Defisit BPJS, Akibat Tata Kelola yang Salah
Opini
Ditulis Oleh: Reni Rosmawati
Member Akademi Menulis Kreatif
Mitra Rakyat.com
"Kalau BPJS yang memang harus diselesaikan, kan di BPJS-nya, bukan di rumah sakitnya, bukan di pemegang kartu BPJS-nya. Di institusi BPJS-nya bagaimana agar defisit bisa dikendalikan." (presiden Joko Widodo, CNN.Indonesia, 29/11/2019).
Isu defisit BPJS kesehatan menjadi isu seksi yang tengah naik daun saat ini. Berbagai masalah dituding sebagai penyebab terjadinya defisit terus bermunculan dikeluarkan pemerintah. Sebagaimana dilansir oleh bisnis.tempo.co, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menduga salah satu penyebab defisit BPJS Kesehatan adalah pembengkakan biaya klaim kepada rumah sakit. Pembengkakan biaya klaim ini diduga disebabkan oleh karena tindakan dokter kepada pasien yang dilakukan secara berlebihan.
Salah satu hal yang disoroti Terawan adalah layanan persalinan melalui operasi sectio caesarea yang banyak terjadi di hampir seluruh daerah. Operasi caesar itu pun diduga tidak sesuai ketentuan. Menurutnya, perbandingan caesar dengan persalinan normal yakni 45 persen padahal seharusnya menurut WHO 20 persen.
Lebih jauh Terawan menegaskan bahwa layanan yang diberikan dalam program JKN adalah layanan kesehatan dasar dengan dana yang terbatas. Namun, nyatanya di lapangan kerap dilakukan dengan tindakan yang berlebihan sehingga membuat pembiayaan juga jadi berlebih. Terawan juga menjelaskan bahwa selama ini pemerintah mengacu pada pasal 19 UU Nomor 40 Tahun 2004. "Di mana di situ bunyinya adalah pelayanan kesehatan dasar. Kalau dibikin unlimited medical services, pasti akan menjadi kolaps," tuturnya.
Dalam kesempatan itu Terawan juga meminta kepada kepala dinas kesehatan untuk menguatkan upaya promotif dan preventif di Puskesmas dalam program pencegahan penyakit. Sebelumnya ia pun menyinggung praktik dokter yang berlebihan dalam penanganan persalinan, tindakan penyakit jantung, dan tindakan terhadap penyakit kanker.
Menanggapi hal ini, Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr HN Nazar mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, sejumlah rumah sakit di Indonesia yang kerap menjadi rujukan dalam menangani penyakit jantung, terus menurunkan biaya pemasangan ring (stent). Ia menyebut, biaya pemasangan stent di Indonesia relatif lebih terjangkau bila dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.Sekalipun, penanganan penyakit jantung diketahui sebagai salah satu penanganan penyakit yang membutuhkan biaya tertinggi di dunia.
Nazar menyatakan, setelah mendengar pernyataan dari Terawan, pihaknya langsung meminta klarifikasi kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Menurutnya tindakan yang dilakukan dokter spesialis kardiovaskular dalam pemasangan ring dilakukan dengan metode yang ketat. Bahkan dalam 3 tahun terakhir rumah sakit berinisiatif untuk menurunkan biaya pemasangan ring yang dulu sebelum ada BPJS harganya mencapai puluhan hingga ratusan juta.
Bagai mengurai benang kusut, kisruh BPJS tidak pernah menemukan titik terang. Setelah sebelumnya pemerintah berinisiatif menaikkan premi iuran BPJS guna menutupi defisit, kini pemerintah kembali menuding dokter dan tindakan operasi caesar sebagai penyebab terjadinya defisit yang dialami BPJS. Fakta diatas membuktikan bahwa pemerintah selalu mencari kambing hitam demi menutupi kegagalannya memberikan jaminan kesehatan kepada rakyat. Defisit BPJS ditanggapi pemerintah dengan menegaskan bahwa negara hanya memberikan layanan dasar, semakin menampakkan bahwa pemerintah berlepas tangan atas layanan kesehatan publik yang dibutuhkan rakyat. Sistem jaminan sosial khususnya dalam bidang kesehatan hanya akan mengalihkan sebagian tanggung jawab pelayanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyat.
Menyalahkan dokter dan tindakan operasi caesar sebagai pemborosan anggaran yang membuat defisit BPJS semakin membesar adalah hal tidak mendasar. Polemik defisit BPJS yang terus menerus terjadi bukan karena kesalahan dokter atau tenaga medis lainnya, melainkan terletak pada tata kelola BPJS. Manajemen korporasi yang dijalankan BPJS hanya memberi keuntungan besar pada manajemen dari dana hak rakyat. Mirisnya lagi, pengelolaan dan pengembangan dana BPJS juga diarahkan pada kegiatan investasi batil serta berpotensi merugikan rakyat. Dana asuransi yang terkumpul pada BPJS dikelola secara independen oleh BPJS, akibatnya uang iuran rakyat tersebut berpeluang besar menguap begitu saja bahkan menghilang tanpa bekas.
