Opini
Ditulis Oleh : Khansa Mubshiratun Nisa
Ummu Wa Rabbatul Bayt, Aktivis Da'wah Ideologis
Mitra Rakyat.com
Saat ini umat Islam dibuat geram atas tindakan ‘genosida perlahan’ yang dilakukan pemerintah komunis China terhadap kaum Muslim Uighur di Xinjiang. Dilansir dari web tempo.co, PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya telah ditahan di Xinjiang China sejak 2017.
Pembantaian di Xinjiang bukanlah satu-satunya kejahatan genosida yang pernah terjadi terhadap kaum Muslim. Coba kita lihat di belahan dunia lainnya. Di Myanmar mereka dibantai secara massal. Di India mereka telah menjadi sasaran pogrom sistematis.
Di Palestina bersama dengan orang-orang Kristennya, mereka dibunuh setiap hari oleh Yahudi Israel. Di Eropa dan Amerika Serikat pun sering kali umat Muslim menjadi sasaran diskriminatif.
Kekejaman terhadap kaum Muslim minoritas di beberapa negeri sudah kita ketahui dan sering kita dengar. Mereka menjerit meminta pertolongan pada penguasa negeri-negeri Muslim. Namun, penguasa negeri Muslim tidak bisa melakukan apa-apa.
Lebih parah lagi, pemerintah Indonesia belum terdengar menyatakan sikap. Mengecam pun tidak dilakukan, padahal negeri ini mayoritas penduduknya adalah Muslim dan memiliki kedudukan di ASEAN.
Pemerintah Indonesia terlihat kurang peka saat suatu kejadian berkaitan dengan diskriminasi Islam. Padahal tak perlu melihat umat Islamnya, cukup berperikemanusiaan dalam melihat dan menyikapi tragedi yang menimpa kaum Muslim khususnya di Uighur. Itu jauh lebih baik.
Namun ternyata, ditengah diamnya penguasa negeri mayoritas Muslim, ada negeri kecil yang jauh di Afrika Barat yaitu Gambia, berani menunjukkan protes dan menggugat kekejaman Myanmar terhadap Rohingya melalui International Court of Justice (ICJ) atau Pengadilan Internasional di Belanda.
Gambia mengajukan gugatan genosida terhadap Myanmar atas nama Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara, termasuk Indonesia. Seharusnya hal ini menggugah seluruh dunia Islam untuk bersikap lebih lagi sebagai manifestasi ukhuwah Islamiyah terhadap Muslim di berbagai negara lainnya.
Diamnya para penguasa Muslim tak lebih karena diterapkannya sistem kapitalisme sekaligus diadopsi mereka dalam arah pandang kebijalan. Lidah mereka kelu dihadapan majikan pembantai saudaranya.
Mereka bisu karena jeratan utang dan tekanan secara politis. Dalam sistem ini pula lah pemodal besar yang berkuasa. Segala cara dilakukan, sehingga, para penguasa Muslim yang mayoritas beragama Islam harus jadi negara pembebek gagu. Di samping itu karena adanya nasionalisme yang merupakan buah dari adanya sistem kapitalisme.
Nasionalisme ini menjadikan umat Muslim lupa bahwasannya ikatan yang paling kuat hanyalah ikatan akidah. Dari ikatan nasionalisme inilah tersekat-sekatnya wilayah Islam, sehingga umat Muslim lupa bahwa seharusnya mereka menolong para kaum Muslim Uighur. Luka mereka adalah luka umat Muslim Indonesia pula, juga luka umat Muslim di dunia.
Kaum Muslim di negeri mayoritas ini tidak boleh hanya diam karena umat Islam ibarat satu tubuh. Jika ada satu bagian anggota tubuh tersakiti, maka bagian tubuh yang lain pun terasa sakit pula. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR Muslim).
Saat ini kita butuh khilafah yang bisa memberikan perlindungan pada umat Islam di seluruh negeri. Jika khilafah tegak, maka tidak akan ada lagi yang berani menyakiti kaum Muslim karena khilafah akan membantu mereka secara nyata tidak hanya mengutuk dan mengecam saja. Khilafah akan benar-benar menghentikan kekejaman sampai mereka jera dan tidak berani melakukan lagi.
Teringat kisah Khalifah al-Mu’tasim Billah yang mengirimkan bala tentaranya hanya karena jeritan muslimah yang sedang berbelanja di pasar--yang diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya.
Muslimah itu meminta pertolongan, lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tashim Billah dengan lafadz yang legendaris yang terus terngiang dalam telinga seorang muslim: “waa Mu’tashimaah!” (di mana engkau wahai Mutashim… Tolonglah aku!)
Setelah mendapat laporan mengenai pelecehan ini, maka sang Khalifah pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Jika jeritan muslimah yang dihina Yahudi saja khalifah langsung mengirimkan bala tentaranya, apalagi kaum Muslim yang ditindas secara zhalim. Tentu khalifah tak akan tinggal diam.
Umat butuh Khilafah agar umat Islam merasa aman dimanapun mereka berada bahkan di negeri minoritas Muslim sekalipun. Umat Islam akan terjaga hak-hak mereka. Kaum Muslim tidak hanya mendapatkan keamanan, tapi juga kesejahteraan yang terjamin.
Tidak akan dibiarkan umat kelaparan dan kekurangan karena khilafah akan datang membantu dengan memberikan apa yang dibutuhkan rakyatnya di seluruh penjuru dunia.
Sungguh hidup jadi indah jika khilafah bisa tegak di muka bumi. Keberlangsungan kehidupan Islami akan memancarkan sinar cahaya kebahagiaan yang akan dirasakan oleh seluruh penduduk bumi, tidak hanya umat Islam saja.
Umat butuh khilafah agar hidup mereka aman dan sejahtera. Marilah kita perjuangkan bersama tegaknya kembali khilafah yang akan benar-benar mengurusi serta menjadi pelindung dan perisai bagi seluruh umat manusia.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]