Opini
Mitra Rakyat.com (Bandung)
Akhir-akhir ini isu Khilafah makin naik. Isu ini ramai diperbincangkan di berbagai media massa. Para pembenci ide ini menganggap Khilafah adalah sesuatu yang buruk, menyeramkan bak monster yang harus dijauhi dan ditakuti.
Namun, ironisnya para pembenci ide ini mengklaim dirinya sebagai Muslim. Inilah realita kondisi Islam dan umat Islam saat ini. Umat Islam tidak mengenal dan paham apa itu Khilafah.
Sementara propaganda buruk terhadap Khilafah semakin gencar dilakukan. Akibatnya, alih-alih melakukan propaganda balik, umat Islam justru larut dalam permainan propaganda yang diperankan musuh-musuh Islam (Barat).
Banyak orang Islam, misalnya, percaya bahwa Khilafah sebagai sistem pemerintahan 'zaman batu' yang diktator, penuh konflik dan berdarah-darah. Sebaliknya sistem pemerintahan demokrasi saat ini dianggap ideal, maju dan jauh dari diktatorianisme.
Syariah pun dipropagandakan hanya membawa masalah dan memecah belah. Sebaliknya, sekulerisme dianggap sebagai harga mati dan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Tak ada perlawanan, apalagi sampai tindakan mengungkap segala kebusukan dan kejahatan musuh-musuh Islam dengan Ideologi Kapitalisme globalnya yang justeru secara kasat mata telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan yang luar biasa.
Tudingan Khilafah sebagai sistem diktator karena adanya anggapan bahwa Khilafah sama dengan negara theokrasi adalah sebuah tudingan yang keliru.
Karena, yang disebut sistem kediktatoran adalah apabila hukum yang berlaku di suatu negara bersumber dari satu atau sekelompok orang tertentu saja, dimana hukum akan tunduk kepada kepentingan sekelompok elit pembuatnya.
Yang akibatnya, rakyat secara mayoritas akan tertindas. Contohnya adalah sistem kerajaan/monarchi.
Dan sistem yang sangat diktator adalah hukum yang berlaku di suatu negara bersumber pada seorang raja yang berkolusi dengan pendeta.
Pendeta mengatasnamakan wakil Tuhan di dunia. Dan menyatakan bahwa hukum yang dibuatnya tidak mungkin salah, karena berasal dari Tuhan. Menentang hukum berarti berdosa dan mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Karenanya, rakyat sangat menderita dan tertindas. Contoh dari sistem ini adalah theokrasi. Beratus-ratus lamanya rakyat Eropa hidup di zaman theokrasi. Kehidupannya menderita dan sengsara.
Yang akhirnya mendorong kaum intelektual untuk bangkit. Mereka mengkritisi doktrin-doktrin gereja. Dan mempengaruhi dan mengajak masyarakat untuk melawan. Dan lahirlah revolusi Perancis. Agama dan Tuhan dimusnahkan.
Melawan rezim raja dan pendeta, yang puncaknya, rezim theokrasi berhasil ditumbangkan. Namun, antara pihak pengikut gereja dan intelektual ini sama-sama kuat. Solusi yg ditempuh adalah kompromi. Yang dikenal dengan sekulerisme yakni paham yang memisahkan antara agama dan negara. Artinya, Tuhan masih diakui keberadaannya namun hanya di gereja saja.
Sementara untuk urusan negara, manusia yg memiliki peran sepenuhnya untuk mengatur, tidak boleh ada campur tangan dari Tuhan atau agama.
Agar penindasan dan kesengsaraan tidak menimpa rakyat lagi, maka aturan dan hukum harus muncul dari kehendak rakyat itu sendiri. Dengan semboyan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang dinamakan paham demokrasi.
Namun pada prakteknya, demokrasi pun telah gagal. Kedaulatan rakyat hanyalah utopis, hanya mimpi, hanya angan-angan kosong. Nama rakyat hanya 'dipinjam' pada saat pencoblosan, setelah itu rakyat ditinggalkan.
Demokrasi nyata telah cacat dari sejak lahirnya. Karena, tak mungkin kepentingan dan kehendak rakyat secara mayoritas itu dapat diakomodasi dan dipenuhi. Contoh saja, untuk mengatasi bahaya pornografi, wakil rakyat perlu bersidang selama lebih dari 6 tahun hanya untuk mencari kata sepakat, apa makna dari pornografi itu sendiri.
Berbeda halnya dengan sistem Khilafah. Sistem Khilafah mampu mewujudkan kebahagiaan yang hakiki bagi seluruh rakyatnya. Karena, didalam sistem Khilafah memuat sistem politik Islam yang dilandasi oleh 4 pilar utama.
Pilar pertama dan kedua dimulai adanya pemisahan yang tegas antara kedaulatan dan kekuasaan. Pilar pertama, kedaulatan berada di tangan Syara'. Maknanya segala aturan dan hukum harus bersumber dari Allah SWT, yaitu melalui Al Qur'an dan Sunnah RasulNya.
Karena, Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan manusia beserta seluruh alam semesta ini, dan Dialah yang paling tau hakikat penciptaan-Nya, tidak memiliki kepentingan sama sekali kepada makhluq-Nya, dan yang paling tau apa yang adil untuk makhluq-Nya, tidak mendzalimi manusia.
Pilar kedua, kekuasaan di tangan umat. Memiliki makna bahwa yang berhak untuk menjadi penguasa atas seluruh rakyat itu dikembalikan kepada pilihan rakyat sendiri. Rakyat yang berhak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya baik langsung atau sistem perwakilan.
Juga seluruh rakyat yang telah memiliki ketentuan syarat dan rukunnya, memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Berhak memiliki mimpi untuk menjadi pemimpin. Artinya, tidak ada sistem putra mahkota di dalam Islam.
Pilar ketiga adalah kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan tunggal.
Pilar keempat bahwa pemimpinlah yang berhak menetapkan (tabanni) hukum.
Arti dari pilar ketiga dan keempat ini adalah di dalam Islam tidak mengenal pembagian kekuasaan sebagaimana trias politika (legislatif, eksekutif, yudikatif) di dalam sistem demokrasi. Sehingga, pemimpin Islam itu hanya satu dan dia pula lah yang bertanggungjawab untuk menetapkan hukum sekaligus yang akan melaksanakannya dan menjadi penegak hukumnya.
Kepemimpinan tunggal dalam sistem Khilafah ini tidak mengarah kepada kediktatoran sebagaimana yang ditudingkan.
Karena kediktatoran itu hanya akan terjadi jika kekuasaan dan kedaulatan itu menyatu di satu orang atau sekelompok elit minoritas tertentu saja.
Dimana hukum yang membuat dirinya, kemudian dirinya pula yang melaksanakannya.
Dari sini jelas, bahwa dalam Islam, adanya pemisahan kedaulatan dan kekuasaan, sehingga tidak akan memunculkan kediktatoran.
Hal ini bisa dianalogikan dalam sholat berjamaah. Ada seorang imam yang diikuti oleh banyak orang yang menjadi makmum. Apapun perintah dan gerakan imamnya akan diikuti oleh makmum, tanpa ada yang membantah. Jika imam takbir, semua makmum takbir. Jika imam ruku, semua makmum ruku, jika sujud, semua sujud dan seterusnya.
Semua makmum disini bersikap 'kami mendengar, dan kami ta'ati'. Apakah imamnya diktator? Tentulah tidak. Sebab, gerakan imamnya yg garuk-garuk, batuk, makmum tak akan mengikuti. Disini artinya, imam tidak bisa dikatakan diktator, sebab yang dia perintahkan bukan kehendaknya sendiri, melainkan perintah dari Allah SWT.
Dan posisi makmum pun tidak bisa dikatakan pihak yang nurut-nurut saja pada perintah imamnya. Sebab, jika imamnya salah, makmum akan membetulkannya. Bahkan jika imam batal,.maka imam harus segera lengser dan harus segera digantikan oleh salah seorang makmumnya. Inilah gambaran sistem Khilafah Islam yang dapat diibaratkan seperti kehidupan sholat berjamaah.
Lalu tudingan sistem Khilafah adalah sistem diktator terletak pada sisi yang mananya? Justru Khilafah telah terbukti mampu mewujudkan kehidupan yang berkeadilan selama beratus-ratus abad lamanya.
Hal ini diakui oleh dunia sebagaimana yang diungkapkan oleh Will Durant dalam The Story of Civilization, yang singkatnya mengemukakan bahwa Khilafah telah memberikan jaminan keamanan dunia, menyatukan umat manusia, menciptakan kemajuan ekonomi dan menjamin kesehatan masyarakat.
Masihkan umat ini akan bertahan membenarkan propaganda-propaganda yang dilontarkan oleh Barat? Mereka membuat propaganda busuk, tapi sisi lain mereka pun tak bisa mengelak fakta akan keagungan Khilafah di masa lalunya. Wahai umat Islam janganlah memposisikan diri sebagai pihak tertuduh sehingga berusaha membela diri secara keliru. Niscaya, musuh-musuh Islam itu tidak akan pernah berhenti membalik nilai, yang haq menjadi batil, yang batil menjadi haq.
Mari kita wujudkan Islam sebagai agama yang mengajarkan kemuliaan. Sebagai cahaya hidayah yang tersebar di tengah-tengah umat manusia dan menjadi rahmat bagi seluruh alam dalam naungan sistem Khilafah Islam berdasar pada manhaj kenabian.
Wallahu'alam bish showwab.
Penulis: Zidni Saadah
Ibu rumah tangga
Bandung