DITULIS OLEH RIVALDI FADHILLAH (MAHASISWA ILMU POLITIK, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS ANDALAS)
MR.COM , PASBAR - Gerakan antikorupsi memiliki kaitan yang erat dengan Sila Kelima Pancasila, yaitu "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Sila ini menegaskan pentingnya pemerataan hak, kesempatan, dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi.
Korupsi, sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, bertentangan dengan prinsip keadilan sosial karena memperburuk ketimpangan ekonomi, merampas hak rakyat, dan menghambat akses kelompok rentan terhadap layanan publik.
Melalui gerakan antikorupsi, nilai-nilai keadilan sosial dapat diwujudkan dengan mendorong transparansi, menghapus praktik kolusi, dan memastikan bahwa sumber daya negara digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian, gerakan ini tidak hanya menjadi implementasi praktis dari sila kelima, tetapi juga upaya nyata untuk memperjuangkan visi Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Gerakan antikorupsi adalah salah satu tonggak utama dalam membangun keadilan sosial di Indonesia.
Korupsi, yang telah lama menjadi momok dalam pemerintahan dan kehidupan publik, tidak hanya berdampak pada ekonomi negara, tetapi juga merusak moralitas masyarakat, menggerus kepercayaan publik, dan memperdalam ketimpangan sosial.
Gerakan antikorupsi harus dilihat sebagai sebuah panggilan moral sekaligus politik untuk memperjuangkan perubahan yang lebih besar. Transparansi merupakan langkah fundamental dalam menciptakan keadilan sosial. Melalui transparansi, masyarakat diberikan akses untuk mengawasi penggunaan sumber daya publik.
Ketika informasi terkait anggaran, kebijakan, dan keputusan pemerintah terbuka bagi publik, pengelolaan negara tidak lagi menjadi monopoli segelintir elite, tetapi menjadi bagian dari pengawasan kolektif.
Dalam banyak kasus, praktik korupsi bertahan karena lemahnya sistem yang memungkinkan manipulasi informasi. Oleh karena itu, dorongan untuk transparansi adalah langkah strategis yang tidak hanya mencegah korupsi tetapi juga menumbuhkan budaya akuntabilitas di setiap tingkat pemerintahan. Sebagai mahasiswa, saya sering bertanya, mengapa keterbukaan informasi publik belum menjadi budaya utama di Indonesia? Jawabannya terletak pada resistensi terhadap perubahan dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh sistem yang korup.
Disinilah peran gerakan antikorupsi menjadi penting, yaitu mengadvokasi perbaikan sistem dan mendidik masyarakat tentang pentingnya transparansi untuk keberlanjutan demokrasi. Dan korupsi tidak hanya lahir dari kesempatan, tetapi juga dari mentalitas masyarakat yang permisif terhadap praktik tersebut. Disinilah pentingnya pendidikan sebagai alat utama dalam melawan korupsi.
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi berarti menciptakan generasi yang memiliki keberanian untuk berkata tidak terhadap segala bentuk penyimpangan.
Pendidikan antikorupsi tidak hanya harus dimulai sejak dini tetapi juga perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum formal dan informal. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya merasa beruntung mendapatkan wawasan tentang bagaimana korupsi dapat menghambat pembangunan dan menciptakan ketimpangan sosial. Namun, kesadaran ini belum sepenuhnya merata di masyarakat. Banyak yang masih menganggap korupsi sebagai “hal biasa” atau bahkan “biaya tambahan” dalam birokrasi.
Gerakan antikorupsi harus merespons tantangan ini dengan menciptakan program pendidikan yang membumi dan berkelanjutan. Dan sistem hukum yang kuat dan independen adalah benteng pertahanan terakhir dalam pemberantasan korupsi. Namun, fakta di lapangan sering kali menunjukkan bahwa hukum tidak selalu berpihak pada kebenaran.
Pelaku korupsi yang memiliki kekuasaan atau jaringan politik sering kali lolos dari jerat hukum, sementara rakyat kecil yang melanggar hukum kecil justru diproses dengan cepat. Ketidakadilan semacam ini memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi hukum. Gerakan antikorupsi harus mendorong reformasi sistem hukum, memastikan bahwa lembaga penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan dapat beroperasi secara independen tanpa tekanan politik.
Hanya dengan cara ini kita dapat menunjukkan bahwa hukum adalah instrumen keadilan yang berlaku untuk semua, bukan hanya alat bagi yang kuat. Dalam diskusi akademis, sering disebutkan bahwa masyarakat adalah pilar demokrasi yang paling penting.
Partisipasi aktif masyarakat dalam gerakan antikorupsi adalah bukti nyata bahwa perubahan tidak harus selalu dimulai dari atas, tetapi bisa dimulai dari bawah. Ketika masyarakat berani melaporkan kasus korupsi, menolak suap, dan mengadvokasi transparansi, maka korupsi menjadi semakin sulit untuk bertahan.
Sebagai bagian dari generasi muda, saya melihat peran ini sebagai tanggung jawab moral kita bersama. Mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum harus bekerja bahu-membahu untuk menciptakan tekanan sosial yang cukup kuat sehingga setiap bentuk korupsi dapat diberantas hingga ke akarnya.
Dalam era globalisasi, korupsi tidak lagi terbatas pada batas-batas nasional. Praktik korupsi sering kali melibatkan transaksi lintas negara, seperti aliran dana ilegal atau suap dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu, gerakan antikorupsi membutuhkan dukungan dan kerjasama internasional.
Negara-negara harus saling berbagi informasi dan pengalaman untuk menciptakan tekanan kolektif terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi lintas batas. Sebagai contoh, Indonesia dapat belajar dari negara-negara yang telah berhasil membangun sistem yang bersih dari korupsi.
Kerjasama ini tidak hanya memperkuat upaya lokal tetapi juga menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab global. Tidak ada gerakan yang berhasil tanpa kepercayaan publik. Korupsi telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi publik.
Gerakan antikorupsi harus berfokus pada pemulihan kepercayaan ini. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan bahwa pejabat publik bertindak dengan integritas, kepercayaan mereka akan kembali tumbuh.
Saya memandang kepercayaan publik sebagai kunci keberhasilan gerakan ini. Kita membutuhkan lebih banyak tokoh yang dapat menjadi teladan dalam membangun budaya antikorupsi, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Korupsi adalah salah satu penghalang utama dalam pencapaian keadilan sosial. Ia menciptakan ketimpangan, memiskinkan yang lemah, dan memperkaya yang sudah kuat.
Dengan memberantas korupsi, kita membuka jalan menuju masyarakat yang lebih adil, di mana semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesejahteraan. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, kita memikul tanggung jawab besar untuk melanjutkan perjuangan ini.
Gerakan antikorupsi bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan moral bagi mereka yang ingin melihat Indonesia yang lebih baik. Keadilan sosial tidak akan tercapai tanpa keberanian untuk melawan korupsi. Mari kita bergerak bersama demi masa depan yang lebih cerah.