Ine Wulansari
Opini
Mitra rakyat.com (Bandung)
Ini ungkapan yang menggambarkan betapa saat ini banyak upaya-upaya kaum Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, Liberakisme) untuk merusak Islam, "Orang-orang yang turut menyebarkan paham dalam masyarakat yang akan menegakkan kendornya rasa perjuangan, rasa jihad menegakkan cita Islam, bukan saja menjadi pelopor membawa ke jalan kafir, bahkan itulah pengkhianat-pengkhianat yang membawa nama Islam untuk menghancurkan kekuatan Islam".("Dari Hati Ke Hati", Hamka Pustaka Panjimas Jakarta. 2002. Jakarta).
Dan mengingatkan umat Islam khususnya para pemuda untuk menentang segala macam isme-isme (paham) baru yang diimpor dari Barat, dengan tujuan untuk menyebarkan rasa keragu-raguan atau melemahkan iman dalam Islam.
Kemudian seperti yang dilansir dalam Kompas.com beberapa waktu lalu, mengenai Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama dan Konbes (Konferensi Besar) Nahdatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar padar Rabu-Jumat (27-01 Maret 2019).
Salah satunya mengangkat masalah status non muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata 'kafir' bagi non muslim di Indonesia. Kata 'kafir' menyakiti sebagian kelompok yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,ungkap wakil ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar NU, KH Abdul Moqsith Ghazali. Jumat, 27 Februari 2019.
Tidak sejalan dengan hasil keputusan Munas NU, Sekretaris Jenderal FUI, Muhammad Al-Khathtat yang mengatakan kecurigaannya akan keputusan untuk tidak menyebutkan WNI non muslim sebagai kafir sarat dengan motif politik. Khathtat berasumsi keputusan NU ini dilakukan untuk menarik simpati kaum non muslim menjelang pemilihan presiden 17 April 2019 yang akan datang. CNN.Nasional,Jakarta, Sabtu, 02 Maret 2019.
Sebutan kafir kepada non muslim disebut berkali-kali dalam Al-qur'an. Istilah ini murni digunakan Allah dalam firmanNya untuk membedakan kaum yang beriman dan kaum yang Ingkar.
"Sungguh telah kafir orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah Al-Masih putra Maryam" (TQS Al-Maidah ayat 17).
Selama berabad-abad penggunaan istilah kafir untuk orang-orang di luar Islam tidak pernah menimbulkan problem. Baik internal umat Islam sendiri maupun dikalangan eksternal di luar Islam.
Karena itu melarang penggunaan kata kafir untuk menyebut non muslim karena mengandung kekerasan teologis sangatlah tidak relevan, sangat tidak berdasar dan ahistoris. Kalaupun saat ini banyak tindakan kekerasan di dunia, bukan hanya kekerasan teologis, tetapi kekerasan psikis bahkan fisik.
Justru hal ini banyak dirasakan dan dialami kaum muslim sendiri. Kaum muslim dipojokkan dengan label radikal, intoleran, mengancam NKRI dan lain-lain hanya karena menolak pemimpin kafir. Dalam konteks global, yang banyak menjadi korban baik secara teologis, psikis maupun fisik adalah umat Islam yang diperlakukan semena-mena oleh kaum kafir.
Betapa hal ini membuat umat Islam khususnya merasakan keanehan yang luar biasa, semestinya istilah kafir yang sudah Allah sebutkan dalam Al-qur'an berabad-abad lalu diotak-atik sedemikian rupa oleh sekelompok orang yang merasa diri paling benar. Yang menyebut sebagai wakil umat dengan mudah menyebarkan isu dengan tujuan memecah belah umat.
Namun apa hendak dikata, memang tidak mudah hidup di masa rezim yang berkuasa saat ini. Yang memegang erat sistem kufur begitu sarat dengan semangat liberal sekularisme telah gagal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Dan sudah tentu upaya-upaya kaum sepilis dalam merusak Islam serta memberikan kontaminasi melalui virus sekularisme yang menganggap bahwa agama hanya mengekang kecerdasan akal dan kebebasan berfikir manusia. Dan menolak sistem Islam dalam urusan dunia dan seluruh aspek kehidupan.
Begitu jelas sistem kufur yang dianut saat ini, demikian buruk dan hancur berkuasa ditengah umat, sudah saatnya beralih pada sistem Islam yang berasal dari Dzat Yang Maha Benar, yang menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan.
Sepanjang sejarah Islam, orang-orang kafir menikmati rasa aman yang luar biasa dalam hidup dimasa Daulah Khilafah Islam. Mereka tidak pernah sedikitpun mengalami kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan teologis sebagaimana yang diklaim oleh kalangan muslim liberal. Bahkan pada era kemunduran Islam, keagungan perlakuan khilafah terhadap kaum kafir tetap mengagumkan.
Dengan berkaca pada sejarah, bahwa pemerintah Islam yang dinamakan Daulah Khilafah Islamiyah sangat mengatur tatanan kehidupan, memberi rasa aman dan melindungi hak setiap warga negara baik muslim maupun kafir. Serta membebaskan masyarakat dari kekangan sistem kufur.
Tanpa khilafah umat Islam dijauhkan dari syariat dan menghilangkan nilai agama dari tubuh umat Islam. Oleh karena itu, hal ini tidak akan terjadi jika syariat Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan secara sempurna dalam bingkai sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah yang mengikuti manhaj kenabian.
Penulis:
Ine Wulansari
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah
Tinggal di Bandung