Inilah yang terjadi jika kebutuhan vital diserahkan pengelolaannya kepada para kapitalis. Sehingga segala sesuatu harus dinilai dengan nominal uang. Bahkan dari segi detail teknis dan frekuensi pengobatan ditentukan oleh pihak BPJS. Tak jarang pihak rumah sakit yang menangani pasien dengan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan lebih besar dan mahal, tak dapat berbuat banyak karena pengobatan yang diberikan ditentukan oleh pihak BPJS sesuai iuran yang dibayarkan peserta BPJS setiap bulanya. Rakyat hanya bisa pasrah dengan keadaan yang tersebut.
Sejak awal kemunculannya BPJS telah diprediksi menimbulkan berbagai masalah. Keberadaannya tak lebih dianggap sebagai pemalakan dan hanya akan semakin membebani hidup rakyat khususnya kelompok menengah ke bawah. Karena melalui program BPJS, seluruh rakyat diwajibkan untuk terlibat dalam kepesertaan asuransi ini dengan membayar iuran/premi secara reguler. BPJS dibolehkan mengambil iuran secara paksa (alias memalak) dari rakyat setiap bulan (mulai 1 Januari 2014), dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidup, dan uang yang diambil tidak akan dikembalikan. Kecuali dikembalikan dalam bentuk layanan kesehatan menurut standar BPJS, yaitu saat sakit saja. Jika rakyat tidak bayar, akan ada sanksi dari pihak negara berupa denda. (Lihat Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta : Kemenkes RI, 2013).
Dalam Islam Kesehatan merupakan kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Pengadaan jaminan terpenuhinya kebutuhan tersebut mutlak menjadi tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, baik untuk si miskin dan si kaya, Muslim ataupun non muslim. Pelayanan yang profesional, maksimal serta pengobatan terbaik baik itu penyakit ringan maupun berat, akan diberikan kepada rakyat secara gratis. Rakyat tidak perlu membayar iuran setiap bulannya demi memperoleh pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan sendiri merupakan bagian dari urusan rakyat. Negara dalam hal ini penguasa wajib menjamin hal tersebut tanpa prosedur berbelit dan menyulitkan masyarakat. Rasulullah Saw bersabda:
"Imam adalah pelayanan yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Muslim).
Sejarah Islam telah mencatat bagaimana keseriusan penanganan kesehatan dalam sebuah naungan sistem Islam. Pernah Rasulullah Saw ketika dihadiahkan seorang tabib maka beliau menjadikannya untuk kaum muslim dan bukan untuk dirinya peribadi (al-Maliky, as-siyâsah al-iqtishâdiyyah al-mutslâ. hal. 80). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah Saw pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Ka'ab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas).
Demikian pula dalam riwayat Al-Hakim disebutkan bahwa Zaid bin Aslam dari bapaknya ia berkata: "Di masa Umar bin Khaththab saya menderita sakit parah. Lalu Umar memanggilkan tabib untukku.Tabib itu menjagaku dimana saya harus menghisap biji kurma untuk berdiet.”
Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya. (An-Nabhâny, Muqaddimah ad-Dustûr, hal.19). Adapun dari sisi pembiayaan sepenuhnya ditanggung oleh kas Baitul Maal, tanpa menyulitkan masyarakat dengan menarik biaya yang mencekik. Baitul Maal adalah lembaga khusus yang menangani harta yang diterima negara untuk kemudian dialokasikan kepada pihak yang membutuhkannya.
Negara Islam (khilafah) hadir sebagai penegak syariat Islam secara kaffah. Yang mana bertanggung jawab langsung memenuhi hajat hidup rakyatnya. Termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Sehingga negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya salah satunya dengan menanggung seluruh biaya pengobatan yang dibutuhkan rakyat. Rumah sakit, dokter dan paramedis tersedia secara memadai dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Negara memberikan fasilitas untuk terwujudnya pelayanan kesehatan yang terbaik dengan memberikan aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian, ketersediaan obat, alat kedokteran bahkan gaji dan beban kerja yang sesuai. Pasien yang keluar dari rumah sakit pun merasakan kebahagiaan lantaran mendapat pelayanan yang terbaik. Bahkan disediakan pula rumah sakit berjalan, lengkap dengan obat-obatnya, peralatan medisnya, dokter serta tenaga medis lainya untuk mendatangi orang-orang sakit yang tidak dapat hadir ke rumah sakit.
Demikianlah, sudah sangat jelas bahwa Islamlah satu-satunya yang mampu memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi rakyatnya. Jika negeri ini ingin bebas dari berbagai keterpurukan yang mendera, maka tidak ada jalan lain kecuali menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan serta mencampakkan sistem Kapitalisme biang keladi dari setiap permasalah yang datang silih berganti termasuk masalah defisit BPJS yang tak kunjung ada habisnya.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab