Opini
Ditulis Oleh: Nurhaniu Ode Hamusa, A. Md. Keb.
(Pemerhati Sosial Asal Konawe, Sultra)
Mitra Rakyat.com
“Bagaikan air di daun talas”. Pepatah ini pantas untuk disematkan kepada pengambil kebijakan yang tidak konsisten menjalankan kebijakannya terhadap penanganan Covid-19. Semenjak diumumkan awal Maret, hingga saat ini publik menyaksikan kebijakan yang berubah-ubah. Belum tuntas masalah lama, muncul lagi kebijakan baru yang menimbulkan kontroversi. Maka tidak heran, banyak pakar yang mengkritik kebijakan pemerintah tersebut.
Seperti dikatakan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra yang mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia, belum saatnya keputusan tersebut diterapkan karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari (Merdeka.com, 25/05/2020).
Banyak pakar menyatakan kebijakan sporadis ini tidak dibarengi pertimbangan validasi data dan sains, namun dominan pada pertimbangan ekonomi dan politik semata. Bahkan para peneliti dan ilmuwan menyampaikan kesulitan ketika berupaya menyampaikan analisisnya tentang data di lapangan yang ditemukan. Pemerintah lebih percaya pada staf ahli mereka dan cenderung meremehkan saran untuk pengambilan kebijakan dari para saintis.
Jika diamati, penyebaran Covid-19 per 2 Mei 2020, ada penambahan 609 kasus positif. Total kasus positif Covid-19 menjadi 27.549 orang. Total yang meninggal menjadi 1.663 orang. Di tengah situasi yang masih berbahaya ini, Pemerintah malah berencana menyiapkan protokol untuk menghadapi “new normal” atau situasi normal baru. Menurut Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, protokol yang dibahas adalah upaya mengurangi PSBB yang bertujuan untuk memulihkan produktivitas (Elshinta.com, 20/05/2020).
Tampak keputusan itu lebih mementingkan aspek ekonomi. Padahal WHO sendiri telah menetapkan syarat-syarat untuk bisa dilakukan prosedur new normal. Di antaranya angka kasus baru nol selama 14 hari.
Faktanya, di Indonesia data kasus baru per hari masih tinggi. Dari 29/5 sampai 2/6 rata-rata 602 ada kasus positif baru secara nasional. Tidak aneh jika banyak ahli menilai kebijakan pelonggaran PSBB atau prosedur new normal itu terlalu terburu-buru. Ini tentu berbahaya.
Ledakan gelombang kedua Covid-19 juga dikhawatirkan akan terjadi. Di Prancis, ketika dilakukan new normal, terjadi ledakan kasus baru dalam sehari. Di Korea Selatan setelah dibuka, sehari kemudian ada 79 kasus baru Covid-19. Sebanyak 251 sekolah ditutup kembali. (Bbcindonesia.com, 29/05/2020). Di Wuhan, setelah dibuka, kembali diketatkan. Begitu juga di beberapa tempat lain di dunia.
Memang, bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ atau ketetapan dari Allah swt. yang tak bisa ditolak. Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan dan hal itu ada dalam wilayah ikhtiar manusia.
Faktanya, saat ini para penguasa dunia, juga penguasa negeri ini, lebih memilih untuk menerapkan sistem kapitalisme dan mengunakan metode yang lebih mementingkan aspek ekonomi, dalam mengatasi wabah. Sehingga menjaga dan memelihara nyawa manusia seolah dinomorduakan.
Bahkan ada pejabat tinggi di negeri ini yang terkesan menganggap enteng nyawa manusia. Dia mengklaim jumlah korban meninggal akibat Corona masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas. Seolah-olah jumlah korban meninggal akibat Corona dianggap belum ada apa-apanya.
Padahal, persoalannya, sejak awal langkah isolasi dengan luar negeri dan juga isolasi antardaerah tidak segera diterapkan oleh Pemerintah. Akibatnya, Covid-19 pun menyebar hampir ke seluruh negeri.
Karena itu yang harus diprioritaskan oleh pemerintah saat ini adalah bagaimana mengendalikan dan mengatasi pandemi Covid-19. Karenanya keselamatan nyawa manusia harus lebih didahulukan daripada kepentingan ekonomi. Apalagi sekadar memenuhi kepentingan ekonomi segelintir orang, yakni para kapitalis (pengusaha/pemilik modal).
Dari itu, solusinya tidak lain dengan syariat Islam. Dengan syariat Islam, wabah akan lebih mudah diatasi dan dikendalikan. Tentu tanpa mengganggu syiar Islam dan ibadah kaum muslim. Sehingga nyawa manusia pun bisa terselamatkan. Ekonomi juga tetap bisa berjalan.
Isolasi/karantina adalah di antara tuntunan syariat Islam saat wabah terjadi di suatu wilayah. Rasul saw. bersabda, “Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu.” (HR al-Bukhari). Tindakan isolasi/karantina atas wilayah yang terkena wabah tentu dimaksudkan agar wabah tidak meluas ke daerah lain. Karena itu suplai berbagai kebutuhan untuk daerah itu tetap harus dijamin.
Ini hanyalah masalah manajemen dan teknis. Relatif mudah diatasi. Apalagi dengan teknologi modern saat ini. Namun demikian, semua itu bergantung pada kebijakan dan sikap amanah pemerintah sebagai pengurus rakyat.
Tindakan cepat isolasi/karantina cukup dilakukan di daerah terjangkit saja. Daerah lain yang tidak terjangkit bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif itu bisa menopang daerah yang terjangkit baik dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.
Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang dalam upaya penerapan new normal life, tetapi juga harus mempertimbangkan pendapat para pakar sains juga ormas yang menjadi representasi umat. Jika semua upaya telah dilakukan untuk memberikan masukan, saran, bahkan kritik kepada pemeritah untuk meninjau ulang kebijakannya, namun hal itu kurang mendapat respon yang baik. Maka perlu dipertanyakan apakah memang penguasa adalah pelayan kepentingan rakyat? Wallahu a’lam.