Orientasi Untung dalam Layanan Publik, Watak Sistem Kapitalis
Opini
Ditulis Oleh : Sriyanti
Ibu Rumah Tangga Tinggal di Bandung
Mitra Rakyat.com
"Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR. Ibnu Majah)
Hadis di atas merupakan salah satu pedoman bagi umat Islam dalam pengelolaan kepemilikan umum, salah satunya terkait masalah air. Namun faktanya, saat ini air diperjualbelikan.
Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia bahwa Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin menyoroti rendahnya tarif air bersih yang diterapkan perusahaan air minum di daerah. Hal ini menjadi salah satu penyebab kerugian di perusahaan air minum daerah. Dia mencontohkan, tarif air bersih di DKI Jakarta dan Depok hanya berada di kisaran Rp7.000 per meter kubik. Cara seperti ini membuat perusahaan air minum kesulitan karena tarif itu masih di bawah full cost recovery (FCR).
"Tarif air bersih yang diberlakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Depok hanya Rp7.000 per meter kubik, di Bogor Rp4.500 per meter kubik," katanya.
"Dengan kondisi ini kita menjalankan 40%, PDAM mengalami kerugian pada tarif yang dibuat di bawah full cost recovery," kata Ma'ruf Amin saat berbicara di Konferensi Sanitasi dan Air Minum (KSAN) di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Masalah ini kemudian merembet ke pelayanan PDAM. Ma'ruf mengatakan, PDAM menjadi terhambat melakukan perluasan layanan air minum yang aman kepada masyarakat.
Di sisi lain, penentuan tarif lebih banyak dilakukan secara populis. Ia mengatakan skema investasi antara pemerintah dan swasta dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan perluasan air minum kepada masyarakat.
Menilik fakta di atas. Terkait kerugian PDAM yang disebabkan oleh rendahnya tarif layanan. Telah menjadi bukti bahwa harta milik umum, dikelola demi mendapatkan keuntungan bagi negara dengan cara menjualnya kepada rakyat.
Air merupakan salah satu elemen yang sangat penting bagi kehidupan. Tak hanya manusia dan hewan bahkan tumbuhan pun memerlukan air. Manusia membutuhkan air bersih untuk dikonsumsi dan untuk menunjang kebutuhan hidup lainnya. Oleh sebab itu pemenuhannya harus mudah diakses karena merupakan kebutuhan yang mendasar.
Saat ini, kita hidup dalam sistem kapitalis, dimana yang menjadi tolak ukurnya adalah materi. Maka ketika melayani kebutuhan publik pun dalam hal ini terkait penyediaan air bersih, pemerintah memperhitungkan untung dan rugi. Air diperjual belikan layaknya barang komersil lainnya.
Sedangkan Islam mempunyai pandangan bahwa kekayaan alam termasuk di dalamnya masalah air adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara dengan tidak mengambil keuntungan sedikit pun. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Rasulullah saw. bersabda:
Ø«َÙ„َاثٌ Ù„َا ÙŠُÙ…ْÙ†َعْÙ†َ الْÙ…َاءُ ÙˆَالْÙƒَÙ„َØ£ُ Ùˆَالنَّارُ
Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah)
Kesengsaraan dan kesulitan yang terjadi saat ini lebih karena komersialisasi layanan publik, ini adalah watak yang melekat dalam sistem kapitalis neoliberal.
Dengan demikian, untuk mengakhirinya, tentu kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat. Lebih jauh yang pasti akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak kapitalis baik lokal maupun asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Alhasil, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini.
Wallahu a'lam bi ash shawab