Tegas Terhadap Penghina Nabi
Opini
Ditulis Oleh : Sri Gita Wahyuti, A.Md.
Mitra Rakyat.com
Dalam sebuah forum program deradikalisasi, Sukmawati, Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme membandingkan Rasulullah Muhammad ï·º dengan Soekarno dan mempertanyakan peran Muhammad dalam kemerdekaan Indonesia. Ia juga membandingkan Pancasila dengan Alquran, serta mempertanyakan di mana Bendera Hitam (Bendera Tauhid, ed.) saat kemerdekaan.
Ucapan tersebut mengisyaratkan, seolah ia ingin mengatakan bahwa bukan Islam yang berjasa terhadap kemerdekaan melainkan Soekarno. Padahal Rasulullah ï·º adalah tokoh yang hidup di abad ke-6, sedangkan Soekarno hidup di abad ke-20. Membandingkan keduanya tidaklah apple to apple karena Soekarno merupakan tokoh Indonesia, sedangkan Rasulullah tokoh dunia. Rasulullah ï·º sosok yang ma'sum, sedangkan Soekarno hanyalah manusia biasa.
Bukan pertama kalinya. Sukmawati melakukan pelecehan terhadap Islam. Sebelumnya Ia pernah membacakan puisi yang mengandung penghinaan terhadap cadar dan suara azan. Ini semakin menguatkan bahwa Sukmawati adalah penista agama karena pidato yang mengandung unsur penistaan tersebut disampaikan dalam forum bertajuk, “Bangkitkan Nasionalisme. Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme."
Mengingat selama ini yang mendapat label Radikal dan Teroris adalah Islam, maka ketika membandingkan antara Rasulullah dengan Soekarno dan Alquran dengan Pancasila, sesungguhnya hal demikian sedang menunjuk Rasulullah ï·º sebagai tokoh radikal dan penyebar teror.
Tahun lalu, kasusnya dibiarkan menguap begitu saja. Sukmawati bisa terbebas dari jerat hukum hanya dengan linangan air mata dan permohonan maaf pada umat Islam. Sehingga wajar, kasus penghinaan terhadap Rasulullah dari mulut penganut ajaran marhaenisme ini terjadi lagi. Pembiaran atas kasusnya sama sekali tidak ada efek jera bagi dirinya.
Sanksi terhadap penista agama di negeri ini sebenarnya sudah ada, yaitu KUHP Pasal 156(a). Isinya menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun. Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Namun UU yang diterapkan di negeri ini tidak berdiri sendiri, ada ideologi yang menaungi seluruh UU tersebut, yaitu ideologi sekularisme dan kapitalisme. Negara tidak menempatkan agama dalam posisi yang mulia.
Dalam kacamata sekuler, agama hanya diposisikan sebagai salah satu dari sekian nilai/norma yang menjadi rujukan dalam pembuatan UU. Padahal, seharusnya agama menjadi satu-satunya sumber konstitusi dan perundang-undangan dan agama harus menjadi arah pandang kehidupan umat manusia.
Bagi seorang Muslim, menghina Rasulullah adalah perbuatan haram. Menjadikan pelakunya tergolong murtad. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa hukuman bagi penghina Islam, Allah SWT. dan Rasul-Nya adalah hukuman mati jika tidak mau bertaubat.
Jika pelakunya bertaubat, gugurlah hukuman mati atas dirinya. Namun negara tetap memberikan ‘pelajaran’ kepada pelaku sesuai dengan ketetapan Khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya.
Ash-Shaidalâni (w. 427H), ‘ulama dari kalangan Syafiyah, menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertaubat, taubatnya diterima dan tidak dihukum mati, namun tetap diberi ‘pelajaran’ dengan dicambuk 80 kali (Mughni al-Muhtâj)
Hukuman yang tegas akan memberikan efek jera terhadap pelakunya, sehingga ia tidak akan berani melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang dan akan mencegah orang lain untuk melalukan hal serupa. Ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam wadah Daulah Khilafah. Hanya Khilafah satu-satunya negara yang akan menindak tegas pelaku penghinaan terhadap Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Wallahu a'lam bishshawwab.