Opini
Ditulis Oleh : Novi Widiastuti
Ibu Rumah Tangga
Mitra Rakyat.com
Sejak pertengahan 2019 Indonesia telah mengalami defisit perdagangan di sektor tanaman pangan. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, impor tanaman pangan segar sepanjang semester I 2019 mencapai Rp 35,5 triliun.
Angka tersebut masih jauh lebih tinggi dibanding torehan ekspor tanaman pangan yang mencapai US$ 12 juta atau sekitar Rp 171 miliar pada Januari-Juni 2019. Impor komoditas tanaman pangan yang paling tinggi adalah komoditas kedelai (1,31 juta ton), jagung (580 ribu ton), dan kacang tanah (186 ribu ton) (Katadata.co.id, 2019).
Alasan dibukanya ruang impor pangan yang sangat besar oleh negara adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan tanaman pangan di dalam negeri, disebabkan oleh produksi tanaman pangan nasional yang tidak bisa memenuhi kebutuhan.
Beberapa upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi tanaman pangan dalam negeri adalah dengan program intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi pangan, pemanfaatan lahan rawa dan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian (kumparan.com, 2019).
Salah satu hal yang menarik dari upaya pemerintah tersebut adalah pembagian alat dan mesin pertanian (alsintan). Pemberian bantuan Alsintan oleh perintah kepada petani diharapkan tidak hanya sekedar meningkatkan produksi pangan akan tetapi agar sektor pertanian diminati oleh generasi millennial.
Hal ini diungkapkan oleh salah seorang anggota DPR RI , Cucun Ahmad Syamsurijal, saat membagikan bantuan 109 alsintan yang terdiri dari 30 unit traktor roda dua, 60 traktor mesin pompa air, 9 traktor roda empat dan 10 kultivator kepada sejumlah kelompok tani di Graha Alif, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Sabtu 30 Nopember 2019.
Pemerintah nampak nya dikejar target, yaitu untuk mewujudkan Indonesia menjadi Lumbung Pangan Asia dan Dunia pada tahun 2045. Mimpi besar ini diungkapkan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada awal tahun 2019. Lalu apakah mimpi besar ini dengan mudah bisa tercapai ? tentu menjadi hal yang luar biasa sulit ditengah sistem kapitalisme yang tengah bercokol tidak hanya di negeri ini tapi juga di seluruh dunia.
Setidak nya adalah lima permasalahan pertanian yang diungkap oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), masalah tersebut antara lain permodalan, lahan yang semakin sulit, ketertinggalan teknologi, persoalan pupuk, dan pemasaran produk. Selain lima masalah tersebut tentu, masalah kebijakan impor tanaman pangan semakin memperumit masalah pertanian di Indonesia.
Bila kita coba urai masalah nya satu persatu, maka solusinya adalah kembali kepada paradigma politik pertanian dan komitmen pemerintah. Negeri yang sedemikian subur, dengan pasokan air, cahaya matahari, dan iklim yang mendukung malah menjadi bulan-bulanan produk tanaman pangan impor, malah kita impor dari Thailand dan Vietnam yang secara letak geografis hampir sama, malah dari segi luas wilayah pertanian masih luas Indonesia.
Institute for Developement of Economic (INDEF) mencatat bahwa Thailand berada satu peringkat dibawah Vietnam. Berdasarkan data World Stock Export, dari 15 negara eksportir pangan, Thailand berada di peringkat ke-2 di bawah Vietnam. Berbeda dengan Indonesia yang menjadi 10 negara terbesar importir pangan. INDEF menjelaskan bahwa perbedaannya terletak pada komitmen pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian.
Lalu apa yang harus dilakukan ? bila merujuk kepada khazanah pemikiran Islam, maka kita akan temukan solusi terhadap kekeliruan paradigma politik pertanian dan komitmen pemerintah. Beberapa hal yang dapat dilihat dari hadits Rasulullah SAW dan kebijakan para Khalifah yang menjadi Ijma dalam mengelola urusan pertanian.
Permodalan dalam Islam harus dijauhkan dari praktik riba. Skema bisnis dalam pertanian bisa dengan menggunakan skema syirkah dengan aqad syar’i. Pemerintah dalam hal ini seorang khalifah wajib memberikan bantuan modal kepada petani yang mengalami kesulitan modal, bisa dikeluarkan dari pos sedekah atau pos kepemilikan negara.
Syariah Islam menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu.
Rasul bersabda;
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, dan hibah, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya itu, diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.
Hasil pertanian, selain untuk konsumsi petani dan keluarganya, juga dijual ke pasar. Dalam hal ini syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, riba, monopoli, dan penipuan.
Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalisasi terjadinya kesalahfahaman informasi, yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar dengan mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah Ibn Al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian.
Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand, bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan pada masa kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan. Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al-‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan.
Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada pengaturan sektor pertanian dan penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya.
Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya.
Wallahu ‘alam bishawab