Opini
Ditulis Oleh: Sri Gita Wahyuti, A.Md
Mitra Rakyat.com
Sri Mulyani saat diangkat kembali menjadi menteri keuangan pada kabinet Jokowi mengatakan ekonomi Indonesia di ambang kehancuran. Beberapa indikasi yang menunjukkan keterpurukkan tersebut adalah,
1. Pertumbuhan ekonomi gagal mencapai target. Pada saat kampanye dan awal pemerintahannya, Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Namun sampai tiga tahun menjalani pemerintahan, target tersebut tidak tercapai. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang tahun 2017 sebesar 5,02%.
2. Angka pengangguran semakin tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tengah tahun ini, tercatat ada 5,01 persen penduduk produktif yang menganggur. Angka ini merupakan angka terendah dalam sejarah Indonesia, tetapi tetap menjadi yang tertinggi kedua di Asia Tenggara.
Anehnya, Presiden Jokowi justru mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA). Sejak 2015, buruh Cina masuk ke Indonesia dalam jumlah besar. Kehadiran tenaga asing ini menunjukkan pemerintahan Jokowi sangat pro kepada asing.
3. Angka kemiskinan tinggi.
#MuslimahNewsID -- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan garis kemiskinan di Indonesia mengalami kenaikan 3,63%, yaitu dari Rp 387.160 per kapita pada September 2017 menjadi Rp 401.220 per kapita per bulan di Maret 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat angka kemiskinan per Maret 2018 berada pada tingkat 9,82%. Dari persentase itu, jumlah penduduk miskin yang ada saat ini sebesar 25,95 juta.
4. Rupiah kembali terpuruk.
Pada saat kampanye Jokowi menjanjikan nilai rupiah terhadap dolar berada pada kisaran Rp. 10.000. Faktanya, nilai tukar rupiah sempat tercatat diperdagangkan pada level Rp 14.156 per USD. Kondisi ini pertama kalinya terjadi sejak Desember 2015.
5. Utang makin menggunung.
Menurut Fuad Bawazir, Sejak Sri Mulyani menjadi menteri keuangan era SBY tahun 2005, ia mendirikan Ditjen Pengelolaan Utang dan memperkenalkan SBN baik dalam mata uang asing (valas) maupun rupiah. Sejak itu utang negara dalam bentuk SBN melesat dan seakan-akan tidak terkendali. Ditegaskannya bahwa, hanya dalam waktu 10 tahun, utang SBN telah mendekati Rp 3000 triliun (sekarang telah melampaui).
6. Ketergantungan Impor.
Semakin maraknya impor berbagai barang, termasuk barang yang di dalam negeri produksinya mencukupi, seperti impor bawang, impor gula bahkan impor garam, jelas membahayakan dan menghancurkan ekonomi para petani. Harga produk dari luar negeri lebih murah dibandingkan dengan harga produk dalam negeri.
Akibatnya, para mafia rente impor dengan berbagai upaya meminta kran impor terus dibuka bahkan diperbesar kuotanya. Dalam jangka panjang, hal tersebut sangat membahayakan. Pasalnya, dengan politik dumping, seperti kasus bawang putih dan lain-lain, Indonesia dibanjiri dulu dengan produk impor yang lebih murah dari harga produk petani lokal. Setelah petani kita mati, mereka mulai mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan mendikte harga barang sekehendaknya.
7. Pembangunan infrastruktur untuk kepentingan para kapitalis.
Sejak menjabat tahun 2014, Presiden Joko Widodo gencar membangun infrastruktur dengan mengalokasikan anggaran negara yang besar.
Ironisnya, pembangunan infrastruktur ini bukan untuk kepentingan rakyat. Kereta api cepat Bandung-Jakarta, misalnya, tidak urgen untuk dibangun karena sudah ada jalan tol, sudah tersedia jalan kereta api.
Bahkan Ignatius Johan sebagai Menteri Perhubungan saat itu menolak proyek tersebut dan memberikan solusi dengan membangun double track. Biayanya sangat murah dan bisa memperlancar arus transportasi Jakarta-Bandung. Namun, solusi itu ditolak oleh Jokowi. Pasalnya, yang diincar oleh para kapitalis adalah puluhan ribu hektar tanah PT Perkebunan (PTPN) yang akan dijadikan area bisnis dan komplek perumahan atau kota baru untuk kepentingan para kapitalis.
Begitu juga proyek infrastruktur pembangunan pelabuhan, bandara, jalan tol bahkan bendungan. Semuanya tidak memiliki dampak signifikan terhadap rakyat. Dalam hal ini, rakyat justru menjadi korban.
8. Pencabutan berbagai subsidi menyengsarakan rakyat.
Rezim Jokowi–JK terus berupaya menuntaskan program liberalisasi ekonomi dengan kebijakan penghapusan dan pengurangan subsidi di berbagai sektor diantaranya, subsidi listrik, subsidi migas dan LPG ukuran 3 kg. Di bidang pertanian, Pemerintah juga telah menghapuskan subsidi benih dan subsidi pupuk.
Pencabutan berbagai subsidi mengakibatkan tingkat inflasi meningkat, daya beli masyarakat melemah dan beberapa perusahaan kecil dan menengah gulung tikar, pengangguran dan rakyat miskin terus bertambah.
Beberapa kebijakan rezim Jokowi–JK dalam pembangunan ekonomi di atas nampak jelas semakin kapitalistik. Sehingga, negara ini semakin terpuruk dan terjajah secara ekonomi dan politik.
Kita berharap negara ini dipimpin oleh pemimpin yang amanah dan bijaksana kedepannya.
Wallahu a'lam bisshawab.