BPJS Naik Selangit, Rakyat Tersakiti (2)
Opini
Ditulis Oleh : Reni Rosmawati
Member Akademi Menulis Kreatif
Mitra Rakyat.com
Memandang kenaikan BPJS sebagai cara kolaborasi pemerintah dan rakyat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima atau mengatakan kenaikan BPJS kesehatan sebagai upaya masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan lebih, membantu masyarakat yang sakit serta yang lebih membutuhkan, adalah suatu pandangan yang keliru. Pada faktanya, kenaikan premi BPJS Kesehatan bukan solusi signifikan bagi kesehatan rakyat, sebaliknya jadi alat penghisap darah rakyat. Alih-alih mensejahterakan, malah semakin menyengsarakan. BPJS sejak awal dibentuk memiliki prinsip bathil, dimana pembiayaannya berbasis industri kapitalisme asuransi kesehatan. Sehingga pelayanan kesehatan tunduk pada hasrat bisnis kapitalisme bukan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat.
Baca tulisan sebelumnya:
BPJS Naik Selangit, Rakyat Tersakiti (1)
Inilah hasil bila kesehatan dikelola dalam bingkai Kapitalisme. Pelayanan kesehatan yang merupakan kewajiban negara pun dikomersialisasi. Untung dan rugi jadi patokan. Tidak masalah bila harus memalak rakyat dengan angka selangit. Negara bukan lagi pelayan bagi rakyat. Tapi korporasi besar yang menyediakan pelayanan kesehatan dengan harga mahal. Ujung-ujungnya kembali rakyat menelan pil pahit yang membuat tangis.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan dasar rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat. Pemimpin negara Islam (Khalifah) memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan. Dalam Islam, kesehatan merupakan salah satu bidang di bawah divisi pelayanan masyarakat (Mashalih an-Nas). Pembiayaan rumah sakit seluruhnya ditanggung oleh negara.
Negara Islam (Khilafah) tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS. Lembaga asuransi yang bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Hal ini, karena Islam melarang negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.
Pada pelayanan kesehatan setidaknya ada tiga aspek paradigma Islam yang menonjol. Pertama, kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
"Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari)
Kedua, kehadiran negara sebagai pihak yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan pelayanan kesehatan publik. Gratis berkualitas terbaik. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw menegaskan,
"Imam yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Ketiga, pembiayaan kesehatan berbasis baitul maal lagi bersifat mutlak. Baitul maal sebagai lembaga keuangan negara memiliki sumber-sumber pemasukan berlandaskan ketentuan yang ditetap Allah Subhanahu wa ta’ala. Termaktub dalam Alquran maupun As Sunnah dan apa yang ditunjukan oleh keduanya berupa ijma’ shahabat dan qiyas.
Agar kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan terpenuhi, negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H).
Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama pasien tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Negara juga tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir.
Sejarah mencatat, Khilafah telah banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien muslim dan chapel untuk pasien non-muslim. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari rumah sakit setidaknya melayani 4.000 pasien.
Seluruh pembiayaan yang gratis ini dananya diambil dari baitulmal yakni,
Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb.
Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Demikianlah, perbandingan layanan kesehatan dalam sistem kapitalis-sekuler-liberal yang berbiaya mahal juga telah nyata menyengsarakan rakyat dengan era khilafah yang begitu bagus kualitasnya, gratis dan mensejahterakan rakyat. Hanya Khilafahlah solusi efektif mengatasi polemik BPJS Kesehatan. Dulu dan sekarang. Tidak ada solusi yang terbaik dan layak selain solusi Allah Sang Pencipta yang diterapkan khalifah untuk mengatur urusan umat.
Yakinlah, menapaki jalan Allah tidak mungkin akan menjerumuskan manusia pada kesengsaraan. Allah SWT sudah menurunkan aturan yang lengkap bagi manusia untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, pun yang menyangkut masalah kesehatan publik.
