Deradikalisasi "Menyerang Ajaran Islam, Membungkam Sikap Kritis"
Opini
Ditulis Oleh : Khansa Mubshiratun Nisa
(Ummu Wa Rabbatul Bayt, Aktivis Da'wah Ideologis)
Mitra Rakyat.com
Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya. Selain itu, jika melihat lima menteri lainnya seperti Tito Karnavian menjabat Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Prabowo Subianto menjabat Menteri Pertahanan, kelima formasi menteri itu terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia (tirto.id).
Berkat bantuan media, radikalisme disematkan bagi kaum Muslimin yang terlihat berpenampilan secara Islami seperti memakai celana cingkrang, cadar, kerudung panjang dan berpakaian syar’i. Umat Islam yang teguh menjalankan dan menerapkan Islam secara kaffah, lantang menyuarakan syariah dan khilafah, bangga mengibarkan bendera tauhid, bahkan menurut Profesor Mahfud MD, anak kelas 5 SD yang sudah tahu bahwa laki-laki dan perempuan itu bukan muhrim (seharusnya mahram) dianggap sudah terpapar radikalisme.
Menurut Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Malik as Saleh, Aceh, mengatakan," ada ketakutan yang luar biasa dari negara terhadap radikalisme dan terorisme. Namun ketakutan itu rentan dimanfaatkan pemerintah untuk membungkam lawan politik dengan tudingan radikal, ekstremis dan teroris tanpa tolak ukur yang jelas (tirto.id).
Benar saja, saat ini mengkritik dan mengingatkan pemimpin atas kezaliman yang dilakukannya dianggap sikap radikal yang harus diberantas. Padahal Islam dengan syari’atkan mewajibkan kaum Muslim untuk mengingatkan penguasa jika melakukan kezaliman. Rasulullah Saw bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (HR Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadits Rasulullah Saw di atas sepertinya tak lagi dipahami secara mendalam oleh kaum muslimin dalam rangka muhasabah lil hukkam. Perjuangan menegakkan Islam dan syariahnya terus dihadang; umat Islam dibuat ciut nyalinya dengan stigma negatif tiada henti, terlebih kabinet jilid II yang dibentuk pemerintah sebagai kabinet 'perang' melawan radikalisme. Apakah umat Islam akan mundur?.
Narasi radikalisme kerap digunakan untuk membungkam sikap kritis rakyat kepada penguasanya. Jika benar radikalisme itu berbahaya dan mengancam negeri, lalu bagaimana dengan kapitalisme, liberalisme, dan separatisme yang sudah nyata membuat negeri ini porak poranda? Pertanyaan ini tak pernah dijawab sendiri oleh pemerintah. Radikalisme pada akhirnya seperti pendahulunya, terorisme.
Sebuah isu yang siap digoreng kapan pun dibutuhkan. Ini merupakan senjata ampuh untuk menyerang dan melumpuhkan serta menjauhkan ajaran Islam yang mulia di tengah kaum muslimin.
Sejatinya, radikal itu memiliki makna netral dan tidak negatif. Berasal dari kata radix yang artinya akar, mendasar pada prinsip. Jika radikal ini digabungkan dengan isme sehingga menjadi radikalisme, maka sudah berbeda makna.
Menurut KBBI, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.
Merujuk pada definisinya, Islam itu radikal tapi bukan radikalisme. Sebab Islam terdiri atas aqidah dan syariah. Aqidah Islam mampu menjawab tiga pertanyaan mendasar manusia tentang kehidupan, yaitu : “Dari mana kita berasal? Untuk apa kita diciptakan? Dan akan kemana setelah kita mati?” Dimana jawaban dari pertanyaan mendasar tersebut adalah kita berasal dari Allah, diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan setelah kehidupan ini akan kembali kepada Allah.
Setelah isu terorisme yang mereka buat ternyata gagal menggiring opini bahwa syariat Islam itu menakutkan, kini muncullah isu radikalisme dengan tujuan yang sama. Radikalisme hanyalah kedok Barat untuk menyerang Islam. Sebab, jika syariat Islam diterapkan, ideologi kapitalisme akan tergusur dari arena peradaban manusia dan dunia.
Dengan demikian tidak ada sikap lain menghadang propaganda negatif yang semakin massif kecuali melawan skenario radikalisme ini.
Umat Islam harus bangkit dan bersatu melawan seruan negatif menentang ajaran Allah dan RasulNya. Tak lelah berdoa kepada Sang Khalik, Allah SWT; memohon keistiqamahan serta kesabaran melawan segala tindak busuk nan culas dari kaum kuffar Barat dan Timur yang terus memfitnah Islam dan pemeluknya. Luruskan niat lilLah, tanpa sedikit pun menyurutkan langkah perjuangan demi tegaknya Islam secara kaffah di tengah umat manusia. Semua itu semata-mata demi kemenangan agama Allah, Islam dan umatnya.
