Di Balik Pro Kontra Revisi Undang-Undang KPK (1)
Opini
Ditulis Oleh: Zulaika
Ibu rumah tangga dan pegiat dakwah
Mitra Rakyat.com
Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal. Sujiwo Tejo (wartawan, pelukis, budayawan dan penulis)
Ungkapan Sujiwo Tejo di atas seolah menyindir fakta yang kini terjadi di negeri kita. Dimana memang korupsi lebih "membudaya" dari pada budaya tradisional itu sendiri.
Korupsi memang bukan lagi hal baru yang terjadi di negara ini. Telah banyak dilakukan oleh para pejabat yang duduk di kursi pemerintahan yang notabene memiliki gaji yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sehari-hari.
Belum lagi ditambah dengan fasilitas ini itu. Lalu mengapa dengan gaji dan tunjangan fantastis, sebagian mereka masih juga ada yang terperosok pada perikaku buruk korupsi?. Saking banyaknya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, dibentuklah suatu lembaga khusus untuk menanggulanginya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Telah banyak pula para pejabat negara yang terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang diberlakukan oleh KPK.
Seperti di lansir oleh Kompas.com, salah satu perumus Undang-Undang no 30 tahun 2002 tentang KPK, Romli Atmasasmita berpendapat, KPK sampai saat ini sudah menyimpang dari tujuan awal pembentukannya. Saat KPK didirikan, tujuannya yaitu untuk memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi dengan berorientasi pada pengembalian kerugian negara secara maksimal.
Selain itu, KPK juga diharapkan dapat melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan. Namun Romli menilai, KPK saat ini tidak lagi demikian. KPK terkesan lebih sering bekerja sendirian, tanpa berkoordinasi dan melakukan supervisi dengan polisi dan kejaksaan. Romli juga menilai bahwa revisi Undang-undang KPK sudah tepat dan memperbaiki kinerja lembaga antirasuah itu.
Sementara itu, gelombang penolakan revisi UU no 30 tahun 2002 tentang KPK terus mengemuka hingga saat ini. Kali ini sejumlah mantan pimpinan KPK menyuarakan penolakan UU KPK tersebut. Mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas menolak revisi UU KPK yang telah disepakati oleh DPR. Busyro menilai, seluruh fraksi di DPR telah sepakat untuk membunuh KPK. "Semua fraksi di DPR sepakat membunuh! Merekalah pembunuh rakyat," kata Busyro saat dikonfirmasi, Senin (9/9/2019). "Pengabdian nan tulus jajaran KPK sejak 17 tahun yang lalu hingga kini, semata untuk membebaskan ratusan juta rakyat yang dimiskinkan oleh gang mafia koruptor!" Ujarnya lagi.
Senada dengan Busyro, Abraham Samad menyoroti poin revisi UU KPK yang bakal melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Salah satu poin pelemahan yakni dibentuknya dewan pengawas dan adanya surat proses penghentian penyidikan (SP-3). "Revisi hendak membentuk organ bernama Dewan pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya," sesalnya. (JawaPos.com)
Polemik revisi UU KPK masih menjadi pro dan kontra dari berbagai pihak. Hal ini wajar, mengingat pemberantasan korupsi masih menjadi agenda utama negeri ini. Publik merasa khawatir atas revisi UU KPK tersebut sebab masih meyakini kinerja KPK yang selama kurun waktu 17 tahun menjadi senjata utama dalam memberantas korupsi. Pro dan kontra yang terjadi saat ini lebih dikarenakan sistem politik yang ada begitu sarat berbagai kepentingan. Adanya campur tangan pemerintah membuat KPK sebagai lembaga independen kelak tidak akan bisa bergerak bebas mengambil keputusan untuk membasmi para koruptor karena adanya pengekangan tersebut.
Intervensi pemerintah yang ingin agar KPK berada di bawah kekuasaannya sekaligus pengawasannya dengan dibentuknya dewan pengawas KPK, tentu saja tidak lain agar pemerintah dan kroni-kroninya terlindungi dari penyelidikan KPK dan "kebal hukum" apabila mereka melakukan korupsi. Hal ini jelas berbahaya karena akan menambah kerugian negara dan menguntungkan para koruptor.
Kesemuanya ini disinyalir merupakan bentuk upaya pelemahan KPK. KPK belum dilemahkan saja, korupsi demikian marak maka dapat dibayangkan jika peran KPK benar-benar telah dilemahkan.
Penerapan sistem kapitalis-sekuler telah mendorong manusia untuk bergaya hidup hedonis. Maka jangan heran bila sebagian pejabat saat ini cenderung "rakus" melahap uang rakyat yang bukan haknya demi gaya hidup mereka yang mewah. ..bersambung