Ditulis Oleh: Zahra Azzahi
Member Amk
Mitra Rakyat.com
Sampah, telah lama menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan serta keterbatasan lahan membuat sebagian masyarakat memilih untuk membuang sampah ke sungai. Sungai tak ubahnya seperti tempat sampah raksasa yang menebarkan bau tak sedap dan mengganggu aktivitas masyarakat sekitarnya.
Sebagaimana dilansir dari laman RMOL Jabar, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung menyatakan bahwa timbunan sampah di aliran sungai bukanlah tanggung jawabnya. Kepala Bidang Pengelolaan Sampah DLH Kabupaten Bandung, Yula Zulkarnaen, bahkan mengatakan pihaknya bisa melakukan pengangkutan sampah jika sudah di darat. “Sampah di sungai bukan kewenangan kami. Kecuali kalau sudah di darat dan ada koordinasi dengan aparatur setempat baru bisa diangkut,” ungkap Yula.
Yula menuding bila sampah di aliran sungai walau secara wilayah masuk Kabupaten Bandung tetap tanggung jawab pihak Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC). "Mestinya BBWSC yang tanggap dengan melakukan tindakan pembersihan seperti yang di harapkan warga. Karena tidak semua titik jadi tanggung jawab kami,” kata Yula.
Diakui Yula, saat ini banyak pihak yang berasumsi masalah sampah ada di DLH. Masyarakat tidak tahu karena memang tidak ada sosialisasi dari instansi tertentu. “Sehingga DLH jadi sasaran pelampiasan masyarakat. Hal itu perlu diklarifikasi dan kami tegaskan sampah di atas permukaan sungai kewenangan BBWSC,” pungkas Yula. (RMOL Jabar, 14/02/2020).
Sungai seharusnya menjadi tempat untuk menampung melimpahnya air hujan di kala musim penghujan dan menjadi sumber air bagi masyarakat. Menumpuknya sampah di sungai akan menimbulkan dampak buruk yang akan merugikan masyarakat itu sendiri. Rusaknya ekosistem yang ada di sungai dan banjir yang sering terjadi di kala musim penghujan, hanyalah sebagian dampak buruk dari perilaku membuang sampah ke sungai.
Selain sampah organik yang bisa terurai, sampah yang menumpuk di sungai sebagian besar didominasi oleh sampah plastik, stereofoam, kaleng dan sampah lainnya yang sulit terurai. Salah satu contoh sampah di atas seperti kaleng aluminium, meski bisa di daur ulang tetapi jika sudah dibuang membutuhkan waktu sekitar 80 sampai 200 tahun untuk bisa terurai. Bisa dibayangkan sampah yang ada saat ini akan mengotori lingkungan selama bertahun-tahun dan diwariskan pada generasi yang akan datang. Dan ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya sampah-sampah yang sulit terurai..
Untuk menuntaskan permasalahan sampah, selain peran individu dan masyarakat, peran negara sangatlah penting dalam menjaga kebersihan lingkungan terutama sungai. Namun, dalam sistem demokrasi kapitalisme pihak-pihak berwenang yang seharusnya bekerjasama untuk mencari solusi dalam penanganan sampah justru “cuci tangan” dan saling menyalahkan satu sama lain.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terkait kebersihan lingkungan? Islam adalah agama yang sempurna, tidak hanya mengatur bab ibadah saja, tetapi menyeluruh mencakup seluruh aspek kehidupan. Selain masalah kebersihan diri, Islam juga sangat memperhatikan kebersihan lingkungan yang ada di sekitar kita. Karena sebagai agama yang menjadi rahmat bagi sekalian alam, Islam tidak akan membiarkan manusia merusak atau mengotori lingkungan sekitarnya.
Kebersihan adalah hal yang mendasar yang berkaitan dengan keimanan. Rasulullah Saw bersabda, “Kebersihan sebagian dari iman.” (HR. Al-Tirmidzi). Dan terkait larangan mencemari sungai Rasulullah Saw pun bersabda, “Rasulullah melarang seseorang buang air di bawah pohon berbuah dan di tepi sungai (yang mengalir)”. (HR.Ibn Addi).
Jika melihat kedua hadist di atas seharusnya kebersihan telah menjadi pola hidup masyarakat. Pemahaman tentang kebersihan yang mendasar ini menumbuhkan kesadaran individual untuk pemilahan sampah dan pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri. Pengurangan sampah secara individual dapat dilakukan dengan mengonsumsi sesuatu secukupnya, makanan misalnya.
Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Tokoh-tokoh muslim ini telah mengubah konsep sistem pengelolaan sampah yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, karena perkotaan padat penduduk berpotensi menjadi kota yang kumuh (Lutfi Sarif Hidayat, 2011). Sebagai perbandingan, kota-kota lain di Eropa pada saat itu belum memiliki sistem pengelolaan sampah. Sampah-sampah dapur dibuang penduduk di depan rumah mereka hingga jalan-jalan kotor dan berbau busuk. (Mustofa As-Sibo’i, 2011).
Kebersihan membutuhkan biaya dan sistem yang baik, serta keseriusan pengelolaan sampah dan pemeliharaan sungai. Sungai yang terpelihara dengan baik akan mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat. Edukasi masyarakat dapat di lakukan pemerintah dengan menyampaikan pengelolaan sampah yang baik merupakan amal salih yang dicintai Sang Pencipta. Hal ini hanya akan dapat terwujud jika sistem yang diterapkan langsung berasal dari Sang Khaliq, maka saat ini menjadi hal yang urgen untuk menjadikan sistem Islam sebagai satu-satunya landasan hidup masyarakat.
Wallahu a’lam bi ash shawab