Dari sini, maka sudah saatnya bagi kita kembali kepada aturan Allah SWT dan mencampakkan aturan Demokrasi-Kapitalisme-Sekuler. Karena, selama sistem Kapitalisme tegak di atas bumi ini, jangan harap rakyat akan merasakan jaminan kesehatan berkualitas dan murah bahkan gratis.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab
Ditulis Oleh : Reni Rosmawati
Member Akademi Menulis Kreatif
Mitra Rakyat.com
Memandang kenaikan BPJS sebagai cara kolaborasi pemerintah dan rakyat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima atau mengatakan kenaikan BPJS kesehatan sebagai upaya masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan lebih, membantu masyarakat yang sakit serta yang lebih membutuhkan, adalah suatu pandangan yang keliru. Pada faktanya, kenaikan premi BPJS Kesehatan bukan solusi signifikan bagi kesehatan rakyat, sebaliknya jadi alat penghisap darah rakyat. Alih-alih mensejahterakan, malah semakin menyengsarakan. BPJS sejak awal dibentuk memiliki prinsip bathil, dimana pembiayaannya berbasis industri kapitalisme asuransi kesehatan. Sehingga pelayanan kesehatan tunduk pada hasrat bisnis kapitalisme bukan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat.
Baca tulisan sebelumnya:
BPJS Naik Selangit, Rakyat Tersakiti (1)
Inilah hasil bila kesehatan dikelola dalam bingkai Kapitalisme. Pelayanan kesehatan yang merupakan kewajiban negara pun dikomersialisasi. Untung dan rugi jadi patokan. Tidak masalah bila harus memalak rakyat dengan angka selangit. Negara bukan lagi pelayan bagi rakyat. Tapi korporasi besar yang menyediakan pelayanan kesehatan dengan harga mahal. Ujung-ujungnya kembali rakyat menelan pil pahit yang membuat tangis.
Berbeda dengan Islam, Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan dasar rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat. Pemimpin negara Islam (Khalifah) memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan. Dalam Islam, kesehatan merupakan salah satu bidang di bawah divisi pelayanan masyarakat (Mashalih an-Nas). Pembiayaan rumah sakit seluruhnya ditanggung oleh negara.
Negara Islam (Khilafah) tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS. Lembaga asuransi yang bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Hal ini, karena Islam melarang negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.
Pada pelayanan kesehatan setidaknya ada tiga aspek paradigma Islam yang menonjol. Pertama, kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersialkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda ;
"Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari)
Kedua, kehadiran negara sebagai pihak yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan pelayanan kesehatan publik. Gratis berkualitas terbaik. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw menegaskan,
"Imam yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Ketiga, pembiayaan kesehatan berbasis baitul maal lagi bersifat mutlak. Baitul maal sebagai lembaga keuangan negara memiliki sumber-sumber pemasukan berlandaskan ketentuan yang ditetap Allah Subhanahu wa ta’ala. Termaktub dalam Alquran maupun As Sunnah dan apa yang ditunjukan oleh keduanya berupa ijma’ shahabat dan qiyas.
Agar kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan terpenuhi, negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H).
Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama pasien tanpa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Negara juga tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir.
Sejarah mencatat, Khilafah telah banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien muslim dan chapel untuk pasien non-muslim. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari rumah sakit setidaknya melayani 4.000 pasien.
Seluruh pembiayaan yang gratis ini dananya diambil dari baitulmal yakni,
Pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat, dsb.
Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang, dsb. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.
Demikianlah, perbandingan layanan kesehatan dalam sistem kapitalis-sekuler-liberal yang berbiaya mahal juga telah nyata menyengsarakan rakyat dengan era khilafah yang begitu bagus kualitasnya, gratis dan mensejahterakan rakyat. Hanya Khilafahlah solusi efektif mengatasi polemik BPJS Kesehatan. Dulu dan sekarang. Tidak ada solusi yang terbaik dan layak selain solusi Allah Sang Pencipta yang diterapkan khalifah untuk mengatur urusan umat.
Yakinlah, menapaki jalan Allah tidak mungkin akan menjerumuskan manusia pada kesengsaraan. Allah SWT sudah menurunkan aturan yang lengkap bagi manusia untuk diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, pun yang menyangkut masalah kesehatan publik.
Dari sini, maka sudah saatnya bagi kita kembali kepada aturan Allah SWT dan mencampakkan aturan Demokrasi-Kapitalisme-Sekuler. Karena, selama sistem Kapitalisme tegak di atas bumi ini, jangan harap rakyat akan merasakan jaminan kesehatan berkualitas dan murah bahkan gratis.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab