Opini
Ditulis Oleh : UqieNai
Alumni BFW 212
Mitra Rakyat.com
Cuaca ekstrem saat kemarau maupun musim penghujan senanatiasa dihadapkan dengan peristiwa memilukan karena bencana alam. Karhutla, kabut asap, kekeringan, kelaparan, banjir bandang, gempa ataupun tsunami terus mendera negeri nusantara tiada henti. Tak hanya menimpa penduduk kota tapi juga hingga ke pelosok desa.
Kerugian materi karena hilangnya harta benda, rumah, kendaraan, bahkan kehilangan anggota keluarga tercinta adalah bagian terpilu saat bencana melanda.
Tidak berhenti sampai di situ. Berbagai akses dan instansi layanan publik serta infrastrukturnya tak urung kena dampaknya. Bagaimana mirisnya menyaksikan anak-anak kecil menangis saat melihat rumahnya hangus terbakar atau bangunan sekolah tempat mereka menuntut ilmu harus ambruk oleh amukan longsor dan banjir.
Wajah polos mereka sulit menggambarkan bagaimana melalui hari-harinya tanpa rumah atau sekolah. Berapa lama mereka harus bertahan dan menunggu perbaikan serta pemulihan atas kondisi tersebut?
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, H. Akhmad Djohara, menyebutkan, tidak ada anggaran pendukung untuk menanggulangi bencana yang bersifat spontan.
“Semua dilakukan disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia,“ kata Akhmad seusai memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Pengendalian Kenyamanan Lingkungan Urusan Kebencanaan Tingkat Kabupaten Bandung tahun 2019, di Hotel Sunshine
Sahid, Soreang, Rabu (18/12/2019).
Pihaknya saat ini tengah melakukan assement di lapangan untuk memberikan bantuan dari pemerintah. Saat ini, katanya, bantuan yang diberikan berupa makanan yang tersedia di kantor BPBD. Ia menambahkan, kebutuhan lainnya, untuk pengungsi berkebutuhan khusus, seperti ibu hamil, ibu menyusui, balita, lansia, dan disabilitas harus dilakukan penyesuaian.
“Dan itu rencananya dalam minggu ini akan segera diberikan,” katanya.
Hal senada disampaikan pula oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho. Menurutnya, Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) mendapat anggaran Rp 610 miliar untuk tahun 2019.
Sutopo menilai nominal tersebut terlalu kecil untuk BNPB. Sutopo menyebut anggaran BNPB dari tahun ke tahun semakin menurun. Dia mencontohkan penurunan anggaran tahun 2018 ke 2019 yang mencapai Rp 90 miliar. Untuk tahun 2018, sambung Sutopo, BNPB mendapatkan anggaran sekitar Rp 700 miliar.
Sutopo sebut penurunan anggaran BNPB yang terjadi dari tahun ke tahun membuktikan bahwa politik anggaran justru tidak mendukung penanggulangan bencana di Tanah Air. Bahkan, tidak hanya BNPB yang anggarannya kecil, BPBD juga mengalami kondisi serupa.
"(Anggaran) jarang naik, ada APBN-P juga jarang kita dapat. Jadi kalau kita lihat politik anggaran, tidak mendukung penanggulangan bencana. Karena anggarannya kecil, apalagi di daerah, sangat minim," sesal Sutopo.
Menurut Sutopo, anggaran BPBD idealnya 1 persen dari ABPD suatu daerah. Karena itu, jika terjadi bencana, anggaran yang dipakai untuk penanganan yakni Belanja Tidak Terduga.
"Saya pernah hitung anggaran BPBD daerah, (besarannya) 0,002 persen dari APBD. Idealnya satu persen untuk prabencana. Kalau terjadi bencana kan pakai dana darurat. Di daerah ada yang namanya Belanja Tidak Terduga, yang digunakan untuk darurat selama pemda-nya menetapkan masa tanggap darurat," papar Sutopo. (Detik.com, 26/12/2018)
Jika menilik pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggraan Penanggulangan Bencana, bab I poin 10 dan 11 menyatakan bahwa:
10. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
11. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.”
