OpiniOleh : Ummu Munib
Ibu Rumah Tangga
Mitra Rakyat.com
Perhelatan akbar berupa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 sudah berlalu. Setiap itu pula politik kekerabatan atau dinasti politik dipertontonkan. Laman merdeka.com (12/12/2020) mengabarkan bahwa dinamika politik Provinsi Banten, tetap tidak bisa lepas dari keluarga Ratu Atut Chosiyah sebagai mantan Gubernur Provinsi Banten.
Pada Pilkada 2020, calon kepala daerah yang berasal dari keluarga tersebut bisa dipastikan menang di tiga daerah. Kabupaten Serang paslon petahana yaitu Ratu Tatu Chasanah-Pandji Tirtayasa.
Kabupaten Pandeglang pasangan Irna Narulita-Tanto Warsono (menantu Ratu Atut atau suami dari Andiara Aprilia), Kota Tangerang Selatan tercatat keponakan Ratu Atut, Pilar Saga Ichsan sebagai calon wakil wali kota berpasangan dengan Benyamin Davnie (imantan wakil wali kota Tangerang Selatan mendampingi Airin Rachmi Diany, istri Tubagus Chaeri Wardana, adik Ratu Atut).
Dinasti politik tidak hanya terjadi di Povinsi Banten. katadata.co.id (25/12/2020) melansir keluarga Presiden Joko Widodo termasuk dalam deretan tersebut. Berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika Gibran Rakabuming Raka, putera sulung Jokowi yang berpasangan dengan Teguh Prakosa menang telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta.
Begitu juga dengan Bobby Nasution, menantu Jokowi yang berpasangan dengan Aulia Rachman menang di Pilwalkot Medan. Gibran Rakabuming menampik keikutsertaannya dalam Pilkada 2020 sebagai bagian dari dinasti politik, karena menurutnya tak ada kewajiban masyarakat memilihnya.
“Yang jelas, kalau ditanya dinasti politik, ya dinasti politiknya sebelah mana?” kata Gibran mengutip Kompas TV, Rabu (9/12).
Hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah Lembaga Survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), menghitung bahwa paslon yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat sebagai pemenang pesta politik tersebut tahun ]2020 setidaknya ada 158 calon yang memiliki kaitan dinasti politik.
Jumlah ini naik tiga kali lipat dibanding Pilkada sebelumnya, yaitu hanya 52 calon. Dari 158 calon , 67 calon menang, 75 calon kalah, dan 16 calon masih dalam proses penghitungan suara.
Kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Yoes C. Kenawas memaparkan dalam diskusi Dinasti Politik Jokowi dan Pandemi Covid-19. Acara tersebut diselenggarakan Yayasan Kurawal dan Tirto.id, pada Rabu (16/12).
Tak dapat dipungkiri, kian hari tren dinasti politik ternyata kian subur. Dalam sistem kapitalisme sekularisme, dinasti politik sah-sah saja karena memang tidak ada aturan yang melarangnya. Asas manfaat telah menjadi patokan dalam setiap perbuatan.
Begitu juga dinasti politik, sepertinya mereka tidak mau ada sebuah kesempatan yang terlewatkan. Yakni kesempatan untuk berkuasa. Seorang peneliti Made Supriatma, yang juga visiting fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Yusof Ishak Institute, Singapura. Beliau berpendapat dinasti politik di Indonesia terjadi karena oportunisme.
Sepertinya ada suatu kesempatan yang sayang jika terlewatkan. Padahal sikap oportunisme merupakan sikap yang bisa membahayakan sebuah negara. Sangat rentan untuk mampu menjaga kedaulatan dan kepentingan rakyat, karena oportunisme bisa diartikan sikap politik rakyat yang meninggalkan kepentingan ideologi.
Mereka bisa berbuat menjual semua aset ] rakyat hanya untuk kepentingan diri dan golongannya. Itulah sejatinya sistem buatan manusia, seperti hukum rimba. Siapa yang kuat maka ia yang menang. Siapa yang dekat atau kerabat dengan penguasa, maka kesempatan untuk berkuasa makin mudah didapat. Kolusi dan nepotisme makin merajalela, sedangkan pintu makin tertutup bagi kesempatan orang lain atau tokoh baru sebagai pemimpin.
Terlebih aturan main yang dipakai hanyalah buatan manusia, hasil rekacipta akal manusia. Padahal manusia hanya seorang hamba, yang sifatnya lemah namun penuh dengan hawa nafsu. Kemudian diperparah dengan penerapan sekularsime, sebuah asas yang memisahkan agama dari kehidupan, yang konsekuensinya memisahkan agama dari negara.
Hal ini semakin memuluskan jalan untuk mendapatkan yang mereka inginkan yakni kekuasaan. Dengan demikian telah nyata kedaulatan rakyat hanya ilusi karena keputusan berada di tangan kaum kapitalis yakni para pemilik modal dan pemilik kursi petahana, yang telah memiliki banyak kolega, baik pengusaha, maupun rekanan bisnis. Hal ini akan memudahkan lolosnya kandidat yang ada kaitan pertalian keluarga dibandingkan kampanye pertama publik figur baru yang menguras dana.
Berbeda dengan Islam.
Dalam Islam tugas pemimpin (Khalifah) diangkat sebagai pengurus dan penjaga umat dari ragam kerusakan dan kebinasaan.
Rasulullah saw. bersabda,
"Pemimpin (imam) itu laksana penggembala, dan pemmpin tersebut adalah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya." (HR. Bukhari)
Kemudian pemimpin adalah sebagai penegak sekaligus penjaga syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan dalam kehidupan. Tidak dibenarkan sebagai penjaga kepentingan para pemilik modal. Mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarganya di atas kepentingan rakyat.
Kemudian mekanisme pengangkatan kepala daerah tidak memerlukan mahar dan biaya mahal namun menghasilkan output yang berkualitas. Baik wali (gubernur) maupun amil (bupati/walikota) ditunjuk oleh Khalifah. Adapun figur yang ditunjuk adalah orang bertakwa, amanah dan kapabel.
Dipastikan seseorang yang kurang tsaqafah Islam dengan sendirinya akan menyingkir dari kontestasi. Karena merasa tak layak untuk memimpin rakyat di jalan takwa.
Sejarah mencatat model kepemimpinan Islam yang dicontohkan Rasulullah saw dan para Khalifah Rasyidah adalah model terbaik kepemimpinan bagi kita saat ini.
Mereka hidup sederhana. Alih-alih ada ambisi dan kebanggaan, yang ada dipenuhi rasa takut jika amanah yang diemban kelak justru menjadi hisab yang memberatkan. Tauladan kehidupan Sayyidina Umar tak menjadi berubah sekalipun di masanya ghanimah begitu melimpah ruah.
Beliau didapati sering menangis mengkhawatirkan kepemimpinannya. Tak hanya manusia, bahkan keamanan binatang pun beliau pikirkan.
Dengan demikian tak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan sistem kapitalisme sekulerisme karena telah nyata membawa kerusakan.
Menyuburkan dinasti politik sekaligus menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Saatnya kita beralih kepada sistem yang datangnya dari Allah Swt. sebagai Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur. Yang telah nyata membawa manusia di jalan takwa. Di dunia hidup penuh berkah melimpah baik dari langit dan bumi karena pemimpinnya menerapkan Islam secara Kaffah.
Wallahu a’lam bi ash- shawwab.