Jerat Investasi Membuai Negeri
Opini
Ditulis Oleh: Ine Wulansari
Pendidik Generasi dan Pegiat Dakwah
Mitra Rakyat.com
"Maraknya kasus kecelakaan kerja akhir-akhir ini, diperkirakan tidak terlepas dari banyaknya proyek infrastruktur yang tengah digenjot pemerintah. Dalam setiap pekerjaan sering kali kontraktor lupa menerapkan aspek budaya kontruksi dengan baik". Manila Ronald Simanjuntak (Guru Besar Manajemen Kontruksi Universitas Pelita Harapan).
Hal ini pula yang terjadi beberapa waktu lalu. sebuah kebakaran terjadi sebagai dampak dari pembangunan proyek kereta cepat. Seperti dilansir oleh WowKeren.com, sebuah kebakaran hebat terjadi di KM 130 jalan Tol Padaleunyi arah Cileunyi-Cimahi Jawa Barat. Diketahui pipa penyaluran bahan bakar minyak (BBM) jenis premium milik PT Pertamina terbakar cukup hebat dan berlangsung selama beberapa jam. Butuh ekstra keras dari seluruh pihak terkait untuk memadamkan api.
Informasi terkait yang disampaikan oleh Kepala Polisi Jawa Barat, Irjen Pol Rudy Sufahriadi beberapa saat sebelum peristiwa terjadi seorang pekerja dilaporkan menancapkan benda keras di area lokasi kejadian. Rupanya benda keras tersebut mengenai pipa penyaluran BBM dan mengakibatkan ledakan hebat pada pukul 14.00 WIB, Selasa,(22/10/2019).
Baru-baru ini diketahui jika pemilik proyek PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) diduga melakukan kesalahan prosedur pekerja sehingga membuat pipa pertamina meledak dan terbakar. Peristiwa ini pun membuat berbagai keluhan mengenai koordinasi yang dikemukakan oleh pemerintah daerah. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil buka suara, ia menilai jika insiden terbakarnya pipa pertamina tidak akan terjadi jika PT KCIC melakukan koordinasi saat pengerjaan proyek kereta cepat. Namun Ridwan Kamil tidak menyinggung masalah indikasi pelanggaran prosedur pekerjaan, karena pihak kontraktor telah meminta pendampingan dari pertamina saat melakukan penggalian di area pipa. (WowKeren.com, Selasa, 22/10/2019).
Infrastruktur memiliki peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Infrastruktur juga memiliki peran sebagai salah roda atau motor penggerak pertumbuhan ekonomi, yang mempunyai dampak secara langsung yaitu untuk meningkatkan nilai tumbuh dan menciptakan lapanganan kerja baru, sementara dampak tidak langsung yakni mendorong berkembangnya sektor lain dalam perekonomian nasional.
Infrastruktur adalah semua jenis fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat umum untuk mendukung berbagai kegiatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, baik secara fisik maupun non fisik yang dibangun oleh pemerintah maupun perorangan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam lingkup sosial dan ekonomi.
Menelisik fakta yang ada, berbagi macam proyek yang dijalankan saat ini tidak terlepas dari jalur investasi asing yang banyak menimbulkan kerugian dan dampak yang buruk di antaranya: kerusakan lingkungan, berkurangnya lahan produktif, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dan hasil usaha yang lebih banyak ke negara asalnya.
Realitasnya, investasi asing secara nyata menjadikan Indonesia bergantung kepada negara lain atau tidak berdaulat. Sekecil apapun investasi asing yang ditanamkan bisa dipastikan sudah ada nota kesepakatan yang diajukan sebagai syarat. Sehingga tekanan demi tekanan terus dialami, dan skema selanjutnya negara akan berpartner dengan para investor untuk membangun infrastruktur secara besar-besaran.
Begitulah adanya watak kapitalistik yang rakus, investor asing tidak akan pernah cukup dengan sedikit profit. Keserakahan kapitalis mendapatkan angin segar, sehingga keberadaannya semakin mengukuhkan diri tanpa hambatan berarti. Semua ini diakibatkan dari penumpukan hutang luar negeri yang tak kunjung usai, yang mengakibatkan semua beban disandarkan pada rakyat melalui berbagai macam pungutan pajak yang kian menghimpit.