Kedua poin di atas seharusnya menjadi perhatian pemerintah terkait tugasnya memberikan pelayanan memadai untuk warga masyarakat yang terdampak. Bukan sekedar peraturan tapi juga dituntut realisasi.
Maka, ketika dijumpai fakta bahwa anggaran untuk bencana semakin menyusut sedangkan anggaran untuk pejabat pemerintah semakin meningkat, staf khusus kepresidenan misalnya atau hajat demokrasi yang menelan dana fantastis seakan menjadi indikasi bahwa “kenyamanan itu hanya milik pejabat dan petinggi negeri.”
Padahal gaji mereka didapat dari darah dan keringat rakyat. Sehingga tak salah kiranya jika rakyat kecewa, marah atau mengkritisi pemerintah sebagai pihak regulator semata. Tak mampu memberikan perlindungan aplagi keadilan kepada warganya yang tertimpa musibah. Nyatalah sudah demokrasi kapitalisme biang keladi ini semua terjadi.
Berbanding terbalik saat peradaban Islam menjadi mercuasuar dunia dengan sistem kekhilafahannya. Secara teknis, upaya manajemen bencana alam dalam Islam tidaklah banyak berbeda dengan banyak metode yang telah diterapkan saat ini di seluruh dunia.
Namun perbedaannya ada dalam memandang sumber pencipta bencana alam, yaitu dengan adanya ketetapan Allah azza wa jalla. Ada sedikit perbedaan dalam langkah awal ketika terjadi suatu kejadian bencana alam, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan khalifah setelahnya, Umar bin Khattab ra.
Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah Saw lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, “Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.” Lalu, Nabi Saw menoleh ke arah para sahabat dan berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!”
Sepertinya, Umar bin Khattab ra mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, “Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”
Langkah awal yang dilakukan ketika terjadi bencana alam ialah bertaubat sambil mengingat kemaksiatan apa yang dilakukan sehingga Allah menurunkan bencana alam tersebut kepada suatu kaum.
Hal ini juga menjadi penjaga kesadaran dan kondisi ruhiyah masyarakat, khususnya yang berada pada daerah rawan bencana alam untuk senantiasa menjaga ketaatan pada syariah dalam lingkup individu dan masyarakat, karena bencana alam dapat datang sewaktu-waktu dan memusnahkan setiap orang yang berada di daerah tersebut baik yang taat pada syariah maupun ahli maksiat.
Selanjutnya adalah dengan manajemen khilafah mengurangi atau menghindarkan dampak kerugian dari bahaya bencana alam; memastikan sampainya bantuan dengan cepat pada korban serta mencapai pemulihan masyarakat yang cepat dan efektif.
Manajemen bencana alam bertujuan untuk mengurangi atau menghindari potensi kerugian dari bahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam, memastikan bantuan yang cepat dan tepat untuk korban bencana alam, dan melakukan proses pemulihan yang cepat dan efektif.
Siklus manajemen bencana alam menggambarkan proses berkelanjutan dimana khilafah dan masyarakat sipil berencana untuk mengurangi dampak bencana alam, bereaksi ketika dan setelah bencana alam, dan mengambil langkah-langkah untuk pemulihan setelah bencana alam terjadi.
Tindakan yang tepat pada semua tahapan dalam siklus ini menghasilkan sebuah kesiapan yang lebih baik, kesadaran yang lebih baik, dan akan mengurangi tingkat kerentanan terhadap bencana alam pada periode pengulangan berikutnya dari siklus ini. Siklus manajemen bencana alam yang lengkap mencakup aspek penyusunan kebijakan publik dan perencanaan yang baik dalam memodifikasi faktor penyebab bencana alam atau mengurangi dampak bencana alam pada manusia, properti, dan infrastruktur.
Yang tak kalah pentingnya dari langkah di atas yakni dengan fase mitigasi dan kesiapsiagaan berikut proses normalisasi (pemulihan). Fase ini dilakukan untuk mengantisipasi peristiwa bencana alam.
