Maulid Nabi, Bukan Sekedar Peringatan
Opini
Ditulis Oleh: Anhy Hamasah Al Mustanir
(Aktivis Media Konawe)
Mitra Rakyat.com
Setiap tahunnya, kaum muslim selalu memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk kecintaan mereka kepada Beliau. Namun kenyataannya, kaum muslim hanya terlena dengan perayaan belaka hingga membuat mereka tidak mengaplikasikan rasa cinta mereka kepada Rasulullah secara benar. Wujud dari cinta kepada Allah dan Nabi Muhammad yakni dengan cara menaati hukum–hukum Allah dan meneladani Rasulullah dalam menjalankan hukum Allah tersebut.
Adapun cara praktis dalam meneladani Rasulullah yakni mengikuti segala sesuatu yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah, bukan hanya semata–mata meneladani dalam akhlak atau moralitas beliau saja namun harus totalitas baik perilaku maupun perilakunya. Sebagaimana firman Allah, ”Katakanlah, 'Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'" (TQS Ali Imran [3]: 31).
Ibnu Katsir menyatakan, ayat di atas merupakan vonis bahwa siapa pun mereka yang mengklaim diri sebagai pecinta Allah, sementera di sisi lain mereka tidak mengikuti jalan hidup Nabi Muhammad maka mereka adalah pendusta. Sampai kemudian mereka kembali mengikuti seluruh ucapan dan perilaku Rasul-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Nabi SAW pernah bersabda: "Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan oleh kami maka perbuatannya tertolak." (HR. al-Bukhari).
Ditambah lagi, dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa ketika menafsirkan ayat di atas, al-Azhari menyatakan, “Mencintai Allah dan Rasul-Nya ditunjukkan dengan menaati keduanya dan menjalankan perintah keduanya.” Sementara Sahal ibn Abdillah menyatakan, “Tanda cinta kepada Allah adalah mencintai Alquran; tanda cinta kepada Alquran adalah mencintai Nabi-Nya; dan tanda cinta kepada Nabi saw. adalah mencintai sunnahnya…”
Allah Swt juga berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat sementara dia banyak mengingat Allah.“ (TQS. al-Ahzab: 21).
Berbagai anasir yang bersifat praktis yang membentuk hakikat ini, yang disebut sebagai upaya meneladani Rasulullah saw memiliki banyak cabang. Akan tetapi, semua itu bermuara pada hal-hal yang mendasar dan umum dalam agama yang telah disebutkan oleh Alquran mulia di dalam sejumlah ayatnya yang telah dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw. Inilah makna yang dimaksud di dalam hadits yang dituturkan oleh Siti Aisyah ketika ditanya mengenai akhlak Rasulullah saw, ia menjawab, “Akhlaknya adalah Alquran.”
Dalam upayanya mencintai Rasulullah saw, para sahabat semoga Allah meridhai mereka-senantiasa cenderung berada dalam naungan cahaya kenabian Muhammad. Hal ini tercermin dalam kehidupan praktis mereka serta penerapan perilaku kenabian di dalam seluruh keberadaan mereka, bagaimana dan dimanapun mereka berada. Mereka senantiasa memperhatikan perilaku dan keadaan Rasulullah, baik ketika beliau keluar dan masuk rumah, ketika beliau berada di rumah ataupun di masjid. Ketika beliau terlibat dalam peperangan atau perdamaian dengan musuh, ataupun dalam keadaan terjaga hingga tidur; ketika beliau dalam keadaan beribadah maupun dalam melakukan aktivitas lain di luar ibadah, di dalam adat kebiasaan maupun akhlaknya, di dalam gerak dan diamnya, ketika beliau berjalan ataupun duduk; ketika beliau berbicara ataupun diam, ketika beliau marah ataupun ridha karena Allah, ketika beliau dalam keadaan bersedih ataupun bergembira, ketika beliau tertawa ataupun sekadar tersenyum, ketika beliau makan ataupun minum, ketika beliau berkata-kata ataupun bertindak, ketika beliau berlaku adil ataupun memberikan petunjuk, dalam hal kesungguhan maupun keberaniannya; serta dalam kelembutan maupun kasih sayangnya dan masih banyak lagi.
Pendeknya, dalam setiap perilaku dan keadaan Rasulullah, para sahabat mempraktikkan kehidupan beliau di tengah-tengah kehidupan mereka sesuai dengan kadar kemampuan mereka masing-masing sebagai wujud rasa cinta mereka kepada Rasulullah saw. Salah seorang di antara mereka bahkan tak segan-segan langsung melakukan suatu perbuatan ketika dia melihat Rasulullah mengerjakannya. Mereka bertindak demikian karena mereka meyakini bahwa sesungguhnya Rasulullah tidak mungkin melakukan suatu perbuatan kecuali pasti benar-benar merupakan kebaikan.
Generasi awal kaum muslim dahulu lebih banyak mempraktikkan amal–amal Rasulullah saw. Dan sikap yang seperti itu lebih mulia ketimbang mengingat-ingat kelahirannya. kontradiksi dengan keadaan sekarang yang lebih banyak memperingati kelahiran beliau ketimbang memperbanyak amalan-amalan yang pernah beliau lakukan sepanjang hidupnya. Padahal ketika memandang fenomena Peringatan Maulid Nabi saw, yang setiap tahun rutin dilakukan oleh kaum Muslim, terlebih dulu kita harus memahami bahwa Muhammad saw hanyalah seorang manusia biasa. Beliau bukanlah pemilik berbagai khazanah Allah, tidak mengetahui hal-hal gaib, dan bukan pula seorang raja. Hanya satu keistimewaan beliau yakni diberikan wahyu oleh Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
“Katakanlah, 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, ‘Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa,’ Siapa saja yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang salih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.'" (TQS. al-Kahfi: 110).
Oleh karena itu, siapapun yang sering mengingatnya hendaknya dia berkeinginan untuk meneladani dan mengikuti jejaknya serta sudah seharusnya hidup dengan menjalani perilaku yang pernah beliau praktikkan. Sebab, beliau merupakan teladan sekaligus ikutan bagi seluruh kaum Muslim. Beliau adalah pribadi Islam pertama yang dipilih oleh Allah untuk mengemban amanah Islam sekaligus menyampaikan, menerapkan, dan menyebarluaskannya. Beliau adalah orang yang sangat dipercaya sekaligus orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah dibandingkan dengan semua manusia. Namun demikian, beliau hanyalah seorang rasul. Artinya, yang penting untuk dipahami beliau adalah sebagaimana halnya manusia yang lain yakni mengalami kematian. Akan tetapi, Islam yang dibawanya tetap akan hidup dan tidak ikut mati. Oleh sebab itu, setiap Muslim wajib untuk hidup bersama dengan risalah yang dibawanya, yakni Islam. Baik itu bersumber dari ucapan maupun perbuatan beliau.
Maka dari itu, mengingat kelahiran Nabi Muhammad saw harus ditunjukkan dengan mengingat kenikmatan yang telah Allah berikan kepada kaum muslim melalui kelahiran Nabi saw tersebut. Karena melalui tangan Rasulullah, Allah menangkan agama Islam di atas agama–agama lain. Sehingga dengan perantara beliaulah, kegelapan dimusnahkan dengan digantikan oleh cahaya Islam. Hukum kufur pun diganti dengan hukum Islam. Dan oleh sebab itu, hanya dengan menerapkan wahyu yang di bawah oleh Islam yang mampu membuat umatnya kembali tegak, memanusiakan manusia dan mengangkat derajat dari derajat hewani. Sehingga hanya Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw yang akan unggul diatas semua agama dan ideologi. Allah Swt berfirman:
“Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.”(TQS. ash-Shaff : 9).
Adapun Rasulullah saw mendakwahkan Islam di Makkah secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Dalam pada itu, beliau disakiti dan mendapatkan berbagai macam siksaan dari orang-orang kafir Qurays. Sebagian sahabat menyaksikan hal itu hingga sampailah tekad orang-orang kafir untuk membunuh Nabi saw. Akan tetapi, semua itu tidak sampai menyurutkan tekad Rasulullah untuk menyampaikan risalah yang telah diwahyukan Allah. Beliau tidak rela menjual Islam dan ditukar dengan harta ataupun kekuasaan. Hal ini tersirat dari ucapan beliau kepada pamannya, Abu Thalib, “Demi Allah, wahai Paman. Seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiri agar aku meninggalkan agama ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai agama ini tegak atau aku hancur karenanya.” (HR. Ibnu Hisyam).
Demikianlah sikap Rasulullah dalam mengusung kebenaran sekaligus menantang kekufuran dan para pembelanya. Beliau tidak pernah takut di jalan Allah terhadap celaan para pencela dan tetap bersabar hingga Allah memerintahkan beliau untuk mencari pertolongan kepada orang-orang di luar kaum Qurays. Demikianlah hingga Allah memuliakan beliau dengan pertolongan kaum Anshar di Madinah. Di Madinahlah Rasulullah saw membidani lahirnya masyarakat Islam dan Daulah Islam untuk pertama kalinya.
