakan pemerataan kemakmuran dan kemajuan di seluruh wilayah negara yang didasarkan pada kebutuhan bukan jumlah kekayaan yang dihasilkan. Proses pemerataan penduduk pun dilakukan dengan adanya program transmigrasi yang berkesinambungan. Selain itu, pemerataan pembangunan di daerah menjadi daya dukung bagi pemerataan penduduk. Dengan demikian keinginan daerah untuk otonomi bahkan referendum seperti Papua misalnya bisa dicegah.
Ketiga; landasan kebijakan ekonomi yang mensejahterakan. Semua ekonomi Islam menggariskan bahwa kepemilikan ekonomi terbagi menjadi 3 ranah. Yaitu, kepemilikan individu, umum dan negara. Sumber energi, tambang, hutan, lautan dan kekayaan alam lainnya merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan BUMN dan BUMD akan menjadi kepemilikan negara dan pemegang hak pengelolaan kepemilikan umum. Dengan demikian, akan tersedia sumber dana yang mencukupi dalam pembentukan ibukota. Alhasil, tidak perlu investor asing karena khilafah memiliki sumber-sumber dana dalam negeri yang diatur dalam kebijakan kepemilikan ini. Sehingga investasi asing tidak mudah masuk dan menguasi negeri Islam.
Dalam pelaksanaannya memindahkan ibukota, negara Islam tidak akan memberi celah bagi asing mengulurkan bantuannya. Hal ini karena, sistem Islam (khilafah) mempunyai mekanisme anti penjajahan yang salah satunya diwujudkan dengan kebijakan waspada dan tegas dalam menjalin hubungan dengan asing. Meminta bantuan asing sama saja dengan memberi peluang bagi mereka menguasai kaum muslimin.
Allah SWT berfirman ;
“..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nisa: 141)
Sebagai konsekuensi dari ayat diatas, maka negara khilafah memiliki kewajiban untuk menolak dikte dan campur tangan asing. Hubungan negara khilafah dengan negara asing hanya sebatas hubungan politik bilateral. Meskipun demikian, negara khilafah tidak akan pernah melakukan kerja sama dengan negara-negara Kafir Harbi Fi’lan–seperti AS, Inggris, Prancis, Rusia, Cina, atau negara-negara kufur lain, yang tentunya akan membahayakan eksistensi Daulah Khilafah. Hubungan luar negeri yang dijalin negara khilafah dan negara asing dijalin semata-mata hanya untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru negeri.
Dalam Islam, menggunakan ahli (hubara) asing untuk kebutuhan dalam negeri sebenarnya boleh-boleh saja, tapi dengan mekanisme hanya sebagai pekerja (ajir). Bukan untuk diikuti pola pikir apalagi pandangan sistem yang mereka bawa. Hal ini semata-mata untuk menjaga kemurnian ideologi Islam dan kedaulatan negara agar terhindar dari intervensi asing yang membahayakan tubuh umat dan negara Islam.
Dari sini, maka jelaslah hanya Islam satu-satunya yang dapat memutus campur tangan asing dalam pemindahan ibukota. Kembali kepada Islam adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari cengkraman asing yang membelenggu. Kebijakan penanaman modal asing sebagai alat bagi mereka untuk mencengkram dan mendominasi kaum muslimin tidak akan terjadi apabila kaum muslimin menerapkan sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyyah dari Allah Swt. dan dengan tegas mencampakkan sistem kapitalis Liberal buatan Barat.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab