Penulis Artikel: Vanessa Syahri Yelsi
Program Studi S1 Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (Fisip Unand)
Email:vanessa.syahriyelsi@gmail.com
Latar Belakang
Desentralisasi di Indonesia telah menjadi suatu fenomena yang signifikan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Konsep ini muncul sebagai respons terhadap tantangan kompleks dalam mengelola keragaman geografis, sosial, dan budaya yang ada di seluruh nusantara.
Dengan kata lain, desentralisasi dirancang untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengambil keputusan dan mengelola sumber daya secara lebih otonom. Salah satu poin kunci dalam desentralisasi Indonesia adalah pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola kebijakan di berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perekonomian.
Pemberian kewenangan ini sejalan dengan semangat otonomi daerah yang bertujuan untuk memberikan ruang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam menentukan arah pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal.
Namun, perjalanan desentralisasi tidak selalu berjalan mulus. Beberapa tantangan muncul seiring dengan implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia. Salah satunya adalah disparitas antarwilayah dalam kapasitas administratif dan sumber daya manusia. Beberapa daerah mungkin menghadapi kesulitan dalam mengelola kewenangan yang baru diberikan, sementara daerah lain mungkin mampu tumbuh dan berkembang lebih cepat.
Dalam hal ini, suatu daerah mungkin memerlukan bantuan lebih lanjut untuk mengoptimalkan kewenangan yang diberikan, sementara daerah lain mungkin mampu mengelolanya dengan lebih efisien. Selain itu, isu-isu terkait korupsi dan praktek-praktek nepotisme di beberapa daerah menjadi masalah serius yang harus diatasi.
Dengan berlangsungnya proses desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan dinamika politik ditingkat nasional dan lokal. Reformasi yang terjadi membawa Indonesia ke dalam sebuah era baru, di mana terjadi pergeseran besar-besaran kekuasaan dari pusat menuju pemerintahan daerah. Desentralisasi ini bukan hanya sekadar perubahan struktural, melainkan juga melibatkan berbagai aktor politik yang memiliki peran dan kepentingan masing-masing.
Penting untuk dicatat bahwa dampak desentralisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah daerah, tetapi juga oleh aktor politik lainnya seperti politik lokal, organisasi Non-pemerintah, dan elit lokal.
Awal kemerdekaan Indonesia ditandai oleh minimnya perhatian terhadap politik lokal karena pada masa tersebut pemerintahan cenderung bersifat sentralistis dan fokus pada dinamika politik nasional serta perjuangan untuk mencapai kesatuan yang kuat. Kondisi ini semakin diperparah oleh dominasi pemerintah pusat pada era Orde Baru, di mana otoritas pusat menjadi sangat kuat sementara pemerintahan daerah melemah.
Namun, setelah terjadinya Reformasi pada tahun 1998, terjadi pergeseran paradigma dalam dinamika politik daerah. Era baru ini memungkinkan munculnya aktor-aktor baru, institusi-institusi lokal, dan keberagaman budaya untuk kembali mendapatkan peran yang signifikan dalam politik lokal.
Fenomena ini mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam melalui penelitian yang diuraikan dalam buku “Politik Lokal di Indonesia” karya Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken pada tahun 2007.
Menurut Nordholt dan Klinken, pelaksanaan desentralisasi yang dianggap terburu-buru ini dipicu oleh kurangnya perhatian pusat terhadap keragaman penduduk, budaya, bahasa, dan sejarah Indonesia. Akibatnya, politik lokal yang menerapkan otonomi daerah seringkali menghadapi berbagai tantangan kompleks seperti praktik klientelisme, konflik antarsuku dan elit, serta tingkat korupsi yang tinggi di tingkat lokal (Nordholt dan Klinken, 2007).
Konflik politik lokal di Indonesia baik sebelum maupun setelah diberlakukannya otonomi daerah, senantiasa diarahkan untuk penyelesaiannya oleh pemerintah pusat. Beberapa dari konflik tersebut berujung pada kemenangan salah satu pihak, sementara yang lainnya mencapai kesepakatan damai antarpihak. Terdapat berbagai latar belakang yang mempengaruhi dinamika konflik politik lokal ini, di mana sebagian berakhir dengan kekalahan suatu pihak, sementara beberapa lainnya menghasilkan solusi yang kooperatif.
Isi dan Pembahasan
Tulisan ini menggunakan pendekatan teori permainan (Game Theory) dalam menganalisis situasi konflik politik lokal yang menghasilkan kemenangan bagi semua pihak atau kekalahan salah satu pihak. Menurut Hendri (2009), teori permainan adalah ilmu pengetahuan berupa teori matematis yang digunakan untuk menentukan, merumuskan, dan mempelajari situasi konflik atau kompetisi yang melibatkan dua atau lebih pihak guna mendapatkan suatu keputusan yang optimal bagi setiap pihak.
Berbeda dengan definisi sebelumnya, Mustaqim (2013:18) menyatakan bahwa teori permainan adalah suatu metode sistematis yang digunakan untuk merinci situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Pendekatan ini memberikan pemahaman yang mendalam dalam menganalisis proses pengambilan keputusan yang melibatkan dua atau lebih kepentingan dalam berbagai situasi persaingan.
Situasi konflik politik lokal dapat dibagi menjadi dua bentuk utama, yaitu Zero Sum Game dan Non Zero Sum Game. Secara umum, Zero Sum Game mengacu pada situasi di mana keuntungan atau kerugian total dari seluruh pemain dalam suatu permainan atau konflik adalah nol. Von Neumann dan Morgenstern (1944) mempelopori konsep ini sebagai bagian dari teori permainan mereka.
Dalam konteks teori permainan, Zero Sum Game merujuk pada situasi di mana keuntungan atau kemenangan satu pemain sebanding dengan kerugian atau kekalahan pemain lainnya. Dengan kata lain, total nilai atau kekayaan dalam sistem tetap konstan, dan apa yang satu pemain menang, itulah yang hilang oleh pemain lain.
Penting untuk dicatat bahwa konsep Zero Sum Game hanya satu aspek dari teori permainan yang lebih luas, yang melibatkan analisis strategi, keputusan rasional, dan interaksi antar pemain dalam berbagai konteks.
Di sisi lain, pengertian teori Non Zero Sum Game sendiri berkaitan dengan situasi di mana hasil kemenangan atau kerugian dari para pemain tidak selalu berjumlah nol. Konsep ini kemudian berkembang sebagai bagian dari pengembangan lebih lanjut dalam teori permainan setelah karya Von Neumann dan Morgenstern.
Ahli-ahli teori permainan dan ekonomi lainnya, seperti John Nash, telah memberikan kontribusi untuk memahami dan mengembangkan konsep Non Zero Sum Game dalam literatur teori permainan modern. Dalam konteks penyelesaian konflik politik lokal, pendekatan Non Zero Sum Game menunjukkan bahwa solusi yang ditemukan dapat memberikan keuntungan bagi kedua pihak atau sebaliknya, keduanya mengalami kekalahan atau kerugian secara bersamaan.
Pendekatan ini menciptakan dinamika di mana kolaborasi dan kompromi menjadi lebih mungkin untuk mencapai penyelesaian konflik yang berkelanjutan dan saling menguntungkan.Konflik Politik Lokal Non Kooperatif (Zero Sum Game).
Salah satu kasus kongkrit yang dapat memberikan gambaran tentang bagaimana konflik politik lokal dapat berakhir dengan kemenangan salah satu pihak adalah kasus Kabupaten Mentawai di Sumatera Barat. Kasus pemekaran Mentawai menjadi ilustrasi yang memperjelas bagaimana isu etnis mampu memberikan keunggulan pada satu pihak.
Proses pemekaran ini menimbulkan ketegangan dan konflik di tingkat lokal, terutama terkait dengan isu etnis di daerah tersebut. Penyelidikan lebih lanjut terhadap dinamika politik lokal dalam kasus ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana ketidaksetaraan atau ketidakadilan etnis dapat menjadi faktor penentu dalam menentukan pihak yang keluar sebagai pemenang dalam konflik politik lokal di Indonesia.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, Mentawai telah menjadi bagian integral dari wilayah Kabupaten Padang-Pariaman. Menariknya, Mentawai bukan hanya sekadar wilayah administratif, melainkan juga merupakan kontributor utama terhadap pendapatan Kabupaten Padang-Pariaman, menyumbang sekitar tiga per empat dari total pendapatan kabupaten tersebut.
Keterkaitan ekonomi yang erat ini memperlihatkan pentingnya peran Mentawai dalam konteks keuangan daerah. Pada masa Orde Baru, sebelum diberlakukannya otonomi daerah, Mentawai menghadapi sejumlah permasalahan yang mempengaruhi dinamika sosial dan ekonomi di daerah tersebut. Beberapa permasalahan tersebut meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
Eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Padang-Pariaman yang mengambil kekayaan alam yang ada di Mentawai tetapi tidak didistribusikan secara merata. Posisi-posisi di pemerintahan seperti pegawai negeri sangat sulit dijangkau oleh masyarakat Mentawai karena adanya isu etnis dan agama bahwa Pemerintahan Kabupaten Padang-Pariaman hanya dapat diisi oleh suku Minangkabau dan beragama muslim.
Akibat dari dua permasalahan tersebut, pembangunan di Mentawai sangat minim baik sekolah, fasilitas umum, pertanian bahkan tempat ibadah. Dari berbagai permasalahan tersebut, masyarakat asli Mentawai menghadapi kondisi diskriminatif yang melibatkan pengucilan dan pemberian label negatif dari Pemerintahan Padang-Pariaman.
Meskipun demikian, masyarakat asli Mentawai tidak menerima situasi ini begitu saja dan telah memulai perjuangan untuk mempertahankan hak-hak mereka sejak tahun 1980-an. Perlawanan ini bukan hanya respons spontan, tetapi merupakan hasil pemikiran dan ketidakpuasaan dari para aktor intelektual di Mentawai yang telah mendapatkan pendidikan melalui gereja. Pada tahun 1982, gerakan ini merujuk kepada Ikatan Pemuda Pelajar Mentawai (IPPMEN), sebuah kelompok yang terdiri dari mahasiswa dan sarjana asal Mentawai yang tinggal di Padang.
Mereka memulai aksi perlawanan fisik dan gagasan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kehidupan masyarakat Mentawai. Gerakan ini dengan cepat menghasilkan masyarakat dan aktivis yang peduli terhadap isu etnis mereka, membentuk kelompok yang bersatu untuk melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang telah lama dialami oleh masyarakat asli Mentawai.
Kejatuhan rezim Orde Baru di Indonesia mengubah perjuangan isu-isu yang sebelumnya terkesan tersembunyi dan halus menjadi tuntutan keras untuk pemisahan Mentawai dari Kabupaten Padang-Pariaman. Konflik yang meletup antara kedua pihak mulai menunjukkan titik terang setelah diberlakukannya otonomi daerah, yang mengakibatkan pengakuan resmi Mentawai sebagai kabupaten yang terpisah dari Padang-Pariaman pada tahun 1999.
Berdasarkan kasus tersebut, konflik politik dan ekonomi yang terjadi antara masyrakat Mentawai dan Pemerintah Kabupaten Padang-Pariaman dapat dianalisis dengan Zero Sum Game. Pemerintah Kabupaten Padang-Pariaman “kalah” dari masyarakat Mentawai untuk tetap mempertahankan Mentawai sebagai bagian dari kabupaten tersebut.
Pihak yang kalah dalam kasus ini adalah Kabupaten Padang-Pariaman yang kehilangan daerah dengan sumber pendapatan terbesar dan kehilangan legitimasi dari masyarakat Mentawai. Sedangkan pihak yang mengalami kemenangan dalam kasus ini adalah masyarakat Mentawai dan LSM-LSM lokal Mentawai khususnya IPPMEN yang berhasil memperjuangkan otonomi daerah di Mentawai.
Beberapa “keuntungan” yang didapatkan oleh pihak yang menang tersebut antara lain: Penguasaan terhadap posisi strategis di pemerintahan seperti bupati dan DPRD. Penguasaan terhadap sumber daya alam yang dimiliki dan digunakan sepenuhnya untuk pembangunan di Mentawai.
Adanya legitimasi kekuasaan yang didapatkan oleh para intelektual Mentawai dari masyarakat karena dicap sebagai putra asli daerah.Konflik Politik Lokal Kooperatif (Non Zero Sum Game). Konflik yang muncul di tingkat lokal sebagai dampak dari penerapan otonomi daerah tidak selalu berakhir dengan skenario Zero Sum Game, di mana salah satu pihak mengalami kekalahan mutlak.
Untuk mendemonstrasikan konsep Non-Zero Sum Game, dapat diambil contoh kasus desentralisasi asimetris di Provinsi Aceh. Desentralisasi asimetris ini mencerminkan respons dari pemerintah pusat terhadap kebutuhan dan potensi yang khas serta akar permasalahan unik yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu (Widodo, 2010).
Salah satu wilayah yang menjadi penerima desentralisasi asimetris ini adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Analisis desentralisasi asimetris di Aceh mengungkap bahwa adopsi model ini tidak hanya berfokus pada pemberian kewenangan dan otonomi secara umum, melainkan juga mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual yang membedakan setiap daerah.
Dengan demikian, pendekatan ini menciptakan dinamika politik lokal yang lebih nuanced, di mana konflik tidak selalu diartikan sebagai pertarungan dengan pemenang dan pecundang, tetapi sebagai wujud perubahan sistemik yang memberikan keuntungan bersama.
Aceh sebagai satu dari beberapa daerah di Indonesia yang mendapatkan status otonomi khusus dengan alasan sejarah yang terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM, yang terbentuk pada tahun 1976, merupakan hasil dari perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia pada masa itu, dan tujuan utamanya adalah memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari wilayah NKRI.
Seiring dengan motif yang serupa dengan kasus sebelumnya, yaitu Kabupaten Mentawai, GAM muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap pembangunan nasional yang terlalu terpusat di Pulau Jawa. Selain isu pembangunan yang menjadi pemicu, GAM juga memiliki perspektif yang berbeda terkait dengan penerapan hukum Islam dalam politik.
Pandangan ini memberikan dimensi tambahan pada konflik politik di Aceh, karena GAM bukan hanya mencari kemerdekaan secara politis, tetapi juga mengusung agenda politik yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam. Oleh karena itu, konflik di Aceh tidak hanya bersifat politik, tetapi juga mencerminkan pertarungan ideologis dan kultural yang melibatkan aspek-aspek kompleks dari sejarah, pembangunan, dan interpretasi agama.
Konflik yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pendukungnya dengan Pemerintah Pusat pada masa itu merupakan konflik politik bersenjata yang melibatkan sekitar 15.000 korban jiwa hingga tahun 2005. GAM, sebagai kelompok separatis yang menuntut kemerdekaan Aceh, berhasil mengumpulkan sumber daya dari masyarakat yang pro terhadap kemerdekaan Aceh.
Selain itu, mereka mendapatkan dukungan finansial dan bantuan dari beberapa negara, termasuk Libya dan Iran. Pada tahun 1977, Aceh ditetapkan sebagai wilayah Daerah Operasi Militer, menjadikannya pusat konflik bersenjata yang kompleks. Konflik ini menjadi salah satu konflik militer terbesar yang dialami oleh Indonesia sebelum era reformasi. GAM, dengan semangat kemerdekaannya, terus berjuang di tengah ketegangan dan pertempuran, memperoleh dukungan dari sebagian besar masyarakat Aceh yang mendambakan kemerdekaan dari Indonesia.
Setelah kejatuhan rezim Orde Baru, GAM semakin menunjukkan semangat kemerdekaannya ketika status Daerah Operasi Militer di Aceh dicabut. Perubahan politik dan peristiwa sejarah ini mencerminkan dinamika konflik politik lokal yang berdampak besar terhadap Aceh dan Indonesia secara keseluruhan.
Penyelesaian konflik politik di Aceh selalu menjadi fokus Pemerintah Pusat, yang berupaya mengatasi ketegangan dengan memberikan otonomi daerah. Pada tahun 2001, langkah konkret diambil dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Aceh. Meskipun demikian, upaya tersebut mengalami penolakan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) karena dianggap tidak memenuhi aspirasi mereka.
Tahun 2003 menjadi tahun yang kritis ketika Presiden Megawati menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Konflik antara GAM dan Pemerintah Pusat semakin memanas hingga akhir tahun 2004. Saat NAD dilanda bencana alam berupa tsunami yang mengakibatkan kerusakan besar, GAM terpaksa menarik mundur pasukannya.
Pemerintah Pusat, sebagai respons terhadap tragedi tersebut, memberikan bantuan signifikan kepada Aceh yang tengah mengalami musibah. Dampak dari bencana alam tersebut membuka jalan bagi perundingan dan mediasi antara GAM dan Pemerintah Pusat, melibatkan pihak internasional.
Hasil dari perundingan tersebut adalah Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pada 27 Januari 2005. Kesepakatan ini berhasil menciptakan suasana damai dan meredam konflik antara GAM dan Pemerintah Pusat. Inisiatif penyelesaian konflik ini menunjukkan pentingnya peran pihak internasional dan bantuan kemanusiaan dalam mengatasi ketidaksepakatan politik dan merestorasi kedamaian di tingkat lokal.
Penjelasan singkat mengenai kasus tersebut menunjukkan bahwa konflik politik lokal yang muncul akibat desentralisasi dapat memiliki penyelesaian yang bersifat kooperatif, di mana kedua pihak dapat meraih keuntungan atau "kemenangan." Sebagai contoh kongkrit, kasus Aceh memberikan gambaran bagaimana konflik politik lokal dapat diselesaikan secara positif melalui resolusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam kasus ini, Pemerintah Pusat dan masyarakat Aceh berhasil mencapai kemenangan bersama dengan terwujudnya pemisahan wilayah Aceh dari NKRI, sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Konsep Non Zero Sum Game terlihat jelas dalam dinamika konflik Aceh, di mana kedua pihak yang terlibat tidak mengalami kerugian mutlak, melainkan saling mendapatkan keuntungan melalui penyelesaian konflik yang adil dan akomodatif.
Kesepakatan pemisahan tersebut mencerminkan adanya kerjasama antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh, yang pada akhirnya memberikan solusi yang memuaskan bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik politik lokal tersebut. Keuntungan yang didapatkan Pemerintah Pusat atau Indonesia secara keseluruhan yakni: Stablitas politik dan keamanan didapatkan setelah konflik berkepanjangan.
NKRI tidak kehilangan Nanggroe Aceh Darussalam sebagai wilayahnya dan memperkuat integrasi nasional.Kendati diberikan otonomi khusus, Pemerintah Pusat tetap mendapatkan kendali atas berjalannya otonomi tersebut, dan Indonesia diakui oleh dunia internasional dalam menyelesaikan konflik bersenjata.
Sedangkan keuntungan yang didapatkan masyarakat Aceh, mantan anggota GAM dan pendukungnya adalah: Otonomi Khusus sebagai bentuk desentralisasi asimetris diberikan kepada NAD untuk dapat mengurus sendiri pemerintahan sesuai dengan batasan nasional dan nilai-nilai lokal.
Demokrasi yang terus berjalan ditandai dengan adanya pemilihan umum dan mantan anggota GAM yang diasingkan tetap mendapatkan hak politiknya, dan Gencatan senjata yang dilakukan dapat mengakhiri jatuhnya korban jiwa dan pemerintah NAD dapat berfokus pada pembangunan.
Penutup
Kesimpulan tulisan ini adalah desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia pada awalnya menimbulkan berbagai permasalahan atau konflik di tingkat lokal. Konflik politik tersebut dapat berakhir dimana salah satu pihak berakhir pada kekalahan dan pihak lain mengalami kemenangan atau Zero Sum Game, sedangkan konflik lainnya berakhir pada kemenangan kedua pihak yang bertikai atau Non Zero Sum Game.
Contoh kasus Zero Sum Game adalah konflik Mentawai dengan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dimana kemenangan diperoleh oleh masyarakat Mentawai. Kasus Non Zero Sum Game pada penelitian ini adalah kasus Aceh yakni konflik GAM dengan Pemerintah Indonesia.
Penyelesaian yang berupa desentralisasi asimetris menjadi kunci penyelesaian konflik antar keduanya yang saling mendapatkan keuntungan. Saran yang dapat diberikan adalah kasus yang diangkat sebaiknya lebih banyak untuk dapat dijelaskan melalui teori Zero Sum Game dan Non Zero Sum Game.
Referensi
Kompas.com. 2022. Gerakan Aceh Merdeka: Penyebab, Kronologi Konflik, dan Kesepakatan Helsinki. Diakses Melalui https://regional.kompas.com/read/2022/03/15/141817678/gerakan-aceh-merdeka-penyebab-kronologi-konflik-dan-kesepakatan-helsinki?page=all. Pada tanggal 26 Desember 2023 pukul 14.50 WIB.
Mustaqim, K. 2013. Aplikasi Konsep Teori Permainan dalam Pengambilan Keputusan Politik: Studi Kasus Strategi Pemenangan PEMILUKADA Jawa Barat Tahun 2013 oleh Partai Politik. Doctoral dissertation: Universitas Pendidikan Indonesia.
Neumann, J.V., & Morgenstern, O. 1944. Theory of Games and Economic Behavior. New Jersey: Princeton University Press.
Noorida, T. 2000. Perumusan Stategi Bisnis dengan Pendekatan" Game Theory". Jurnal Teknik Industri, 1(1), 1-10.
Nordholt, H. S., & Klinken, G.V. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Saeri, M. 2022. Aplikasi Game Theory Dalam Studi Kasus Pelanggaran Kesepakatan Nuklir Iran Oleh Amerika Serikat. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 9(1): 1-12.
Saifuddin, A., Tastrawati, N. K. T., & Sari, K. 2018. Penerapan Konsep Teori Permainan (Game Theory) dalam Pemilihan Strategi Kampanye Politik (Studi Kasus: Strategi Pemenangan Pemilukada DKI Jakarta Tahun 2017). E-Jurnal Matematika 7(2): 173-179.
Sufianto, D. 2020. Pasang surut otonomi daerah di Indonesia. Academia Praja: Jurnal Ilmu Politik, Pemerintahan, dan Administrasi Publik, 3(2): 271-288.
Suharyo, S. 2018. Otonomi khusus di Aceh dan Papua di tengah fenomena korupsi.