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Ditulis Oleh : Khansa Mubshiratun Nisa
(Ummu Wa Rabbatul Bayt, Aktivis Da'wah Ideologis)
Mitra Rakyat.com
Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya. Selain itu, jika melihat lima menteri lainnya seperti Tito Karnavian menjabat Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Prabowo Subianto menjabat Menteri Pertahanan, kelima formasi menteri itu terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia (tirto.id).
Berkat bantuan media, radikalisme disematkan bagi kaum Muslimin yang terlihat berpenampilan secara Islami seperti memakai celana cingkrang, cadar, kerudung panjang dan berpakaian syar’i. Umat Islam yang teguh menjalankan dan menerapkan Islam secara kaffah, lantang menyuarakan syariah dan khilafah, bangga mengibarkan bendera tauhid, bahkan menurut Profesor Mahfud MD, anak kelas 5 SD yang sudah tahu bahwa laki-laki dan perempuan itu bukan muhrim (seharusnya mahram) dianggap sudah terpapar radikalisme.
Menurut Al Chaidar, pengamat terorisme dari Universitas Malik as Saleh, Aceh, mengatakan," ada ketakutan yang luar biasa dari negara terhadap radikalisme dan terorisme. Namun ketakutan itu rentan dimanfaatkan pemerintah untuk membungkam lawan politik dengan tudingan radikal, ekstremis dan teroris tanpa tolak ukur yang jelas (tirto.id).
Benar saja, saat ini mengkritik dan mengingatkan pemimpin atas kezaliman yang dilakukannya dianggap sikap radikal yang harus diberantas. Padahal Islam dengan syari’atkan mewajibkan kaum Muslim untuk mengingatkan penguasa jika melakukan kezaliman. Rasulullah Saw bersabda:
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (HR Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadits Rasulullah Saw di atas sepertinya tak lagi dipahami secara mendalam oleh kaum muslimin dalam rangka muhasabah lil hukkam. Perjuangan menegakkan Islam dan syariahnya terus dihadang; umat Islam dibuat ciut nyalinya dengan stigma negatif tiada henti, terlebih kabinet jilid II yang dibentuk pemerintah sebagai kabinet 'perang' melawan radikalisme. Apakah umat Islam akan mundur?.
Narasi radikalisme kerap digunakan untuk membungkam sikap kritis rakyat kepada penguasanya. Jika benar radikalisme itu berbahaya dan mengancam negeri, lalu bagaimana dengan kapitalisme, liberalisme, dan separatisme yang sudah nyata membuat negeri ini porak poranda? Pertanyaan ini tak pernah dijawab sendiri oleh pemerintah. Radikalisme pada akhirnya seperti pendahulunya, terorisme.
Sebuah isu yang siap digoreng kapan pun dibutuhkan. Ini merupakan senjata ampuh untuk menyerang dan melumpuhkan serta menjauhkan ajaran Islam yang mulia di tengah kaum muslimin.
Sejatinya, radikal itu memiliki makna netral dan tidak negatif. Berasal dari kata radix yang artinya akar, mendasar pada prinsip. Jika radikal ini digabungkan dengan isme sehingga menjadi radikalisme, maka sudah berbeda makna.
Menurut KBBI, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.
Merujuk pada definisinya, Islam itu radikal tapi bukan radikalisme. Sebab Islam terdiri atas aqidah dan syariah. Aqidah Islam mampu menjawab tiga pertanyaan mendasar manusia tentang kehidupan, yaitu : “Dari mana kita berasal? Untuk apa kita diciptakan? Dan akan kemana setelah kita mati?” Dimana jawaban dari pertanyaan mendasar tersebut adalah kita berasal dari Allah, diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan setelah kehidupan ini akan kembali kepada Allah.
Setelah isu terorisme yang mereka buat ternyata gagal menggiring opini bahwa syariat Islam itu menakutkan, kini muncullah isu radikalisme dengan tujuan yang sama. Radikalisme hanyalah kedok Barat untuk menyerang Islam. Sebab, jika syariat Islam diterapkan, ideologi kapitalisme akan tergusur dari arena peradaban manusia dan dunia.
Dengan demikian tidak ada sikap lain menghadang propaganda negatif yang semakin massif kecuali melawan skenario radikalisme ini.
Umat Islam harus bangkit dan bersatu melawan seruan negatif menentang ajaran Allah dan RasulNya. Tak lelah berdoa kepada Sang Khalik, Allah SWT; memohon keistiqamahan serta kesabaran melawan segala tindak busuk nan culas dari kaum kuffar Barat dan Timur yang terus memfitnah Islam dan pemeluknya. Luruskan niat lilLah, tanpa sedikit pun menyurutkan langkah perjuangan demi tegaknya Islam secara kaffah di tengah umat manusia. Semua itu semata-mata demi kemenangan agama Allah, Islam dan umatnya.
Wallahu a'lam bi ash shawab.