Opini
Oleh: Andi Annisa Nur Dzakiyyah, S.Pd
(Aktivis dakwah, praktisi pendidikan)
MR.com| “Naik-naik BBM naik. Tinggi- tinggi sekali.” Demikianlah penggalan lagu yang sering dinyanyikan oleh rakyat atau para demonstran ketika mengetahui harga BBM naik.
Betapa tidak, Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak ( BBM ) subsidi dan non subsid, seperti harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Harga Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Harga Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Menyikapi hal ini, Aksi penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak atau BBM menjadi hal yang tak terelakkan. Berbagai elemen masyarakat, baik mahasiswa maupun organisasi lain menggelar demonstrasi mengecam naiknya BBM.
Para mahasiswa menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM bersubsidi sebab kenaikan tersebut akan menjadi beban masyarakat kecil yang saat ini tengah berupaya mengembalikan roda perekonomian.
Alasan dinaikkannya harga BBM bersubsidi adalah disebabkan oleh tidak tepat sasarannya subsidi BBM seperti yang telah disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Subsidi untuk solar yang beredar di pasar, 89%-nya dinikmati oleh dunia usaha. Adapun untuk jenis BBM penugasan jenis Pertalite subsidinya dinikmati oleh 86% kalangan mampu.
Dalam upaya menangani naiknya BBM bersubsidi ini, pemerintah akan menyalurkan bantuan yang lebih tepat sasaran, yaitu melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM yang akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu.
“Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebesar Rp12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp150 ribu per bulan dan mulai diberikan bulan September selama empat bulan,” jelas Presiden.
Selain BLT BBM, Presiden melanjutkan, pemerintah juga telah menyiapkan anggaran untuk bantuan subsidi upah yang diberikan kepada pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan.Jika solusi yang ditawarkan untuk mengatasi kenaikan harga BBM adalah dengan memberikan BLT, maka hal ini merupakan solusi prematur.
Sebab, jumlah dan penerimanya tentunya terbatas dan sifatnya sementara. Selain itu, dana BLT juga rentan tidak tepat sasaran atau bahkan dikorupsi seperti kasus penyaluran dana BLT di masa pandemi lalu.Selain itu, BLT tidak akan cukup memenuhi kebutuhan rakyat tersebab naiknya BBM akan berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan lainnya.
Kenaikan ini juga tentunya akan membawa dampak buruk pada sektor industri, transportasi, dan kelistrikan di mana ketiga sektor ini berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Tak hanya itu, dampaknya juga akan terlihat pada meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas tersebab mahalnya biaya hidup. Sebenarnya, akar masalah dari naiknya BBM ini dapat ditinjau dari beberapa hal.
PERTAMA, Liberalisasi Sumber Daya Alam (SDA). Meski saat ini Pertamina masih terlihat mendominasi sektor hilir, pada faktanya, Di sektor Hulu 67% lahan minyak di kuasai Asing, 21% kerja sama dengan perusahaan asing dan sisanya barulah untuk Pertamina. Itu pun juga, minyak mentah kebanyakan diekspor sebab negara tidak sanggup membuat kilang minyak berkualitas.
Sehingga, tidak mengherankan jika penetapan kebijakan sangat ramah investasi. Tidak heran pula jika Indonesia masih tetap menjadi net-importir minyak bumi. Indonesia telah menjadi net-importir minyak bumi selama 20 tahun terakhir. Kondisi ini muncul akibat dari tingginya konsumsi minyak nasional tapi tidak dibarengi dengan tercukupinya fasilitas kilang minyak yang mampu mengolah minyak dalam negeri.
UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas menjadi landasan privatisasi dari hulu hingga hilir industri migas di negeri ini. Berikut beberapa kutipan isi UU Migas No. 22 tahun 2001: “Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.” (Pasal 2)
“Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.” (Pasal 9).
UU Migas ini jelas membuka ruang bagi asing untuk melakukan privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di negeri ini. Seluruh kegiatan usaha migas berjalan berdasarkan pada mekanisme pasar.
