Opini
Oleh: Laily Chusnul Ch. S.E (Pemerhati Ekonomi)
Mitra Rakyat.com
Covid-19 tidak hanya menyerang tubuh manusia, namun "tubuh" Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di berbagai dunia pun dibuat luluh lantak. Bahkan para ekonom dan lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank menyatakan saat ini terjadi resesi hingga mengarah pada depresi. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Jadi solusi bagi negara berkembang adalah mencari pinjaman lain, seperti menerbitkan obligasi, termasuk di pasar global," katanya dalam roundtable bertemakan Rebirthing the Global Economy to Deliver Suistanable Development, Rabu malam 1 Juli 2020 (Tempo.co.id, 02/07/2020). Defisit anggaran terus mengalami pelebaran sehingga menambah utang menjadi solusi andalan.
Hingga April 2020, total utang pemerintah bertambah Rp 393,2 triliun menjadi Rp 5.172, 48 triliun. Bahkan diprediksi tahun 2020 bisa menembus Rp 6.000 triliun. Hal ini dikarenakan defisit APBN melebar hingga 6,27 % terhadap produk domestik bruto. Peraturan Presiden (Pepres) pun diteken Presiden Joko Widodo demi melegalkan pemerintah untuk mencapai defisit anggaran di atas 3 % terhadap PDB.
Namun kurang dari dua bulan, proyeksi pemerintah kembali berubah. Kebutuhan anggaran untuk stimulus ekonomi meningkat dari semula Rp 405 triliun menjadi Rp 641 triliun. Akibatnya defisit anggaran tahun ini makin melebar. Sehingga untuk menutup defisit tersebut dibutuhkan dana mencapai Rp 1.206,9 triliun. Di sisi lain, total utang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 426,6 triliun. Akibatnya, total pembiayaan bruto mencapai Rp 1.633 triliun.
Bertumpu Pada Utang Dan Pajak
Karena mengadopsi sistem kapitalisme, maka pembiayaan negara dalam mengatasi defisit anggaran mengambil jalan dengan mengambil utang. Hingga Mei 2020, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) telah mencapai Rp 420,8 triliun, sedangkan pembelian SBN oleh perbankan di pasar perdana sebesar Rp 110,2 triliun seiring kebijakan penurunan giro wajib minimum (GWM). Di sisi lain, surat perbendaharaan negara yang jatuh tempo mencapai Rp 35,6 triliun. Bahkan hingga Desember 2020 diperkirakan mencapai Rp 990 triliun. Pemerintah rencananya memenuhi target tersebut melalui lelang di pasar domestik, penerbitan surat utang ritel, SBN skema khusus ke BI, private placement, dan penerbitan SBN valas mencapai US$ 4-7 miliar.
Menurut Ekonom Indef, Faisal Basri utang pemerintah naik tajam karena tax ratio yang menurun bahkan mencapai titik rendah dalam setengah abad. Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari-Mei 2020 sebesar Rp 444,6 triliun. Angka ini turun 10,8% year on year (yoy). (Kontan.co.id, 16/06/2020)
Dua tumpuan ini, yakni utang dan pajak sejatinya merupakan tumpuan yang rapuh sehingga membahayakan kedaulatan sebuah negara. Sebagai contoh nyata adalah Zimbabwe yang harus rela mengganti mata uangnya menjadi Yuan China sebagai imbalan penghapusan utang yang mencapai 40 juta dollar. Kebijakan negara juga bisa didikte oleh negara pemberi pinjaman, sehingga secara otomatis negara tersebut akan kehilangan wibawanya di dunia internasional. Lantas adakah cara agar sebuah negara terbebas dari jeratan utang?
Islam Solusi Paripurna Utang
Dalam berbagai tulisan maupun diskusi sesungguhnya telah acap kali membahas solusi alternatif atas kondisi ekonomi dan keuangan negara ini. Solusi tersebut tidak lain adalah sistem Islam yang berasal dari sumber yang shahih yakni Pemilik bumi dan alam semesta, Allah Ta'ala. Allah dengan tegas melarang praktik ribawi, termasuk praktik menjual surat utang obligasi berbunga. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah 275-279:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba). Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Dalam sistem keuangan negara berbasis syariah, akan memfungsikan lembaga negara yakni Baitul Mal. Di dalamnya ada tiga pos pemasukan yang bisa menghasilkan pendapatan sangat besar tanpa utang dan tanpa penarikan pajak. Ketiga pos tersebut adalah pos pengelolaan kepemilikan umum, pos pengelolaan kepemilikan negara, dan pos pengelolaan zakat mal.
Secara historis, ketiga pos tersebut mampu dikelola oleh penguasa di era kekhilafahan. Salah satunya pada masa Khalifah Harun Al Rasyid, Baitul Mal mengalami surplus yang nilainya bahkan sama jumlahnya dengan pendapatan dalam APBN Indonesia hari ini yakni mencapai 2.000 triliun lebih. Surplus artinya total penerimaan setelah dikurangi total pengeluaran. Bisa dipastikan penerimaannya pasti jauh melampaui angka surplusnya.
Kebijakan fiskal Baitul Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. Pada zaman Rasulullah SAW, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia).
Melihat skema pembayaran utang yang dimiliki Indonesia saat ini, mustahil Indonesia terbebas dari jebakan utang sampai kapanpun. Kecuali jika penguasa saat ini mau dan bersedia menerapkan sistem islam secara menyeluruh dan sempurna, tentu kesejahteraan dan bebas dari himpitan utang akan menjadi keberkahan. Wallahu'alam bisshowab.