Untuk itu agar negeri ini terbebas dari ketergantungan pada pihak asing, Indonesia harus keluar dari jebakan sistem kapitalistik global. Secara mendasar, kebijakan-kebijakan Indonesia semestinya tidak lagi berbasis pada kesepakatan internasional yang jelas merugikan bangsa Indonesia sendiri. Sehingga tidak mudah ditekan dan didikte oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia dapat mengulang sejarah kegemilangan perekonomian Islam dengan menerapkan syariat Islam secara holistik melalui institusi khilafah. Dalam Islam terdapat prinsip dasar khilafah dalam bekerjasama dengan negara lain dengan tidak memberikan jalan masuk pada pihak asing untuk menguasai kaum muslimin dan menjaga kaum muslimin serta kekayaan alam untuk kemaslahatan umat. Khilafah akan menerapkan hukum-hukum syariat Islam untuk membangun kemandirian ekonominya. khilafah tidak hanya akan mengutamakan kemampuannya sendiri dalam mengatasi persoalan ekonomi, akan tetapi tidak akan pernah melakukan kerjasama dengan negara-negara kafir Harbi Fi'lan yang tentunya akan membahayakan eksistensinya.
Adapun hukum syariat Islam untuk membangun kemandirian ekonomi dalam daulah khilafah diantaranya adalah: pertama, mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sesuai syariat Islam. Hanya negara yang berhak mengelola daya alam yang menjadi milik umum.
"Dari Abyadh bin Hamal, ia datang kepada Rasulullah Saw meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah Saw pun menarik kembali tambang itu darinya'. "(HR Abu Dawud).
Dalam hadist ini Rasulullah Saw meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau mengetahui bahwa tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa sebab disyariahkannya suatu hukum larangan tambang garam itu dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang tak terbatas.
Cangkupannya besifat umum, meliputi semua barang tambang, seperti tambang minyak, gas, tembaga dan emas, dan sebagainya. Kedua, menghentikan utang luar negeri, baik utang dari lembaga keuangan internasional maupun utang dari negara lain.
Ketiga, menghentikan investasi asing yang bertentangan dengan syariah. Misalnya, investasi asing pada sektor-sektor milik umum.
Keempat,menghentikan segala bentuk hubungan dengan negara-negara kafir yang sedang memerangi umat Islam. Seperti adanya hubungan diplomatik, hubungan budaya, dan hubungan dagang.
Kelima, menghentikan keanggotaan dalam PBB, termasuk lembaga-lembaga Internasional di bawah PBB seperti IMF dan Bank Dunia.
Keenam, menghentikan keanggotaan dalam blok-blok perdagangan kapitalis, yang terbukti mendatangkan bahaya bagi umat Islam seperti mendominasi perekonomian dalam negeri dan menerapkan peraturan perdagangan yang bertentangan dengan syariah Islam.
Ketujuh, membangun ketahanan pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan bagi negeri sendiri melalui peningkatan produksi pangan dan impor bahan pangan. Kedelapan, mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham).
Penggunaan dinar dan dirham dalam perdagangan internasional akan memberikan kemandirian ekonomi yang sangat kuat. Kesembilan, menghapus seluruh lembaga-lembaga kapitalis, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, perseroan terbatas (PT), dan sebagainya. Karena lembaga-lembaga tersebut telah menjadikan instrumen dominasi yang dimanfaatkan oleh kekuatan kapitalisme global untuk melakukan penjajahan ekonomi atas umat Islam.
Maka sudah jelas, satu-satunya sistem yang mampu menjamin adanya kemandirian ekonomi dengan menerapkan syariat Islam secara sempurna di tengah kehidupan yang akan membuahkan rahmat dan kebaikan untuk semua manusia. Tentu karena Islam dan syariatnya diturunkan sebagai rahmat untuk semesta alam yang akan membukakan pintu kebaikan serta keberkahan dari langit dan bumi.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya".(TQS al-a'raf: 96).
Wallahu a'lam bish shawab