Perspektif pembangunan yang berkelanjutan memainkan peran kunci dalam memberikan kontribusi bagi mitigasi dan persiapan masyarakat untuk secara efektif menghadapi bencana alam. Ketika bencana alam terjadi, pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana alam terlibat dalam fase respon cepat dan pemulihan jangka panjang.
Menurut ADPC Primer Team (2005), mitigasi merupakan tindakan-tindakan struktural dan non-struktural untuk membatasi dampak yang merugikan dari bencana alam, degradasi lingkungan, dan bencana alam teknologis.
Mitigasi struktural ialah tindakan – tindakan struktural berkenaan dengan berbagai konstruksi fisik untuk mengurangi atau mungkin menghindarkan dampak bencana alam, yang mencakup tindakan – tindakan rekayasa dan konstruksi tahan-bencana alam, bangunan, pelindung dan prasarana lainnya.
Mitigasi non-struktural ialah tindakan-tindakan non-struktural berkenaan dengan kebijakan, kesadaran, pengembangan pengetahuan, komitmen publik, serta metode dan praktik operasional, yang mencakup mekanisme partisipatori serta persediaan informasi, yang dapat mengurangi risiko dan dampak-dampak yang berhubungan.
Mitigasi nonstruktural ini juga mencakup praktik-praktik seperti zonasi lahan, perencanaan penggunaan lahan, perencanaan perkotaan, dan forensic terhadap bencana alam sebelumnya.
Khilafah harus mengambil porsi yang besar dalam tahapan ini, selain karena kewajiban tersebut ada padanya, juga untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan buruk yang masuk bersama dengan bantuan-bantuan dari pihak asing.
Segala macam bantuan harus diserahkan pada khilafah sekaligus bertanggung jawab dalam menyalurkannya pada orang-orang yang membutuhkan bantuan beserta jenisnya dengan tepat.
Jika di baitul mal tidak lagi tersedia dana untuk masa tanggap darurat ini, dapat menggunakan alokasi dana penanggulangan bencana dari bagian lain dari wilayah khilafah. Sebagaimana ketika khilafah di bawah pimpinan Umar RA mengalami paceklik, yang diriwayatkan oleh Ibn Syabbah dalam Akhbârul-Madînah dari jalan Al-Haitsam bin Adi, juga dari jalan Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
”Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam Radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash ra untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik”.
Instrumen pajak bisa digunakan ketika baitul mal dan bantuan dari wilayah lain dalam khilafah tidak mencukupi. Dengan syarat ditariknya pajak hanya dari golongan masyarakat yang mampu dan bersifat insidental.
Seiring dapat dikendalikannya kondisi darurat, penduduk yang terkena dampak akan mampu melakukan semakin banyak kegiatan yang memulihkan kehidupan normalnya. Kegiatan pemulihan berlanjut sampai semua sistem kehdupan kembali normal atau lebih baik.
Langkah-langkah pemulihan, baik jangka pendek dan jangka panjang, termasuk mengembalikan sistem yang mendukung kehidupan masyarakat yang bersifat penting; perumahan sementara; informasi publik; pendidikan; dan program konseling.
Sungguh, ri’ayah su’unil ummah yang dilakukan pemimpin di era peradaban Islam dan peradaban kapitalis bagai bumi dan langit.
Asas dan tujuan yang diterapkan senantiasa berlandaskan akidah Islamiyah dan kemaslahatan umat secara umum. Semua ini menambah kerinduan terhadap tegaknya syariat Islam di muka bumi semakin mendalam. Rindu akan pelukan mesra penuh kelembutan sosok pemimpin pelindung umat.
Bersamanya, umat bergandengan tangan meraih ridha dan rahmat Allah Swt. sebab, kegemilangan itu bukan isapan jempol atau kisah sejarah tempo dulu, namun terbukti nyata akibat sistem yang diterapkannya berasal dari pemilik kesempurnaan, yakni Allah Rabb al Izzati.
Wallahu a’lam bi ash Shawab.