Opini
Ditulis Oleh : Reni Rosmawati
Member Akademi Menulis Kreatif
Mitra Rakyat.com
"Ya Allah, barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia mengasihi mereka maka kasihilah dia.” (HR. Muslim)
Dilansir oleh kompas.com, Rabu (30/10/2019), Presiden Joko Widodo resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020 nanti. Bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja menjadi sebesar Rp 42 ribu per bulan untuk kelas III, Rp110 ribu per bulan untuk kelas II dan Rp160 ribu per bulan untuk kelas l.
Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Oleh karena itu, diperlukan stimulasi agar lembaga tersebut dapat tetap berjalan melayani masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan. Kenaikan premi BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019.
Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, kenaikan iuran ini diyakini akan memperbaiki postur keuangan mereka. Tahun ini, BPJS Kesehatan diprediksi akan mengalami defisit hingga Rp 32,8 triliun. Iqbal mengatakan, persoalan defisit ini tidak akan selesai pada tahun ini. Kendati demikian, ia optimistis masalah keuangan itu bisa selesai pada tahun depan. Bahkan, diproyeksikan keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus hingga Rp 17,3 triliun.
Bukan kali ini saja defisit BPJS terjadi, bahkan, sejak lembaga itu berdiri sudah mengalami defisit hingga Rp 3,3 triliun. Defisit berlanjut pada 2015 menjadi Rp 5,7 triliun dan semakin membengkak menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016. Sementara pada 2017, defisit hanya sedikit mengalami kenaikan yakni menjadi Rp 9,75 triliun. Adapun pada 2018, defisit yang dialami mengalami penurunan menjadi Rp 9,1 triliun.
Sementara itu, dilansir oleh laman yang sama, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai, kenaikan iuran ini sebenarnya merupakan cara pemerintah untuk berkolaborasi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima. Dengan kenaikan ini, masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan lebih, dapat membantu masyarakat yang sakit dan yang lebih membutuhkan.
Bak disambar petir di siang bolong. Ditengah beratnya himpitan ekonomi, kembali rakyat disodorkan kenaikan BPJS sebesar 100 persen. Sungguh menyesakkan dada sekaligus melukai dan memupus harapan rakyat untuk menikmati fasilitas kesehatan di negeri ini. Sudahlah rakyat dibuat susah dalam pelayanan kesehatan, kini rakyat siap dibuat menjerit dengan kenaikan tersebut. Kenaikan iuran BPJS sangat mengecewakan, sekalipun bagi kalangan rakyat yang mampu secara finansial. Karena sesungguhnya kesehatan adalah hak seluruh rakyat, tidak boleh dimonopoli dan dijadikan ladang bisnis bagi sebagian pihak. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, tentu tidak dapat melepaskan begitu saja tanggung jawab tersebut untuk dilimpahkan kepada pihak swasta. Sehingga saat ini yang terjadi adalah situasi carut marut dan ujung-ujungnya rakyat yang dirugikan.
Defisit demi defisit terus terjadi dialami BPJS Kesehatan, hingga memicu kenaikan premi BPJS yang mengorbankan nyawa rakyat, menjadi indikasi gagalnya pemerintah dan negara dalam menjamin kesehatan dan keselamatan rakyatnya. Kenaikan premi BPJS yang dianggap sebagai stimulus, agar BPJS tetap berjalan melayani kesehatan rakyat yang membutuhkan, nyatanya hanyalah fatamorgana. Karena pada kenyataannya, BPJS tiada lain adalah ladang bisnis menggiurkan bagi para korporat, bukan demi melayani rakyat. Kenaikan premi BPJS belum tentu dibarengi dengan peningkatan pelayanan yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien BPJS. Mengingat, banyaknya sejumlah rumah sakit yang mengeluhkan keterlambatan BPJS membayar klaimnya. ..bersambung