Karenanya, hendaklah selalu diingat bahwa maulid (kelahiran) Nabi saw merupakan cikal-bakal bagi kelahiran umat Islam dan Daulah Islam yang terus dikembangkan oleh Rasulullah sehingga kekuasaan Daulah bisa mencapai seluruh jazirah Arab. Dan apa yang pernah dipraktikkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah saw tersebut kemudian dilanjutkan dengan baik oleh para sahabat dan para tabi’in sehingga agama Allah semakin tinggi kedudukannya di muka bumi dan bendera Islam pun-Bendera ‘Lâ ilâha illâ Allâh’-semakin berkibar di berbagai belahan dunia. Mereka bahkan berhasil menaklukan Andalusia hingga ke Prancis, menembus tembok Cina, melumatkan Persia, dan membuka Bizantium. Semua itu dilakukan dengan penuh keadilan tanpa kezaliman dan kesewenang-wenangan, tetapi dengan membawa petunjuk, cahaya keimanan, keamanan, dan kedamaian.
Pada saat itupun, akhirnya Rasulullah berhasil membangun sebuah daulah bagi Islam sekaligus menerapkan hukum-hukumnya dan berjihad di jalan Allah. Orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta memuliakan kelahiran dan pengangkatannya sebagai rasul kemudian mengikuti jejak langkahnya. Hingga kemudian, Daulah Islam menjadi sebuah negara yang kuat. Sampai suatu ketika dominasi kekufuran yang menyeret manusia ke jurang kehancuran dikalahkan oleh keimanan yang menuntun manusia ke jalan kebahagiaan dunia-akhirat.
Akan tetapi, realitas yang terjadi sekarang, hukum–hukum Allah telah dikikis oleh hukum hawa nafsu. Sehingga kaum muslim hanya menganggap maulid Nabi hanya sebuah perayaan yang memiliki makna sekedar mengenang kelahiran Rasulullah bukan menjadikannya sebagai teladan dalam aktivitas sehari–hari. Sementara itu, pada saat yang sama orang-orang kafir dan antek-anteknya melakukan konspirasi atas Daulah Islam. Setelah mereka berhasil menghancurkannya, mereka lalu menanam antek-anteknya sebagai penguasa di tengah-tengah kaum Muslim. Mereka tidak memiliki hasrat apa pun selain berkhidmat kepada majikannya, orang-orang kafir. Antek-antek kafir ini menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan kaum Muslim di Palestina, misalnya. Akan tetapi, mereka tidak bergeming sama sekali. Mereka juga mendengar jerit tangis orang tua, rintihan para janda, dan anak-anak yatim. Akan tetapi, mereka diam seribu bahasa. Mereka diam atas berbagai tindakan kriminal orang-orang Yahudi Israel seolah-olah hendak menunjukkan sikap bertetangga baik dengan Yahudi Israel!
Namun demikian, penguasa yang hina semacam ini, pada saat yang bersamaan, menyelenggarakan Perayaan Maulid Nabi saw dengan cara mereka; menyelenggarakan berbagai perayaan yang dikelola oleh penguasa atau menterinya; mendendangkan sejumlah nasyid dan menyampaikan pidato. Pada malam Maulid Nabi tersebut, tidak jarang penguasa mengumumkan penutupan sejumlah klab malam dan tempat-tempat penjualan minuman-minuman keras. Akan tetapi, setelah perayaan itu usai, mereka berhenti mengingat Islam dan Rasulullah saw. Mereka bahkan memerangi Islam dan para pengemban dakwahnya. UU antiterorisme disiapkan untuk membungkam semua dakwah, termasuk dakwah non-kekerasan. Anehnya, setelah mereka mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang yang mencintai Rasulullah dan menyelenggarakan perayaan demi mengingatnya. Mereka sama sekali tidak merasa risih atau malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum Muslim.
Realitas para penguasa semacam ini berbeda dengan realitas kaum Muslim dan penguasanya pada generasi awal. Mereka memahami kelahiran Muhammad dan pengangkatannya sebagai Rasulullah sebagai kelahiran hukum-hukum Allah, jihad fi sabilillah, pembebasan berbagai negeri dari dominasi kekufuran, penyebaran Islam ke seluruh dunia, serta kemuliaan bagi Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin. Oleh karena itu, wajar jika Allah memuliakan mereka dan memberikan pertolongan kepada mereka hingga menjadikan mereka sebagai pemimpin dunia dan cahaya bagi dunia. Inilah sebetulnya hakikat dari mencintai dan meneladani Rasulullah saw. Untuk saat ini, upaya praktisnya adalah bagaimana mengembalikan tegaknya syariat Islam, mengusir negara-negara imperialis dari setiap negeri Muslim seraya menyatukan negeri-negeri Islam ke dalam Daulah Khilafah yang pernah dirintis pendiriannya oleh Rasulullah serta membebaskan manusia dari cengkeraman kekufuran.[AR]