Dari UU migas ini, bermunculanlah SPBU asing seperti Shell, Vivo, Total, British Petroleum dan sebagainya. Ketika Pertamina memberikan subsidi BBM, tentu saja hal ini dapat mengakibatkan tidak kondusifnya iklim persaingan harga.
Masyarakat tentu saja akan lebih memilih BBM bersubsidi sebab harganya lebih murah. Maka, naiknya harga BBM bersubsidi akan menjadi angin segar bagi kaum kapitalis untuk meraup untung lebih banyak lagi.
KEDUA, Harga minyak mentah sebenarnya sedang turun. Harusnya BBM dalam negeri juga harganya ikut turun. Kemana larinya biaya subsidi tersebut. Andai saja pemerintah memang peduli nasib rakyat, pemerintah seharusnya membatalkan proyek besar seperti IKN dan kereta cepat lalu mengalihkan dananya ke subsidi BBM.
KETIGA, Sistem ekonomi kapitalisme yang terterapkan di negeri ini menjadikan kebijakan yang diterapkan berdasarkan asas manfaat. Sehingga, hubungan antara rakyat dan penguasa rentan seperti hubungan bisnis yakni hubungan antara pembeli dan penjual. Maka tak heran jika selalu digembar-gemborkan subsidi terhadap rakyat merupakan beban yang harus dikurangi atau mungkin dihapuskan.
Dari sini terlihat jelaslah bahwa Pemerintah bersikap lepas tangan dan mengalihkan beban dari pundaknya ke pundak rakyat. Padahal, beban rakyat saat ini terbilang cukup berat.
Pengelolaan Sektor Migas Menurut Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas, minyak bumi merupakan salah satu sumber daya alam milik umum sehingga Islam melarang kepemilikan dan pengelolaannya diserahkan kepada swasta/asing. Pengelolaannya harus diserahkan sepenuhnya kepada negara bukan swasta dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat.
Negara tidak boleh memperjual belikannya secara komersial demi meraup keuntungan. BBM diberikan kepada rakyat secara gratis. Jika pun negara ingin mengambil pungutan biaya, maka keuntungannya tidak lebih dari sekedar mengganti biaya produksi.
Negara juga harus menjamin ketersediaan segala hal yang diperlukan dalam upaya merealisasikan ketahanan dan kedaulatan energi.
Hal ini dimaksudkan agar negara dapat berdikari dan tak dapat didikte oleh asing melalui isu energi. Dalam hal ini, negara harus menjamin ketersediaan tenaga ahli melalui sistem pendidikan yang berkualitas. Negara juga harus menyediakan infrastruktur dan teknologi canggih serta lembaga riset yang produktif dan mumpuni.
Sehingga, sumber-sumber energi yang lebih beragam dapat terus dikembangkan. Selain itu, Rasulullah SAW bersabda, "Imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."
Dari hadis ini jelas dinyatakan bahwa pemimpin seharusnya hadir sebagai pengurus urusan rakyat. Bukan sebagai regulator yang memuluskan syahwat rakut kaum kapitalis. Kesejahteraan rakyat orang per orang benar-benar menjadi perhatian utama bagi pemimpin. Tak boleh ada satu pun rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangannya.
Sehingga, jika merunut dari dua hadis di atas, maka tak ada kata subsidi atau pun bantuan langsung tunai. Yang ada adalah BBM murah atau gratis untuk seluruh rakyat.
Terwujudnya hal semacam ini adalah sebuah kemustahilan jika negara ini masih menerapkan prinsip ekonomi kapitalis. Sampai kapan pun, biaya BBM dan kebutuhan lainnya akan terus mencekik. Tak ada solusi lain selain dengan menjalankan aturan sesuai yang dengan apa yang Allah tetapkan dalam Al-Quran dan As-sunnah baik dalam ranah individu, masyarakat hingga negara.
Wallahu a’lam bish shawab