MR.com, Sumbar| Lagi-lagi, sikap tidak koperatif seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah 1(KaSatker PJN Wil I), terjadi di lingkungan BPJN Sumbar. Muhammad Nasir seorang PPK 1.1 di Satker PJN Wil 1 Sumbar diduga bungkam saat dikonfirmasi media terkait kegiatan yang ada dibawah pengelolaan mereka.
Parahnya, bukan hanya PPK itu yang saja yang terkesan mengelak dari media. Masudi sebagai Kepala Satker PJN Wil 1 Sumbar pun disinyalir melakukan hal serupa. Buktinya, setiap kali media melakukan konfirmasi terkait kegiatan yang ada dibawah kewenangan Satker tersebut. Masudi selalu mengarahkan media untuk melakukan konfirmasi kepada bagian bidang Komunikasi Publik (Kompu) yang ada di Satker PJN Wil 1 saja.
Berita terkait : PT.Pasindo Terindikasi Gunakan Material Ilegal, PPK M.Nasir dan Kontraktor Belum Bisa Berikan Keterangan
Sementara konfirmasi media ini menyangkut kinerja seorang Masudi selaku orang nomor satu di Satker itu, yang seharusnya bisa dia tanggapi sendiri langsung tanpa harus melibatkan bidang kompu nya itu.
Bukan hanya Kepala Satker, dan PPK, saja yang tidak kooperatif. Mulyadi selaku kontraktor pelaksana dari PT. Pasindo Prima Kreasi pun disinyalir juga mengikuti langkah kedua pejabat publik tersebut. Faktanya, Mulyadi terkesan "bungkam" waktu dikonfirmasi media ini.
Sikap tidak kooperatif seorang Kepala Satker Masudi serta M.Nasir sebagai PPK, bersama rekanan(Mulyadi.red) itu menuai sorotan tajam publik. Ada apa dibalik sikap tidak koperatif mereka semua..?
Hal tersebut masih terkait penanganan longsor ruas jalan batas Padang Panjang-Sicincin yang dikerjakan PT. Pasindo Prima Kreasi (PPK) senilai Rp2.868.108.500,00. Publik menilai ada indikasi persekongkolan jahat didalam pelaksanaannya.
Kali ini seorang Aktivis Anti Korupsi Sumbar yang tergabung dalam Team Investigasi DPP LSM KPK Nusantara, Romi Yufenfra menduga ada indikasi perbuatan melawan hukum secara bersama-sama yang dilakukan pihak terkait.
"Kalau benar-benar pekerjaan sudah mengacu pada kaedahnya, tidak melanggar aturan pertambangan, dan bekerja sudah sesuai spesifikasi teknisnya, tidak perlu mereka yang terlibat mengelak dari konfirmasi media,"kata Romi Yufenfra, pada Selasa (19/12/2023) di Padang.
Menurut Romi, sebenarnya ini pekerjaan sederhana, mereka yang terlibat cukup membuktikan kalau material yang mereka gunakan tidak ilegal. Bukti pekerjaan dilakukan sudah sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang ada pada dokumen kontrak, ulasnya.
Sebab, kata Romi, pada pelaksanaan proyek tersebut ada hak publik yang harus diberikan dan dipertanggungjawabkan pihak terkait. Termasuk salah satunya seluruh informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek itu, tegasnya.
Karena proyek tersebut dikerjakan dengan menggunakan uang negara yang notabene uang rakyat. Jadi seharusnya mereka memberikan yang terbaik untuk rakyat, tandasnya.
Akan tetap, lanjut Romi, dengan sikap tidak koperatif mereka itu dapat memberikan isyarat kalau pekerjaan kontruksi bronjong yang dikerjakan PT.Pasindo Prima Kreasi itu diduga kuat telah terjadi korupsi secara bersama-sama.
Ada dua(2) undang-undang yang diduga sengaja mereka kangkangi , ungkap Romi. Karena mereka tidak koperatif terindikasi pihak tersebut telah mengakangi UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, tegas Romi.
Kemudian menyangkut penggunaan material Ilegal pada proyek negara. Romi Yufenfra menerangkan, penambangan galian C tanpa izin resmi merupakan tindak pidana.
Sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), ulasnya.
"Pada pasal 158 pada UU Nomor 3 Tahun 2020 disebutkan, bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin resmi bisa dipidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp100 miliar," tegas Romi.
Dan, pasal 161 menyebutkan, "Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan Pengolahan dan atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.00,00 (seratus miliar rupiah)," demikian Romi menguraikannya.
Masyarakat berharap kepada Polda Sumbar sebagai penegakan hukum untuk menindak oknum yang terlibat dalam penggunaan material Ilegal diproyek negara itu, pungkasnya.
Hingga berita ditayangkan, KaSatker PJN Wil I Masudi, PPK M.Nasir dan Kontraktor Pelaksana Mulyadi belum bisa memberikan penjelasannya.
Media masih upaya konfirmasi pihak-pihak terkait lainya serta mengumpulkan data-data sampai berita ini ditayangkan.(tim/cr)